Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUIT suap itu tak utuh lagi ketika tim Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI menyitanya dari rumah Ajun Komisaris Besar Brotoseno, Jumat empat pekan lalu. Dari total sogokan Rp 1,9 miliar, Brotoseno sudah mencuil Rp 150 juta untuk diberikan kepada Komisaris Dedi.
Brotoseno dan Dedi merupakan perwira menengah di Badan Reserse Kriminal Polri. Jabatan terakhir Brotoseno adalah Kepala Unit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi. Adapun Dedi bawahan Brotoseno di unit tersebut. Kini keduanya menjadi penghuni rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Menurut juru bicara Markas Besar Polri, Komisaris Besar Rikwanto, Brotoseno dan Dedi diduga menerima suap berkaitan dengan kasus proyek cetak sawah fiktif di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2012-2014. Brotoseno merupakan ketua tim yang menyidik kasus dugaan korupsi ini. "Penyuap memberikan uang kepada penyidik untuk memperlambat pemeriksaan," kata Rikwanto, Kamis pekan lalu.
Dalam kasus ini, polisi juga menangkap bekas General Manager Lion Air Lexi M. Budiman, yang diduga merupakan perantara suap. Polisi pun sudah menahan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Harris Arthur Hedar, yang diduga sebagai pengirim besel untuk Brotoseno.
Dedi mengantarkan koper "panas" itu kepada Brotoseno pada 19 Oktober lalu. Waktu itu Brotoseno sedang memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Gambir, Jakarta Pusat. "Ini ada titipan dari Lexi," kata Dedi, seperti ditirukan orang dekat Brotoseno, Senin pekan lalu.
Brotoseno tak banyak bertanya kepada Dedi mengenai titipan tersebut. Brotoseno pun tak mengontak lagi Lexi. Beberapa hari sebelumnya, Brotoseno dan Lexi bertemu di Cafe Batik Datulaya, Meruya Utara, Jakarta Barat. Itu pertemuan pertama mereka yang difasilitasi Dedi. Sebelumnya, Lexi meminta tolong Dedi, sebagai sesama orang Makassar, untuk dipertemukan dengan Brotoseno.
Dalam pertemuan tersebut, Lexi berbasa-basi tentang banyak hal. Di ujung pembicaraan, Lexi menyinggung kasus proyek cetak sawah yang disidik Bareskrim. Lexi bertanya tentang kemungkinan Brotoseno dan timnya memperlambat penyidikan kasus tersebut.
Kasus proyek cetak sawah bermula dari Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara tanggal 19 Maret 2012. Menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan, menugasi PT Sang Hyang Seri (Persero)—salah satu perusahaan pelat merah—sebagai pelaksana proyek. Targetnya membangun area persawahan baru seluas 40 ribu hektare di lahan telantar di Ketapang, Kalimantan Barat, sampai 2014.
Belakangan, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi penyimpangan dalam proyek senilai Rp 402 miliar tersebut. Berdasarkan temuan BPK, dari target 40 ribu hektare, hanya 100 hektare area persawahan baru yang tercetak. Itu pun diduga bermasalah karena kepemilikannya masih atas nama penduduk setempat. Menurut BPK, proyek tersebut berpotensi merugikan negara sekitar Rp 208,64 miliar.
Bareskrim telah menetapkan Direktur Utama PT Sang Hyang Seri, Upik Rosalina Wasrin, sebagai tersangka pada Juli 2015. Kala itu Upik menjabat Ketua Tim Kerja BUMN Peduli 2012. Polisi sudah melimpahkan berkas Upik ke Kejaksaan Agung pada Desember tahun lalu.
Pada 21 Oktober lalu, dua hari setelah menerima titipan besel dari Dedi, Brotoseno malah mengegas pengusutan proyek cetak sawah fiktif ini. Ia meneken surat panggilan untuk Dahlan Iskan sebagai saksi. Ini untuk kedua kalinya Dahlan akan diperiksa. Pada Juni 2015, penyidik Bareskrim pernah memeriksa Dahlan dalam perkara yang sama.
Rencana pemeriksaan kembali Dahlan di Bareskrim berubah setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan dia sebagai tersangka pada 27 Oktober lalu. Jaksa sempat menahan Dahlan dalam kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha, badan usaha milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Namun jaksa kemudian melepaskan Dahlan dengan status tahanan kota.
Polisi dan jaksa sepakat memeriksa Dahlan di kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 10 November lalu. Brotoseno seharusnya ikut memeriksa Dahlan. Namun, sehari sebelum pemeriksaan, seorang pejabat di Bareskrim meminta Brotoseno kembali ke Jakarta. Kala itu di Bareskrim beredar isu suap untuk penyidik kasus sawah fiktif.
Seorang kolega Brotoseno yang mengetahui pengusutan perkara ini bercerita, semula Brotoseno menyangkal menerima uang dari Dedi. Namun, malam hari setelah dipanggil atasannya, Brotoseno mencari Dedi ke tempat kosnya. Brotoseno hendak mengambil lagi uang yang pernah dia berikan kepada Dedi. Tapi Dedi tak ada di tempat. "Dia galau. Ada keinginan memakai uang itu, tapi ada juga dorongan untuk mengembalikannya," kata kolega Brotoseno ini.
Brotoseno kembali menemui atasannya pada 11 November lalu setelah gagal menemukan jejak Dedi. Kepada bosnya, Brotoseno akhirnya mengakui telah menerima duit. Sang atasan kemudian menyuruh beberapa anak buahnya mengambil uang tersebut dari rumah Brotoseno. Adapun Brotoseno diserahkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Rupanya, Divisi Propam sudah "menciduk" Dedi sehari sebelumnya.
Robinson, pengacara Brotoseno, tidak membantah cerita orang-orang dekat Brotoseno tersebut. "Saat ini saya hanya bisa bilang bahwa klien saya sudah mengakui menerima duit tersebut," kata Robinson, Jumat dua pekan lalu. "Soal dari mana dan untuk apa uang tersebut akan dibuka di pengadilan." Robinson menambahkan, Brotoseno juga sudah siap menerima hukuman atas perbuatannya.
Setelah menahan Brotoseno, pada malam harinya polisi menangkap Lexi. Dari rekening Lexi, polisi menyita uang Rp 1,1 miliar. Menurut Komisaris Besar Rikwanto, sisa duit tersebut tadinya juga akan diberikan Lexi kepada Brotoseno.
Dua hari setelah menahan Lexi, polisi menangkap advokat Harris Arthur Hedar. Lexi dan Harris saling mengenal karena Harris beberapa kali menjadi kuasa hukum Lion Air. Berdasarkan hasil penelusuran polisi, uang di rekening Lexi diduga berasal dari Harris. Selain bukti aliran dana, polisi mengantongi rekaman percakapan telepon antara Lexi dan Arthur yang membicarakan kemungkinan penghentian pengusutan perkara cetak sawah.
Penangkapan Harris menyeret nama Dahlan Iskan ke pusaran perkara. Pasalnya, Harris adalah pengacara Jawa Pos Group, perusahaan media yang didirikan oleh Dahlan. Juru bicara tim kuasa hukum Dahlan, Riri Purbasari Dewi, membenarkan bahwa Harris merupakan pengacara perusahaan itu. "Tapi dia bukan kuasa hukum Pak Dahlan," kata Riri. Untuk menjernihkan persoalan, menurut Riri, Dahlan siap diperiksa dalam kasus Brotoseno. "Sakit pun akan dibela-belain datang," ujar Riri.Â
Adapun Harris Arthur semula akan didampingi tim pengacara dari Peradi. Namun belakangan Harris memilih didampingi pengacara dari firma hukum dia, Harris Arthur Besar dan Rekan. Sejauh ini belum ada tim pengacara dari firma hukum itu yang bersedia menjelaskan soal peran Harris. Tempo mencoba menghubungi asisten Harris, tapi tak mendapat jawaban.
Pengacara Lexi, Nasrullah, ketika dihubungi pekan lalu, hanya mengatakan, "Saya sedang rapat." Selanjutnya, dia pun tak menjawab permohonan wawancara. Pertanyaan melalui layanan WhatsApp hanya dia baca.
Setelah keluar dari Lion Air, Lexi aktif di Partai Amanat Nasional sebagai wakil bendahara umum. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Edy Soeparno membenarkan bahwa Lexi adalah pengurus partai berlambang matahari tersebut. "Kami menghormati proses hukum," kata Edy seraya meminta semua pihak menghormati asas praduga tak bersalah.
Syailendra Persada, Amirullah (Jakarta), Nur Hadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo