Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha mempertanyakan urgensi pembentukan Satgas HWI.
Data wajib pajak menjadi kunci efektivitas pengawasan.
Wajib pajak orang kaya menjadi ceruk potensial untuk meningkatkan penerimaan.
JAKARTA – Rencana pemerintah membentuk satuan tugas pengawas wajib pajak superkaya atau high wealth individual (Satgas HWI) membuat kalangan pengusaha bertanya-tanya. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, misalnya, mempertanyakan urgensi pembentukan tim khusus tersebut. "Rencana tersebut sah-sah saja. Tapi, yang menjadi pertanyaan, apakah sudah seurgen itu?" ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di samping itu, Sarman mempertanyakan data wajib pajak yang dimiliki pemerintah sampai akhirnya memutuskan membentuk satgas tersebut. Menurut dia, perlu ada evaluasi dan kajian menyeluruh mengenai pendataan wajib pajak superkaya. Pemerintah pun diminta menjelaskan siapa saja yang masuk kategori individu superkaya serta indikatornya, sehingga tugas satgas ini lebih terarah dan tepat sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tujuan satgas ini tidak boleh untuk menakuti, melainkan supaya para wajib pajak taat aturan perpajakan." Dengan demikian, kata Sarman, para orang kaya ini pun dapat berusaha di Indonesia dengan nyaman, tapi tetap berkontribusi melalui pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Hal senada disampaikan Kepala Badan Fiskal dan Perpajakan Himpunan Pengusaha KAHMI, Ajib Hamdani. Ia mengatakan kebijakan yang diambil pemerintah adalah langkah wajar untuk mengoptimalkan pajak. Apalagi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi pada 2022 hanya Rp 11,58 triliun atau 0,7 persen dari total penerimaan. "Tantangan ke depan adalah basis data yang belum valid dan terintegrasi."
Contoh kasus yang kerap terjadi, ia mengilustrasikan, adalah ketika seseorang membeli mobil lebih dari satu tapi menggunakan nama orang lain di surat-suratnya. Akibatnya, peta kekayaan dan penambahan asetnya sulit teridentifikasi. Keberadaan satgas ini, kata Ajib, diharapkan bisa mengungkit peningkatan kepatuhan, dibarengi dengan penegakan hukum berdasarkan data yang lebih akurat. Dengan demikian, penerimaan perpajakan dari individu bisa lebih optimal.
"Dengan rasio gini masih di kisaran 0,384, atau tingkat kesenjangan tinggi, seharusnya jumlah wajib pajak dengan tarif PPh sebesar 30 persen atau 35 persen lebih banyak," ujarnya. Optimalisasi tersebut bisa membuat kontribusi penerimaan dari PPh orang pribadi mencapai 5-10 persen.
Pembentukan Satgas HWI disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, beberapa waktu lalu. Suryo menjelaskan, pembentukan satgas tersebut merupakan bagian dari program kerja komite kepatuhan yang dimulai tahun ini. Direktorat Jenderal Pajak juga akan menggunakan komite kepatuhan sebagai alat untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum.
Suasana pelayanan KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Ketua Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menduga pembentukan Satgas HWI sebagai upaya mencapai target penerimaan pada 2023. Musababnya, jika melihat data teranyar, realisasi penerimaan pajak baru 46 persen dari target. "Karena itu, perlu ada regulasi dan satgas agar target perpajakan dapat tercapai," kata dia.
Arsjad mengatakan lembaganya mendukung upaya pemerintah meningkatkan penerimaan perpajakan. Hanya, ia mengingatkan agar pajak yang ditarik pemerintah juga harus didistribusikan kembali untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Misalnya, melalui insentif untuk dunia usaha, terutama bagi industri yang masih terkena dampak pelemahan ekonomi global, seperti industri berbasis ekspor dan UMKM.
Ia mengklaim dunia usaha terus meningkatkan kepatuhan dalam pembayaran dan pelaporan pajak. Buktinya, penerimaan PPh badan meningkat 71,72 persen secara tahunan pada 2022 dan pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) badan tumbuh 7,3 persen. Padahal, kata dia, pelaku usaha juga menghadapi banyak kendala. "Seperti kompleksitas administrasi perpajakan, kurangnya sosialisasi perpajakan daerah, pelayanan pajak yang kurang baik, buruknya pemahaman fiskus, serta buruknya tatanan regulasi."
Ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai pembentukan Satgas HWI memiliki landasan yang kuat, antara lain terus meningkatnya pendapatan orang kaya meski kondisi ekonomi lesu akibat pandemi. Artinya, gangguan wabah tidak begitu mempengaruhi penerimaan mereka. Karena itu, ia berpendapat bahwa kelompok ini dapat menjadi ceruk dan peluang bagi penerimaan negara.
"Adanya Satgas HWI layaknya layanan prioritas pada beberapa bank. Memang kelompok ini perlu diperhatikan untuk menjaga agar mereka bisa tetap melaporkan dan membayar pajak secara tertib," ujar Yusuf. Soal data, ia mengatakan, pemerintah telah mengadakan aneka program reformasi perpajakan yang seharusnya menghasilkan berbagai data, termasuk kekayaan orang Indonesia di luar negeri. Karena itu, perolehan data tersebut harus diikuti dengan tindak lanjut yang konkret.
Yang pasti, ia berujar, tren dan porsi kontribusi penerimaan pajak penghasilan, terutama Pasal 25 orang pribadi, masih relatif kecil. Maka, sudah sewajarnya pemerintah menggali penerimaan dari pos ini. "Tentu ada peluang penerimaan pos pajak ini, tapi hasil dari satgas ini tidak akan instan."
Adapun Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, yakin pengetatan pengawasan melalui Satgas HWI berpotensi mendorong kenaikan realisasi penerimaan pajak, terutama pajak orang perorangan. "Pengawasan khusus ini juga berpotensi mendorong penerimaan lebih efisien karena penerimaan dari wajib pajak HWI akan lebih besar daripada masyarakat umum," ujarnya.
CAESAR AKBAR | KHORY ALFARIZI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo