Mencetak uang kertas yang sah beredar di wilayah Republik Indonesia sudah lama merupakan pekerjaan Perum Peruri. Sesuai dengan namanya, sejak awal berdiri, perusahaan umum milik negara ini selalu mencetak uang atas pesanan bank sentral. Dan selama ini urusan cetak-mencetak itu lancar-lancar saja. Masalah mulai mencuat ketika Peruri mesti mencetak uang pecahan Rp 1.000 dan Rp 5.000 dengan kertas yang dipasok oleh Pura Barutama.
Tak seperti biasa, begitu dicetak, kertas dari perusahaan yang berkedudukan di Kudus, Jawa Tengah, ini langsung melengkung dan membuat mesin cetak macet. Kalaupun bisa dicetak, benang pengaman tak terpasang dengan benar. Bisa juga benang itu keluar dari batas toleransi atau tak terpasang sama sekali. Jelas, cacat-cacat teknis seperti itu menimbulkan masalah pengamanan yang serius.
Menurut Direktur Produksi Peruri, Abubakar Baay, masalah timbul lantaran mutu bahan kertas dari Pura tak memenuhi standar. "Kualitas kertasnya jelek," ujarnya. Dalam suratnya kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) tanggal 16 November 2000, Direktur Utama Peruri Kusnan Martono menyatakan bahwa stafnya terpaksa memeriksa hasil cetakan lembar demi lembar, secara manual.
Pekerjaan manual yang banyak makan waktu itu dilakukan untuk menghindari beredarnya uang rupiah tanpa benang pengaman. Atau uang rupiah dengan benang pengaman tak sempurna serta ukuran uang yang tak sama, akibat dipotong dari kertas yang bergelombang. Cara itu, tulis Kusnan dalam suratnya, "sangat berat, tidak ekonomis, dan dapat menurunkan moral kerja pegawai."
Kusnan lalu menyarankan agar bank sentral mendapatkan bahan kertas dari sumber lain yang lebih bisa diandalkan. Baginya tindakan itu bukan tanpa preseden. Sebelumnya Peruri pernah meminta Portals Limited mengganti bahan kertas uang yang kualitasnya tak sesuai dengan standar internasional. Pemasok bahan kertas uang dari Inggris itu juga diminta menanggung segala biaya, seperti denda dan ongkos kedatangan petugas Peruri, khusus untuk mengawasi penggantian kertas di Inggris.
Namun kali ini laporan Peruri tak mendapat tanggapan sebagaimana mestinya. Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan terkesan seolah-olah mencegah Peruri bertindak tegas. Ia mengarahkan agar Peruri tetap menggunakan kertas yang dikirim Pura dan yang waktu itu disimpan di gudang BI di Cilangkap, Jakarta Timur. Pura cuma diminta memperbaiki kualitas kertas yang akan diproduksi dan dikirim belakangan.
Ternyata, "kompromi" itu bukanlah yang pertama kali dilakukan Aulia. Sebelumnya, dalam proses tender pengadaan kertas, ia juga disebut-sebut berperan memuluskan Pura menjadi pemenang lelang. Syahdan, untuk memenuhi kebutuhan uang kertas pecahan Rp 1.000 dan Rp 5.000 tahun anggaran 2000, BI memerintahkan Peruri mengadakan lelang pengadaan kertas uang.
Hasil lelang menunjukkan Pura Barutama menjadi pemenang tender untuk pecahan Rp 5.000, tapi cuma menduduki peringkat keempat buat pecahan Rp 1.000. Entah mengapa, Aulia membatalkan hasil lelang itu dan meminta tender ulang tanpa alasan yang kuat.
Baru belakangan Aulia menjelaskan, tender ulang dilakukan karena BI belum melakukan owner's estimate (OE) atau perkiraan harga sebagai acuan penawaran harga tender. Tanpa OE, proses pengadaan dianggap tak memenuhi syarat.
Anehnya, dalam lelang ulangan itu, penawaran tak diajukan ke Peruri tapi langsung ke alamat kantor Aulia Pohan, Deputi Gubernur BI, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010. Pembukaan surat penawaran harga ulang dilakukan di ruang rapat Deputi Gubernur BI Aulia Pohan. Hadir antara lain Direktur Pengedaran Uang BI Hermanus Susmanto, Direktur Peruri F.X. Sakri Ngadi, Deputi Direktur Pengedaran Uang Christian Sudirdjo, Deputi Direktur Pengedaran Uang A. Kaidi Tohir, Kepala Bagian Pengedaran Uang I Made Sudana, dan staf Bagian Pengedaran Uang, Syafi'i.
Hasilnya? Pura dan Hyosung dari Korea menjadi pemenang bersama untuk pengadaan bahan kertas uang pecahan Rp 5.000. Pura mendapat jatah 44.478 rim (70 persen) dan Hyosung menerima 19.062 rim (30 persen). Sedangkan untuk pecahan Rp 1.000, Pura menjadi pemenang tunggal.
Tender ulang dan kemenangan Pura ini segera meletikkan protes dari peserta yang sudah berpengalaman, seperti Crane & Co dari Amerika. Merebaklah tudingan adanya kolusi antara pejabat BI dan Pura di balik tender ulang tersebut.
Bukti-bukti yang sejauh ini terungkap memang bisa menyudutkan BI. Diam-diam antara Pura dan BI—tepatnya Yayasan Kesejahteraan Karyawan BI (YKKBI)—terjalin kerja sama dalam rangka membangun pabrik kertas uang bernama PT Pura Binaka Mandiri. Di perusahaan tersebut Pura menggenggam mayoritas saham sebesar 51 persen, YKKBI 42 persen, sisanya 7 persen dimiliki Imam Nirwansyah.
Sumber TEMPO membisikkan bahwa nama Imam Nirwansyah—yang merupakan karyawan Pura Barutama dan sohib Jacobus Busono, pemilik Pura—cuma dipakai. "Sebetulnya saham itu dimiliki oleh Aulia Pohan," ujar sumber tersebut.
Aulia sendiri berkali-kali membantah kabar miring tersebut. Ia justru merasa telah berjasa membuat tender dengan harga yang lebih murah. "Coba lihat di mana saya bermain. Kalau pakai cara orang Batak, penyebar gosip itu bisa saya libas semua," ujarnya menahan geram.
Tapi, dari surat Crane & Co terungkap pula bahwa Pura ditengarai melakukan manipulasi dan penggelembungan harga ketika membeli mesin pembuat kertas uang. Pada saat bersamaan, Pura membuat kontrak pembelian mesin dengan spesifikasi yang sama dari dua perusahaan: Fu-Fa Machinery Co. Ltd. dari Taiwan dan Indopart-Treuhand GmbH.
Pura memesan mesin dari Fu-Fa senilai US$ 1,5 juta. Mesin itu kemudian dikapalkan ke alamat Heng S. U Pte. Ltd. di Singapura. Heng S. U adalah perusahaan dagang dengan modal disetor cuma S$ 120 ribu. Tiga orang menguasai saham perusahaan ini, yaitu Hans Leo Schaefer, warga Jerman yang tinggal di Indonesia (45 persen), Melissa Limantara, warga Indonesia yang juga petinggi Pura (5 persen), dan Heng Suk U, warga Singapura (50 persen).
Di Singapura, semua daftar mesin berikut tagihan dan dokumen bongkar muat diubah oleh Heng S. U. Mesin itu kemudian dikapalkan ke Jakarta dengan identitas baru. Harga mesin berubah menjadi US$ 12,5 juta. Nama pemasok dan negara asal berganti dari Fu-Fa, Taiwan, menjadi Indopart-Treuhand, Jerman.
Perubahan ini sebetulnya menyisakan kejanggalan. Soalnya, Indopart-Treuhand adalah perusahaan keluarga berskala kecil yang dikelola oleh pasangan Schwinn. Mereka tak punya karyawan dan modalnya cuma US$ 22 ribu. Omzetnya pada tahun 1996, 1997, dan 1998 di bawah US$ 1 juta. Dan sebelum ini mereka cuma menjual piston, pompa, perkakas mesin, dan bahan-bahan pengepakan. Bagaimana mungkin perusahaan kelas teri ini tiba-tiba mengapalkan mesin senilai US$ 12,5 juta?
Nah, penggunaan mesin siluman inilah yang dianggap sebagai biang keladi buruknya mutu uang kertas buatan Pura. Tapi Direktur Pura Eddy Soesanto berkukuh, kualitas produknya yang di bawah standar jumlahnya kecil saja. "Kertas melengkung itu tak jelek. Itu karena kelembapan saja," ujarnya kepada anggota DPR, Januari 2001.
Sengketa antara Pura dan Peruri pun membuncah. Peruri membawa kasus ini ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Di sana Peruri menang dan Pura dianggap wanprestasi. Tak mau kalah, Pura mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kudus, Jawa Tengah. Di sini giliran Pura dinyatakan menang. Peruri tak tinggal diam dan segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam menyikapi sengketa itu, BI terlihat condong ke Pura. Bahkan sempat muncul wacana untuk mengambil alih Peruri. "Urusan percetakan, seperti halnya peredaran uang, sebaiknya menjadi wewenang BI," ujar Syahril Sabirin. Belakangan wacana itu kempis seiring dengan lengsernya Syahril dari kursi Gubernur BI.
Dampak perseteruan Pura dan Peruri bahkan sempat merembet ke gedung parlemen. Lobi yang kabarnya disertai angpau membuat sesama anggota DPR bergesekan. Hal ini misalnya melibatkan Permadi dari PDI Perjuangan dan A.M. Fatwa dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhirnya menegaskan pengadaan bahan kertas uang sejak 2001 menyimpang dari perjanjian pokok hubungan kerja (PPHK) antara Peruri dan BI. Soalnya, sejak dua tahun lalu, pengadaan bahan langsung dilakukan oleh BI. "Mestinya perjanjian itu tetap berlaku dan mengikat kedua belah pihak," tulis BPK.
Namun bank sentral berkukuh menganggap PPHK tak sesuai lagi dengan keadaan, karena telah terjadi perubahan peraturan di BI. Bank sentral juga beranggapan bahwa pengadaan bahan uang oleh BI perlu, untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi. Nah, kalau itu alasannya—untuk transparansi dan efisiensi—kenapa bisa muncul cerita macam-macam?
Nugroho Dewanto, Febrina Siahaan, Iwan Setiawan, Ali Nur Yasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini