Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Upaya Raup Devisa dari Ekspor

Pemerintah optimistis penerapan kebijakan DHE SDA bakal meningkatkan jumlah devisa hingga dua kali lipat pada akhir tahun. 

 

28 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 17 April 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah optimistis cadangan devisa bisa meningkat hingga US$ 300 miliar.

  • Kewajiban penempatan devisa hasil ekspor akan meningkatkan likuiditas.

  • Pengusaha rumput laut minta dikecualikan dari ketentuan DHE SDA.

JAKARTA — Di tengah keluhan sejumlah eksportir ihwal ketentuan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) yang baru, pemerintah meyakini masih bisa meraup tambahan cadangan devisa. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memperkirakan jumlah cadangan devisa mencapai dua kali lipat pada akhir tahun nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah mengatur DHE SDA yang baru lewat Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Isinya adalah minimal 30 persen hasil devisa dari kegiatan ekspor bernilai paling sedikit US$ 250 ribu wajib disimpan di dalam negeri mulai 1 Agustus 2023. Dana tersebut harus mengendap di lembaga keuangan di Indonesia paling singkat tiga bulan lamanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dengan ketentuan ini, cadangan devisa kita, saya kira lebih dari US$ 300 miliar dalam waktu setahun ini," ujar Luhut, kemarin, 27 Juli 2023. Jumlahnya meningkat tajam jika dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2022 yang hanya US$ 137,2 miliar atau pada Juni 2023 yang sebesar US$ 137,5 miliar.

Ia menyadari perihal keresahan pelaku usaha dengan kebijakan yang baru ini. Namun Luhut memastikan pemerintah sudah menimbang dengan matang dampak penerapan ketentuan devisa hasil ekspor sumber daya alam. "Itu sudah lama kami diskusikan. Dengan para pengusaha juga sudah kami diskusikan."

Deretan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 17 April 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa kekhawatiran para pengusaha beralasan. Namun kebijakan terbaru DHE SDA dianggap memiliki semangat yang baik. Indonesia membutuhkan kenaikan devisa di sistem perbankan untuk mendukung nilai tukar yang lebih stabil ke depannya.

Melalui perhitungan kasar, Josua mencatat, setiap bulan ekspor Indonesia yang berasal dari SDA mencapai US$ 6 miliar dalam setahun terakhir. Artinya, DHE yang berpotensi masuk ke domestik dengan aturan ini minimal sebesar US$ 1,8 miliar setiap bulan. "Angka ini dapat menambah likuiditas dolar di pasar domestik dan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah ke depan," tuturnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, menaksir nilai yang lebih besar jika mempertimbangkan batasan minimal nilai ekspor yang dikenakan kewajiban DHE SDA terbaru, yaitu minimal US$ 250 ribu. "Total sampai akhir tahun memungkinkan sampai kisaran US$ 500-600 miliar," tuturnya.

Bhima menilai pemerintah tak perlu menanggapi keluhan para eksportir, mengingat urgensi kebijakan ini. Selain itu, implementasinya sejalan dengan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, yang bisa memicu pelemahan rupiah.

Direktur Eksekutif Segara Research, Piter Abdullah, menyatakan bahwa para eksportir tak seharusnya mengeluh setelah menikmati keuntungan hasil mengeruk sumber daya alam Indonesia. "Kalau industri manufaktur, kita masih bisa mengerti karena mereka butuh untuk impor bahan baku," ujar Piter. Namun dia mengingatkan bahwa ekspor Indonesia didominasi hasil SDA yang kebutuhan impornya tak sebanyak industri manufaktur.

Menurut Piter, kebijakan DHE SDA ini masih sangat lunak. Pemerintah bahkan tak meminta seluruh devisa ditukar ke rupiah, melainkan sekadar memarkirkannya di dalam negeri, itu pun dalam waktu minimal tiga bulan.

Eksportir hasil sumber daya alam wajib menyimpan devisa mereka di dalam negeri mulai 1 Agustus 2023. Setidaknya, 30 persen devisa hasil ekspor diparkir untuk minimal tiga bulan. Pemerintah mengincar tambahan cadangan devisa melalui kebijakan ini.

Khawatir Arus Kas Terganggu

Sejumlah eksportir khawatir kebijakan DHE SDA bakal mengganggu arus kas mereka. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia, Benny Soetrisno, mengatakan bahwa penempatan 30 persen devisa hasil ekspor selama tiga bulan bagi sebagian pengusaha berarti mengurangi modal kerja. "Kalau devisa yang ditempatkan tidak bisa digunakan untuk kerja, lalu dananya dari mana jika gross profit tidak sampai 30 persen," tuturnya.

Benny secara khusus menyoroti pelaku usaha yang bergerak di sektor perkebunan dan perikanan. Menurut dia, mereka tak memiliki keuntungan sebesar para pengusaha-pengusaha di industri ekstraktif seperti batu bara. Kalaupun pemerintah berkukuh melanjutkan kebijakan ini, dia berharap ada insentif bagi pengusaha yang patuh. Selama ini lembaga keuangan domestik tak jadi favorit bagi pengusaha menyimpan devisa lantaran ada tawaran menarik di luar. "Pertanyaannya, lembaga keuangan dalam negeri berani kasih insentif berapa."

Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit, Fadhil Hasan, mengatakan, penempatan DHE juga bakal menambah biaya operasional. Dengan modal kerja yang berkurang, pelaku usaha harus mencari pinjaman ke bank. "Pinjaman ke bank kan ada bunganya, itu akan menambah cost jadinya."

Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia, Safari Azis, berharap pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini. "Kami yang begitu ekspor langsung tukar ke rupiah untuk belanja lagi, harus dibedakan," katanya. Menurut dia, kebijakan ini bisa menghambat pembelian rumput laut dari pembudi daya pada akhirnya karena berkurangnya modal kerja.

Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Pandu Sjahrir, meminta waktu untuk duduk bersama pemerintah mendiskusikan ulang kebijakan DHE SDA. Dia mengatakan, anggotanya terancam kesulitan mengelola arus kas. "Margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30 persen," ucapnya. Selain itu, ada kenaikan biaya operasional akibat penurunan harga batu bara serta kenaikan royalti karena selisih harga batu bara acuan dengan harga jual aktual yang tinggi.

VINDRY FLORENTIN | ANT

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus