LUKISAN seorang lelaki Nias melompati labirin angka langsung menyergap mata begitu kita memasuki bangunan megah itu. Di sebelah kanannya, terpampang gambar seorang perempuan Jawa yang menari gemulai dengan latar belakang lembaran duit kuno. Keduanya adalah karya pelukis kenamaan Dede Eri Supria berjudul Sejarah Mata Uang Indonesia I dan II. Di tembok barat, sepasang lukisan Teguh Ostenrik ikut menghidupkan ruangan bercat kelabu itu.
Masih belum cukup, di pintu masuk sepasang Osa-Osa, arca batu Nias kuno berbentuk anjing, berjaga dengan gagahnya. Di dekatnya berjejer pundi-pundi Batak. Sedangkan di pojok utara ruangan, sepasang totem kayu Kalimantan mengawasi setiap orang yang berlalu-lalang di hadapannya.
Jangan salah kira, gedung itu bukan museum, bukan pula galeri seni. Berbagai lukisan dan artefak itu dipajang di kantor Bank Indonesia, di kawasan Kebon Sirih, Jakarta. Sejak tahun lalu, bank sentral memang gencar mengoleksi benda seni. Menurut Astari Rasjid, pelukis kondang yang kini menjadi konsultan seni BI, hingga saat ini bank sentral telah mengoleksi sekitar 200 lukisan hasil karya berbagai pelukis top Indonesia. Dari jajaran pelukis muda, ada karya Arin Dwi Putranto. Dari angkatan yang lebih senior ada lukisan Agus Suwage dan Ugo Untoro.
Astari bercerita, pada awal tahun 2003, berkat dukungan Miranda Goeltom—ketika itu masih menjabat Deputi Gubernur BI—ia berhasil memboyong karya pelukis kondang Hendra Gunawan. Lukisan selebar 3 x 3 meter berjudul Perjuangan itu ditebus BI dengan duit tak kurang dari Rp 1 miliar. Selain memboyong karya Hendra, Astari juga mengaku bahwa lembaga otoritas moneter ini pun telah memiliki lukisan maestro lainnya, seperti Raden Saleh, Sudjojono, dan Affandi, yang tentu saja harganya tak kalah selangit.
Di mata Astari, tujuan pengumpulan benda seni itu setidaknya ada dua. Pertama, untuk menghidupkan gedung baru BI yang terkesan kaku dan dingin. Kedua, sebagai wujud penghargaan BI atas kekayaan budaya Indonesia. "Melihat karya seni yang baik bisa mengobati stres dan mengasah kepekaan kita," kata Astari.
Namun, kepekaan tim audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) rupanya lain lagi. Bukannya menghilangkan stres, pemeriksaan yang mereka gelar di bank sentral—hasilnya telah dirilis akhir bulan lalu—justru menemukan berbagai pemandangan yang kurang beres di balik keelokan barang-barang seni itu.
BPK mencatat, sepanjang tahun anggaran 2002, BI telah membelanjakan Rp 5,018 miliar untuk memborong berbagai barang seni. Rinciannya: lukisan total senilai Rp 4,79 miliar, patung Rp 169 juta, serta guci kuno Rp 59 juta. Di luar itu, BI telah membayar di muka Rp 1,265 miliar untuk sejumlah lukisan yang belum rampung digarap. Kisaran harga lukisan yang dibeli bermacam ragam, mulai dari yang kelas Rp 350 ribu per buah sampai yang Rp 1 miliar lebih per bijinya.
"Pemilihan benda seni yang dibeli dilakukan langsung oleh Deputi Gubernur yang membidangi logistik dan pengamanan, setelah berdiskusi dengan konsultan seni untuk BI," demikian ditulis hasil audit BPK. Pembelian dilakukan baik secara langsung melalui pemiliknya maupun via galeri, termasuk lewat berbagai lelang lukisan. Untuk yang di dalam negeri di Balai Lelang Larasati atau Balindo, dan di Christie's serta Sotheby's untuk yang di luar negeri.
Yang dimasalahkan BPK bukanlah nilai pembelian yang tergolong nauzubillah itu. Tim audit menyoroti berbagai "lubang" dalam pengelolaan benda seni itu, yang dinilai bisa membuka berbagai peluang bagi penyelewengan.
Yang paling mencolok adalah menyangkut pengadaannya yang tak secara spesifik diatur dalam manajemen logistik BI. Ini dikarenakan benda-benda seni, yang mestinya diperlakukan sebagai barang investasi itu, ternyata malah digolongkan sebagai fasilitas anggota Dewan Gubernur BI. Aturan ini tertera dalam Peraturan Dewan Gubernur BI yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2002.
Yang jadi masalah, dalam ketentuan itu tak secara jelas ditetapkan besaran dana yang dapat digunakan Dewan Gubernur untuk membeli berbagai barang seni yang mahal itu. Anehnya lagi, dalam Peraturan Dewan Gubernur di atas tercantum pasal 9 ayat (2), yang menyebut bahwa berbagai koleksi tersebut dapat dibeli anggota Dewan Gubernur setelah yang bersangkutan berhenti dari jabatannya. Bahkan, di pasal 14 lengkap diatur nilai diskon yang bisa diberikan. Besarnya tak kepalang tanggung, yakni 3 hingga 50 persen dari harga perolehan, tergantung lamanya masa jabatan si anggota Dewan Gubernur.
Celah di peraturan inilah yang oleh tim audit dikhawatirkan hanya akan memudahkan berbagai barang seni yang dibeli menggunakan uang negara itu berpindah tangan dengan harga supermurah, dan ujung-ujungnya membobol kas bank sentral. "Benda seni tersebut nantinya dapat dibeli/diganti dengan harga/nilai yang tidak wajar. Apabila sampai terjadi, hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi BI," demikian tertulis dalam hasil audit BI.
Karena itulah, menurut Bambang Wahyudi, pembina utama BPK, bank sentral perlu segera menyusun mekanisme penjualan barang seni koleksinya. "Sebaiknya penjualan dilakukan dengan lelang, sehingga BI mendapat harga yang wajar," tuturnya.
Kekhawatiran serupa diutarakan Lin Che Wei, analis perbankan yang juga gemar mengoleksi lukisan. Jika tak dikelola dengan benar, seperti yang disoroti hasil audit BPK, langkah ini menurut dia bisa berbuntut bencana. Dari pengamatan Che Wei selama ini, pembelian lukisan yang dilakukan oleh bank-bank di Indonesia terbukti telah banyak dijadikan ajang patgulipat.
Beberapa bank swasta yang ditutup tahun 1998-1999 pernah menyimpan segudang koleksi lukisan. Namun, baru belakangan diketahui ternyata lukisan-lukisan tersebut dibukukan dengan nilai yang lebih rendah dari nilai pasar, karena perusahaan tidak pernah merevaluasinya. Lebih parah lagi, beberapa bank malah dengan sengaja mendepresiasi nilai perolehannya, sehingga nilai bukunya otomatis jauh lebih rendah dari nilai pasar yang sesungguhnya. Ujung-ujungnya, persis terjadi seperti yang dikhawatirkan BPK dalam kasus BI, lukisan-lukisan itu lalu dibeli dengan harga supermiring oleh para pengelola dan pemiliknya sendiri.
Che Wei menilai langkah bank sentral memborong benda seni dengan dalih investasi tidaklah tepat. Menurut dia, BI cukup berinvestasi di valuta saja. Kalau perekonomian sedang boom dan brankas Bi sedang buncah uang, mungkin aksi beli lukisan sebagai fasilitas anggota Dewan Gubernur itu masih bisa dimaklumi. Namun, dalam kondisi ekonomi yang masih memprihatinkan seperti sekarang, Che Wei mengatakan, "Mestinya BI lebih sensitif. Masa, di masa krisis begini membeli lukisan seharga Rp 1 miliar?"
Menanggapi berbagai kritik di atas, Rusli Simanjuntak, Kepala Biro Gubernur BI, mengakui manajemen logistik di instansinya, khususnya tentang penanganan benda seni, memang masih punya banyak kelemahan. Karena itu, untuk mencegah kebocoran, saat ini BI sedang menggodok mekanisme perlindungannya. Rusli menyatakan hingga saat ini instansinya tak berniat menjual koleksi benda seni yang menjadi asetnya. "Tak mungkin BI menjual koleksi seninya kepada pejabatnya sendiri," ia menjamin.
Tak mungkin? Rusli mungkin kurang teliti. Dengan peraturan Dewan Gubernur seperti itu, pintu untuk memboyong koleksi "Galeri Kebon Sirih" telah dibuka lebar-lebar.
Iwan Setiawan, Thomas Hadiwinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini