Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Upaya Panjang di Kunjungan Pendek

Freeport dan sejumlah pemegang kontrak karya melobi agar dikecualikan dari ketentuan larangan ekspor bahan mentah dan pengenaan bea keluar. Pemerintah berkukuh menolak dan bersiap menghadapi gugatan hukum.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RABU pekan terakhir Januari lalu menjadi hari yang padat bagi Richard C. Adkerson. Datang jauh-jauh dari markasnya di Phoenix, Arizona, Presiden dan Kepala Eksekutif Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc itu ke Jakarta untuk melobi sejumlah petinggi. Didampingi Direktur Utama PT Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto, hari itu yang pertama ia kunjungi adalah Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat.

Pertemuan berlangsung kurang-lebih dua jam. Pada sesi awal, di hadapan Hidayat, rombongan Freeport mempresentasikan kinerja mereka selama puluhan tahun beroperasi di Indonesia, berikut jasa dan kontribusinya. Mereka mengklaim tak sedikit yang telah diberikan kepada Indonesia.

Taktik lobi ini rupanya kurang mengena di hati Hidayat. Sang Menteri kemudian meminta tamunya berbicara lebih terus terang tentang maksud dan tujuan mereka. "Anda bicara sama saya blakblakan saja. Sebab, sebagai mantan pengusaha, apa yang Anda hitung itu bisa saya hitung. Jadi ilmu menghitung kita sama," ujar Hidayat menceritakan apa yang dia sampaikan kepada Adkerson, Rabu pekan lalu.

Freeport memang sedang risau terhadap kebijakan baru yang diberlakukan pemerintah beberapa pekan sebelumnya. Melalui peraturan pemerintah dan sejumlah keputusan menteri sebagai turunan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), pemerintah tegas melarang ekspor bahan mentah hasil tambang sejak 12 Januari lalu.

Dengan kadar pemurnian tertentu dan jumlah terbatas, ekspor masih diizinkan, tapi Menteri Keuangan mengenakan bea keluar yang cukup besar. Tarifnya dari 25 persen untuk tembaga dan 20 persen untuk mineral lainnya, dan terus naik secara progresif setiap enam bulan sampai batas 60 persen pada akhir 2016.

Pemerintah masih meminta syarat tambahan untuk memberi izin ekspor terbatas bagi perusahaan tambang. Syarat itu adalah proposal dan peta rencana pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang atau smelter. Ini harus diwujudkan paling lambat akhir 2016. Bukan hanya itu, pemerintah sedang menyusun lagi aturan lain yang dimaksudkan untuk meminta jaminan bahwa rencana tersebut sungguh-sungguh akan dijalankan. Caranya dengan menetapkan kewajiban bagi para penambangan itu untuk menyetorkan lima persen dari nilai investasi smelter yang mereka rancang.

Sebab, lima tahun sejak undang-undang itu keluar pada 2009, pemerintah melihat banyak perusahaan tambang tak memenuhi janji mereka. "Yang namanya komitmen jangan hanya ngomong, tapi juga investasi. Taruh duit," kata Menteri Keuangan M. Chatib Basri.

Menghadapi sikap keras pemerintah, Freeport kelabakan. Perusahaan ini memegang Kontrak Karya I yang berlaku 30 tahun sejak memulai operasinya pada 1973 dan diperpanjang untuk kurun yang sama dengan kontrak kedua pada 1991—berlaku sampai 2021. Kontrak kedua itu meliputi luas konsesi 2,6 juta hektare di kawasan pegunungan di Papua, dengan opsi perpanjangan dua kali 10 tahun.

Selama ini 40 persen hasil tambang dari Papua dikirim ke fasilitas pemurnian tembaga dan emas di PT Smelting di Gresik, Jawa Timur. Smelter ini adalah usaha patungan Freeport bersama Mitsubishi Materials Corporation. Produksi konsentrat tembaga dan emas selebihnya mereka kirim ke berbagai pabrik pengolahan di luar negeri. "Kami berharap bisa melanjutkan kegiatan kami dengan normal," ucap Adkerson setelah bertemu dengan Hidayat.

Namun usaha mereka melobi Menteri Perindustrian boleh dibilang berujung tumpul. Hidayat, yang menemui mereka bersama dua pejabat eselon I, sejak awal sudah memasang posisi bertahan. Berbagai paparan keberhasilan yang diklaim Freeport dianggap angin lalu. "Saya katakan, justru Anda setelah lebih dari 30 tahun bekerja semestinya membangun smelter, bukan hal yang besar," katanya mengulang pernyataannya kepada Adkerson.

Kepada tamunya, mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri ini menjelaskan, pengenaan bea keluar adalah kebijakan pemerintah untuk "memaksa" perusahaan tambang agar membangun smelter. Kalau sekarang Freeport minta dikecualikan dari aturan itu karena terikat kontrak karya sebagai lex specialis, Hidayat tak bisa menanggapinya. "Kalau Anda memperdebatkan masalah hukum, saya kira saya bukan tempatnya," ujarnya.

Dia menegaskan hanya akan terbuka jika Freeport mendiskusikan persoalan spesifikasi smelter atau pihak yang akan mereka ajak kerja sama dan bagaimana skema investasinya. "Kalau Anda memberi jaminan bahwa dalam tiga tahun akan membangun smelter, rasanya kita bisa bicara mengenai keberatan Anda terhadap persentase bea keluar."

Adkerson tahu tak ada gunanya berlama-lama atau memaksa Hidayat. Apalagi tuan rumah mempersilakannya berbicara kepada Menteri Keuangan atau Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa jika masih ngotot minta dibebaskan dari pengenaan bea keluar. "Itu lebih relevan, daripada Anda sama sekali tidak mau membangun tapi Anda komplain mengenai bea keluar. Itu tidak akan ketemu," Hidayat menegaskan. "Akhirnya dia pulang dengan bilang akan membuat perhitungan yang konkret dan dengan siapa mereka akan berkongsi membangun smelter."

Sambil berpamitan, Adkerson berpesan kepada Hidayat agar memikirkan komplain mereka soal bea keluar itu. "Pak Hidayat sudah mencatat dan dia menjelaskan bahwa regulasi duties itu wewenang Menteri Keuangan," kata Adkerson.

Mentok di Hidayat, lobi berpindah ke Jalan Lapangan Banteng—menemui Hatta Rajasa. Sorenya dilanjutkan lagi ke kantor Chatib Basri. Pertemuan Adkerson dengan Menteri Keuangan berlangsung sekitar satu setengah jam sampai menjelang pukul 8 malam. Esoknya, pendekatan dilakukan dengan mendatangi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik.

Ternyata ketiga menteri itu tak kalah kukuh dari Hidayat. Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo menggambarkan, dalam pertemuan itu, posisi pemerintah tak sedikit pun bergeser. "Mereka bilang begini-begitu. Katanya smelter itu tidak ekonomis. Itu urusan dia," ucap Susilo. "Kami bilang, 'You pokoknya harus bangun. Kalau mau ekspor, silakan. Tapi, ya itu tadi, bikin roadmap smelter'."

Seperti halnya Hidayat, para menteri itu hanya mau melanjutkan pembicaraan dan negosiasi atau insentif lain jika Freeport sudah menyatakan kesediaannya mengikuti rencana pemerintah. "Kalau mereka mau begitu, mari kita diskusi bea masuk mesin diperkecil atau keringanan pajak lainnya. (Tapi) jangan mereka datang ke Menko dan para menteri dan bilang ini smelter tidak ekonomis, lalu mending tidak bangun. Tidak bisa, tak ada cerita itu," Susilo menegaskan.

Menemui kekakuan itu, Freeport mulai mencoba menekan. "Mereka bilang, kalau diharuskan begitu, mereka akan berhenti produksi," Susilo mencontohkan bentuk tekanan itu. Tapi pemerintah tak mau mengalah. "Ya, silakan saja berhenti. Yang pasti, barang mereka masih di Indonesia. Mereka mau ke arbitrase, silakan."

Kepada wartawan yang menunggunya keluar dari kantor Menteri Keuangan pada Rabu malam itu, Richard Adkerson tetap mencoba sopan dan memberi pernyataan positif. "Kami telah melakukan pertemuan dengan sangat baik," katanya. Ia menolak menjelaskan lebih lanjut mengenai ancaman mereka menghentikan operasi atau menggugat ke arbitrase. "Mohon maaf, kami tidak dalam posisi memberikan tanggapan untuk saat ini," ujar Wakil Direktur Komunikasi Freeport Indonesia Daisy Primayanti.

Direktur Utama PT Newmont Nusa Tenggara Martiono Hadianto pun tak mau memperuncing keadaan. Ia menjawab diplomatis saat ditanya mengenai posisinya. "PT Newmont Nusa Tenggara masih terus mengadakan diskusi substantif dengan pemerintah untuk mencari solusi yang menghormati ketentuan-ketentuan dalam kontrak karya dengan tetap mendukung Undang-Undang Minerba 2009," ucapnya. Bersamaan dengan itu, ia melanjutkan, perusahaannya meyakinkan bahwa keberlangsungan operasi tambang mereka di Batu Hijau tak hanya untuk kepentingan Newmont, tapi juga pemerintah, masyarakat lokal, dan para karyawan.

Belakangan, Freeport terlihat mulai melunak. Senin pekan lalu, mereka menyatakan telah menggandeng PT Aneka Tambang untuk menjajaki kerja sama pembangunan smelter melalui nota kesepahaman yang diteken. Menurut Rozik B. Soetjipto, kerja untuk melanjutkan studi kelayakan akan berlangsung selama tiga bulan. Freeport memiliki tiga alternatif lokasi di Jawa Timur, yaitu di Gresik, kawasan dekat pelabuhan Pelindo, dan Polowijo. "Satu lokasi lagi di Amamapare, Papua," katanya. Nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 2,2 miliar, dengan kapasitas produksi 300 ribu ton dan menyerap 1,2 juta ton bahan mentah tambang.

Meski demikian, bukan berarti para penambang akan menyerah cepat-cepat. Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia dan delapan perusahaan pertambangan bahkan sudah lebih jauh bergerak. Mereka menggugat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi, dan pada Selasa pekan lalu sudah sampai tahap sidang pemeriksaan pendahuluan.

Secara khusus mereka mempersoalkan pasal 102 dan pasal 103 dalam undang-undang itu, yang ditafsirkan karena pemerintah dan dijadikan dasar melarang ekspor mineral mentah. Refly Harun, pengacara yang mewakili asosiasi dan delapan perusahaan itu, menyatakan mempersoalkan kepastian hukum peraturan tentang larangan ekspor dan pemurnian hasil tambang yang terus berubah. "Dulu peraturan menteri turunannya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, sekarang dibuat aturan serupa," ujarnya.

Menghadapi lobi dan serangan bertubi-tubi begitu, pemerintah tak hendak beranjak dari sikapnya semula. Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo mengatakan akan tetap maju terus dengan aturan yang ada. Menurut dia, posisi pemerintah saat ini sudah sampai pada titik yang tak lagi memungkinkannya berbalik arah. "Smelter is a must. Siapa pun, Freeport, Newmont, Vale, kalau tak mau bangun, ya sudah, bye, bye.…"

Y. Tomi Aryanto, Gustidha B., Ali Hidayat, Ananda Teresia


Produksi Emas (ton)

  • 2009: 104
  • 2010: 104
  • 2011: 76
  • 2012: 75
  • 2013: 59

    Produksi Batu bara (juta ton)

  • 2009: 254
  • 2010: 275
  • 2011: 353
  • 2012: 407
  • 2013: 421

    Produksi Tembaga Dan Timah*

    Tembaga

  • 2009: 999
  • 2010: 878
  • 2011: 543
  • 2012: 448
  • 2013: 450

    Timah

  • 2009: 60
  • 2010: 48
  • 2011: 42
  • 2012: 95
  • 2013: 88

    Produksi Bijih nikel dan Bijih besi**

    Biji Nikel

  • 2009: 6
  • 2010: 7
  • 2011: 32
  • 2012: 41
  • 2013: 60

    Biji Besi

  • 2009: 5
  • 2010: 4
  • 2011: 12
  • 2012: 10
  • 2013: 19
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus