Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Kalimantan Barat terpaksa menempuh perjalanan darat selama 12 jam menuju Kuching, Malaysia.
Bandara-bandara yang berubah status hanya disinggahi 169 wisatawan asing selama 2023.
Perubahan status menjadi bandara domestik akan meringankan beban operasional bandara.
MAYA Minzarina, warga Desa Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, menyayangkan penghapusan penerbangan internasional di Bandar Udara Supadio, Pontianak. Sebab, selama ini ia selalu terbang dari Supadio untuk mengantar ibunya yang sakit diabetes berobat ke Kuching, Malaysia. Gara-gara kebijakan pengurangan jumlah bandara internasional tersebut, Maya bersama ibu dan empat anaknya harus berangkat menggunakan bus selama 12 jam ke Kuching.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, ketika belum dihapus, durasi penerbangan langsung dari Supadio ke Kuching tak sampai satu jam. Panjangnya waktu perjalanan darat membuat Maya kesulitan menjaga kondisi ibunya dan mengurus anak-anaknya sepanjang perjalanan. Ditambah lagi antrean kendaraan di Pos Lintas Batas Negara atau PLBN Entikong kerap mengular. Kendati demikian, Maya tetap memutuskan berobat di negeri jiran itu.
Maya berharap Kementerian Perhubungan mempertahankan penerbangan internasional di Supadio. Menurut dia, banyak warga Indonesia yang memiliki masalah kesehatan khusus dan membutuhkan penanganan medis di luar negeri dengan harga terjangkau. "Jika pelayanan dan pengobatan di Indonesia sudah lebih baik, mungkin tidak banyak warga yang berobat ke luar negeri," ujar Maya, Kamis, 2 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan status internasional 17 bandara menjadi bandara domestik merupakan implementasi dari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menekan beleid itu pada 2 April 2024. Melalui keputusan itu, jumlah bandara internasional di Tanah Air tersisa 17 buah, dari sebelumnya 34 buah.
Tujuh belas bandara internasional yang berubah status itu adalah Bandara Maimun Saleh, Sisingamangaraja XII, Raja Haji Fisabilillah, Sultan Mahmud Badaruddin II, Raden Inten II, H.A.S. Hanandjoeddin, Husein Sastranegara, Adisutjipto, Jenderal Ahmad Yani, Adi Soemarno, Banyuwangi, Supadio, Juwata, Syamsuddin Noor, El Tari, Pattimura, dan Frans Kaiseipo.
Pesawat Super Air Jet di Bandara Internasional Husein Sastranegara di Bandung, Jawa Barat, Januari 2023. TEMPO/Prima Mulia
Minim Penumpang Internasional
Kementerian Perhubungan beralasan pemangkasan jumlah bandara internasional diperlukan untuk mendorong sektor penerbangan yang sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19. Pasalnya, bandara-bandara tersebut sepi penumpang, bahkan tidak memiliki penerbangan internasional. Pemangkasan jumlah bandara internasional diharapkan bisa mengurangi biaya operasional perusahaan pengelolanya.
Contohnya adalah Bandara Supadio, yang jumlah penumpang penerbangan internasionalnya hanya tiga orang sepanjang 2023. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, Bandara Husein Sastranegara di Bandung, Ahmad Yani di Semarang, dan Sultan Badaruddin II di Palembang tidak memiliki penumpang internasional sama sekali.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dari 34 bandara internasional yang dibuka sepanjang 2015-2021, bandara yang melayani penerbangan niaga mancanegara hanya Bandara Soekarno-Hatta, I Gusti Ngurah Rai, Juanda, Sultan Hasanuddin, dan Kualanamu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS, selama 2023 hanya 169 wisatawan asing yang menggunakan 17 bandara yang sekarang berubah status. Jumlah tersebut hanya 0,0021 persen dari total kunjungan wisatawan asing melalui pintu masuk udara. Begitu pula jumlah wisatawan nasional pengguna 17 bandara yang berubah status tersebut tidak banyak. Pada 2023, hanya ada 61.016 perjalanan atau 1,06 persen dari total perjalanan wisatawan nasional.
Membebani Pengelola Bandara
Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Sumatera Selatan. Dok.TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan sebagian besar bandara internasional hanya melayani penerbangan ke 1-2 negara dan bukan penerbangan jarak jauh. Walhasil, hub internasional justru dinikmati oleh negara lain. Bahkan, kata dia, ada bandara yang tidak memiliki penerbangan internasional. Kondisi itu membuat biaya operasional bandara membengkak dan tidak efisien.
PT Angkasa Pura Indonesia atau InJourney Airports menyambut positif keputusan ini. Direktur Utama InJourney Airports, Faik Fahmi, menilai pemangkasan jumlah bandara internasional dapat menghemat biaya operasional perusahaan. Ia menuturkan banyak bandara berstatus internasional yang sudah lama tidak memiliki penerbangan ke luar negeri. Ada pula bandara yang hanya menyediakan penerbangan internasional 2-3 kali sepekan.
"Banyak fasilitas di terminal internasional yang disiapkan sesuai dengan standar regulasi tapi hanya dimanfaatkan secara terbatas, bahkan menganggur," ujar Faik. Padahal fasilitas di bandara sudah disiapkan sesuai dengan standar internasional, seperti pemindai sinar-X dan ruang tunggu khusus di terminal. Melalui implementasi keputusan Menteri Perhubungan itu, Faik optimistis tatanan kebandarudaraan nasional akan menjadi lebih baik. Dia juga yakin strategi ini akan berimplikasi positif terhadap konektivitas udara dan pariwisata.
Dia memastikan bandara yang turun status menjadi bandara domestik akan tetap terhubung dengan bandara-bandara internasional. InJourney akan menerapkan pola hub dan spoke. Dalam pola ini, ada pelabuhan yang berperan sebagai hub atau pelabuhan utama dan pelabuhan yang berperan sebagai pelabuhan pengumpan alias spoke. "Sehingga bandara yang sudah tidak berstatus internasional tak akan sulit diakses oleh turis asing."
InJourney mengklaim konsep tersebut dapat membangun konektivitas yang baik dari bandara hub ke seluruh wilayah Indonesia. Menurut Faik, strategi itu sudah berlaku secara efektif di banyak negara. Dia mencontohkan Amerika Serikat yang memiliki sekitar 2.000 bandara dan hanya 18 bandara internasional. Ia menuturkan akses penumpang internasional dari dan menuju Amerika Serikat melalui 18 bandara tersebut terhubung secara mudah ke bandara-bandara lain yang berstatus domestik.
PT Angkasa Pura II sebagai pengelola 20 bandara turut mendukung penataan bandara internasional. Direktur Utama Angkasa Pura II, Agus Wialdi, menilai keputusan itu dapat memperkuat sektor penerbangan nasional. "Penataan bandara ini berdampak positif. Rute penerbangan semakin tertata dan akan mendorong pertumbuhan pariwisata domestik dan perekonomian nasional,” ujar Agus.
Dia menekankan bahwa 17 bandara yang ditetapkan sebagai bandara internasional akan menjadi hub penerbangan internasional. Kemudian bandara-bandara internasional tersebut terkoneksi jaringan penerbangan domestik dengan bandara-bandara lain di dalam negeri. Dia pun menilai penataan ini semakin memperkuat konektivitas penerbangan Indonesia.
Terdapat tujuh bandara milik Angkasa Pura II yang masuk daftar bandara internasional, yakni Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Kualanamu, Minangkabau, Sultan Syarif Kasim II, Soekarno-Hatta, Halim Perdanakusuma, dan Kertajati. Angkasa Pura II menyatakan akan berfokus mengembangkan rute penerbangan terintegrasi antara rute internasional dan rute domestik.
Agus mengatakan, Angkasa Pura II akan berkoordinasi dengan maskapai penerbangan dalam pengembangan rute penerbangan sesuai dengan Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2024. "Kami tetap mengutamakan aspek keselamatan, keamanan, pelayanan, serta pemenuhan seluruh regulasi," ujarnya.
Asal-muasal Bandara Internasional
Sejumlah pengamat transportasi berpendapat bahwa kebijakan pemangkasan jumlah bandara internasional lebih banyak memberi dampak positif dibanding negatifnya. Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi atau Instran Deddy Herlambang menyebutkan penetapan bandara internasional awalnya dilakukan untuk menarik wisatawan mancanegara. Namun, yang terjadi saat ini, justru lebih banyak masyarakat Indonesia yang ke luar negeri.
Akibatnya, lebih banyak devisa yang terbang dari bandara-bandara internasional. Apalagi biaya operasional bandara internasional jauh lebih tinggi daripada bandara domestik. Apabila jumlah bandara internasional dibatasi, dia menambahkan, penerbangan domestik berpotensi meningkat karena turis asing akan melakukan transit menggunakan penerbangan lokal ke destinasi utama.
Banyaknya jumlah bandara internasional diduga berawal dari permintaan pemerintah daerah dan Kementerian Pariwisata. Pengamat penerbangan Gatot Raharjo menyatakan kebijakan tersebut merupakan upaya mendatangkan wisatawan langsung dari luar negeri. "Padahal jumlah wisatawan sebenarnya tidak banyak jika dibandingkan dengan biaya bandara," ucapnya.
Menghemat Biaya Operasional
Pengurangan jumlah bandara internasional akan memberi penghematan bagi Angkasa Pura. Gatot menjelaskan, bandara internasional harus menyediakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar. Misalnya ruangan untuk CIQ atau Custom Immigration Quarantine dan Komite FAL atau Facilitation yang diketuai oleh manajemen bandara setempat. Padahal, ujar dia, pendapatan di banyak bandara internasional sangat minim. "Dengan tidak adanya penerbangan internasional, bandara lebih hemat. Bahkan 17 bandara internasional itu masih terlalu banyak," kata dia.
Pengamat pariwisata dari Universitas Andalas, Sari Lenggogeni, menilai pengurangan jumlah bandara internasional tidak akan banyak berpengaruh pada industri pariwisata. "Tidak akan terjadi pengurangan jumlah wisatawan mancanegara setelah bandara-bandara tersebut ditutup," ucap Sari saat dihubungi pada Kamis, 2 Mei 2024.
Jika biaya perawatan bandara terbukti lebih besar dibanding jumlah wisatawan yang masuk, ia berpendapat, bandara tersebut lebih baik ditutup. Wisatawan mancanegara tetap dapat berkunjung ke Indonesia melewati pintu-pintu masuk lain. Meski sekitar 60 persen turis asing masuk melalui bandara, Sari mengimbuhkan, alat transportasi darat juga memiliki andil besar untuk mendorong wisatawan melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata.
Sari menekankan, hal yang paling penting untuk memajukan pariwisata, termasuk wisata kesehatan, adalah perbaikan fasilitas dan promosi yang kuat. Karena itu, dia meminta pemerintah daerah dan pemerintah pusat menggencarkan promosi pariwisata dan menggelar acara-acara internasional di destinasi wisata prioritas. "Harus ada komitmen pemerintah setempat jika sektor pariwisata memang menjadi prioritas di wilayahnya."
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Aseanty Pahlevi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.