Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lebih dari dua pekan PT Smelting Gresik berhenti melebur tembaga di pabrik karena sedang melakukan pemeliharaan rutin mesin sejak 27 Januari lalu. "Ada penggantian onderdil mesin dan sejumlah pipa," kata salah seorang pegawai kepada Tempo di depan pabrik yang berada di kawasan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, itu, Rabu pekan lalu.
Meski begitu, bukan berarti seluruh aktivitas pabrik yang sebagian besar bahan bakunya dipasok PT Freeport Indonesia (70 persen) dan PT Newmont Nusa Tenggara (30 persen) itu berhenti total. Menurut pantauan Tempo, sejumlah truk berbagai ukuran, dari pikap hingga kontainer, masih lalu-lalang mengangkut berbagai material tambang. "Produk itu akan dikirim ke luar negeri," ujar pegawai tadi.
Di antara material itu, ada produk sampingan dari proses pemurnian tembaga yang disebut anoda slime. Meski bentuknya hanya berupa serbuk hitam, produk itu mengandung logam mulia, seperti platina, emas, perak, paladium, dan selenium.
Tersebab produk bernilai mahal ini, Makoto Miki, Direktur Utama PT Smelting Gresik, berkoar-koar di media pertengahan November tahun lalu. Dia mengaku khawatir penerapan hilirisasi mineral bakal berdampak pada larangan ekspor komoditas yang jadi salah satu produk andalan mereka, selain katoda tembaga. "Smelting Gresik bisa berhenti beroperasi," kata Miki.
Ancaman ini terbukti gertak sambal belaka. Meski bisa berhenti beroperasi, aktivitas di pabrik dan perawatan mesin untuk menunjang usaha menjadi petunjuk Smelting Gresik belum akan tutup dalam waktu dekat. Toh, ekspor anoda slime masih berjalan lancar.
Pengamat sektor pertambangan Simon Felix Sembiring menilai wajar jika Miki cemas terhadap pemberlakuan aturan hilirisasi produk mineral. Sebab, dalam setahun Smelting Gresik bisa memproduksi anoda slime hingga 1.800 ton. "Semua dikirim ke Jepang begitu saja," ucap Simon. "Ini sangat disayangkan."
Dari dokumen hasil uji identifikasi barang di laboratorium PT Smelting Gresik yang dilampirkan dalam laporan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang salinannya diperoleh Tempo, terkuak betapa besar keuntungan yang diraup perusahaan itu.
Satu ton anoda slime bisa mengandung emas sebanyak 2,86 persen, perak 58,68 persen, timbel 40,99 persen, selenium 18,2 persen, dan sisanya berupa kandungan logam, seperti platina dan paladium. Namun, karena dianggap sebagai produk sampingan, selama belasan tahun produk ini diekspor tanpa dikenai pembatasan dan bea keluar.
Dalam laporan yang juga mencantumkan profil Smelting Gresik itu disebutkan bahwa perusahaan dalam setahun bisa memproduksi emas sebanyak 31 ton. Pencapaian ini jauh lebih besar daripada yang dihasilkan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang hanya mampu memproduksi emas sebanyak 3 ton.
Menurut dokumen tersebut, jumlah produksi Smelting Gresik setara dengan separuh dari produksi emas Mitsubishi Corporation. Dalam hitungan kasar, selama 15 tahun sejak PT Smelting beroperasi pada 1998, pemerintah Indonesia membuang percuma emas seberat 465 ton dengan nilai mencapai Rp 237 triliun.
Seharusnya, jika dikenai bea keluar dengan patokan sebesar 20 persen sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.011/2014 yang berlaku sekarang, setiap tahun Indonesia bisa meraup tambahan pendapatan Rp 3,7 triliun atau Rp 55,5 triliun dalam 15 tahun terakhir. Itu baru dari komoditas emas, belum termasuk komoditas logam lain yang terkandung dalam anoda slime.
Bukan hanya bea keluar. Masalah royalti, yang seharusnya bisa dioptimalkan negara, juga lolos begitu saja. "Royalti yang dikenakan selama ini hanya untuk emas, tembaga, dan perak. Kandungan logam lain belum," kata Simon.
Potensi ini sejatinya terendus oleh Aneka Tambang. Sejak 2007, perusahaan pelat merah ini mencoba mendekati pemerintah untuk bisa ikut menikmati produk sampingan Freeport dan Newmont. "Namun belum berhasil karena saat itu Undang-Undang Minerba belum terbit," ucap Direktur Utama Aneka Tambang Tato Miraza. "Meski setelah keluar juga dianggap remeh."
Dia mengatakan saat itu komunikasi antara pemerintah dan kontrak karya belum begitu lancar. "Dampak produk serbuk anoda melayang begitu saja," ujar Tato.
Menjelang pemberlakuan hilirisasi mineral pada awal tahun ini, pemerintah baru kebat-kebit. Penyebabnya adalah amanat Peraturan Menteri Nomor 07 Tahun 2012, yang meminta pemurnian anoda slime mulai dilakukan di dalam negeri. Sedangkan PT Smelting, sebagai produsen anoda slime terbesar, bertahan untuk tetap mengirim anoda slime ke Jepang dengan alasan fasilitas pemurnian hanya berada di sana.
Dipimpin Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, pemerintah berembuk dengan para pemangku kepentingan pada November tahun lalu. Menurut Tato, Aneka Tambang turut diundang dalam pertemuan tersebut. "Kami ditanya soal kesanggupan membangun smelter anoda slime," katanya. "Saat itu kami langsung bilang sanggup akan bisa selesai tahun ini."
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo membantah jika pemerintah disebut telat menyadari hilangnya potensi penerimaan dari ekspor anoda slime ke Jepang. Menurut dia, sejak upaya renegosiasi diusung pada 2009, pemerintah sudah intens meminta produk tersebut bisa diolah di dalam negeri. "Tapi saat itu memang belum ada fasilitasnya. Sekarang sudah disiapkan dan kami berfokus pada rencana ke depan saja," ujarnya.
Tato kembali menegaskan kemampuan perseroan membangun smelter anoda slime. "Kami hanya butuh waktu delapan bulan," katanya. Apalagi saat ini Aneka Tambang sudah memiliki alat pemurnian untuk mengolah dore, hasil pengolahan anoda slime, yang kemudian dimurnikan menjadi logam mulia.
Menurut dia, Antam hanya butuh menambah investasi sekitar US$ 100 juta untuk menambah peralatan yang diperlukan dalam pengolahan anoda slime menjadi dore dan mengoperasikan smelter secara penuh. Lokasi pabrik rencananya berada di Pulo Gadung, Jakarta. "Jika sudah beroperasi, kami baru bisa memurnikan 500 ton anoda slime dari 1.800 ton yang dihasilkan PT Smelting," ucap Tato.
Sembari menunggu Antam menyelesaikan proyeknya, pemerintah masih memberi izin kepada PT Smelting untuk mengekspor anode slime. "Target kami pada 2017 sudah tidak ada lagi anode slime yang diekspor. Kalau Aneka Tambang bisa selesaikan smelter, malah bisa lebih cepat," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R. Sukhyar.
Dia mengakui tetap mengizinkan ekspor berarti masih ada potensi tambahan pendapatan negara yang hilang begitu saja. Terutama dalam pungutan royalti. Sebab, ketika anoda slime diekspor ke Jepang, negara hanya mencatat pendapatan untuk logam mulia, seperti emas, perak, dan tembaga. Sesuai dengan transaksi jual-beli yang dilakukan PT Smelting dan Mitsubishi di Jepang. "Logam lain tidak dipungut karena tidak ditransaksikan, tapi sebenarnya ikut," kata Sukhyar.
Apabila smelter selesai dibangun, Aneka Tambang akan menggantikan Mitsubishi untuk membeli anoda slime dari PT Smelting. Semua kandungan logam yang terdapat dalam anoda slime pun bisa dimurnikan di dalam negeri untuk mengoptimalkan nilai tambah mineral.
Tapi rencana ini masih terhambat di sisi perpajakan. Sebab, untuk membeli anoda slime dari PT Smelting, Aneka Tambang dikenai beban pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. "Kami minta insentif agar pajak ini bisa diringankan," ujar Sukhyar.
Gustidha Budiartia, Ayu Primasandi (Jakarta), David Priyasidharta (Gresik)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo