Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Usul Kejutan Sang Duta

Kabinet tak kompak dalam soal pengurangan beban utang. Berpikir menurut logika birokrat lembaga kreditor.

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK cara bisa dilakukan untuk menarik perhatian. Yang dilakukan Paskah Suzetta, tak lama setelah ia dilantik menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), awal Desember lalu, adalah membuat pernyataan mengejutkan soal perlunya Indonesia mengurangi utang luar negerinya. Kalau perlu dengan meminta haircut atau pemotongan.

Cara Paskah terbukti manjur. Mereka yang tertarik datang untuk minta klarifikasi atas pernyataan itu antara lain Duta Besar Amerika Serikat B. Lynn Pascoe, Perwakilan Dana Moneter Internasional (IMF) Stephen Schwartz, dan Perwakilan Bank Dunia Andrew Steer.

Dari Jepang, tak hanya Duta Besar Yutaka Iimura yang datang. Para anggota parlemen dari kubu pemerintah maupun oposisi secara bergantian memerlukan bertemu langsung dengan Paskah untuk minta penjelasan.

Pertanyaannya, adakah ”pancingan” Paskah itu hanya akan berhenti sebagai kejutan yang memberi tanda kehadirannya sebagai menteri baru? Atau, akan bergulir mengikuti jejak beberapa negara yang lebih dulu bisa menikmati pengurangan utang seperti Argentina atau Nigeria?

Kepada Paskah, Lynn Pascoe mengaku buru-buru menemuinya karena mendapat perintah langsung dari Washington. Pemerintahnya ingin tahu apakah Paskah bersungguh-sungguh menginginkan pemotongan utang. Yutaka Iimura menimpali, konstitusi di negaranya tak mengizinkan pemotongan utang semacam itu.

Stephen Schwartz bahkan langsung datang dengan ”ancaman”. Akibat pernyataan Paskah itu, katanya, minat para investor terhadap surat utang global milik pemerintah, yang rencananya akan diterbitkan sebanyak US$ 1,5 miliar tahun ini, langsung menguap.

Efek kejut tak sedap itulah yang juga ditakutkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang sebelum pindah ke Lapangan Banteng duduk di kursi yang kini ditempati Paskah. Seperti hendak menenangkan para kreditor dan negara donor, menteri yang juga pernah duduk sebagai direktur eksekutif di IMF itu tak kalah gencar memberi keterangan yang 180 derajat berlawan arah dengan Paskah.

”Kalau tidak hati-hati, kreditor bisa salah pengertian dan rating utang kita bisa turun,” Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia Nasution, turut memberi alasan atas pendapat Sri Mulyani. Menteri Koordinator Perekonomian Boediono pun tak jauh dari posisi itu.

Penurunan peringkat utang tentu akan berakibat pada naiknya bunga yang harus kita tanggung. Surat utang yang kita terbitkan pun akan dihargai rendah karena investor menganggap risiko menanam uang di Indonesia akan makin tinggi.

”Para pemilik kapital itu sangat sensitif terhadap apa pun yang kita sebutkan, dan saya tidak ingin menimbulkan persepsi yang salah,” kata Sri Mulyani, Rabu pekan lalu, di depan para pelaku pasar surat utang negara yang ia kumpulkan di Jakarta. Setiap persepsi risiko yang muncul akan dengan cepat menimbulkan biaya bagi kita. ”Fungsi saya untuk menghindari itu.”

Gesekan antara Lapangan Banteng dan Taman Suropati itu mengingatkan orang pada perbedaan posisi yang dulu juga terjadi antara Boediono ketika masih menjabat Menteri Keuangan dan Kwik Kian Gie yang memimpin Bappenas di kabinet Presiden Megawati. Kwik, yang telah lama dikenal nasionalistis itu, akhirnya agak ”terkucil” karena melawan arus. Pendapatnya dianggap kelewat radikal menyangkut utang.

Bedanya, kali ini pendapat itu muncul dari Paskah, seorang bukan ekonom ”teknokrat”, melainkan politisi yang berkarier di Golkar—sebuah partai ”warisan” Orde Baru. Paskah menjelaskan, logika yang melatari pendapatnya memang lebih banyak dipengaruhi pengalamannya sebagai pedagang dan 16 tahun duduk sebagai anggota parlemen di komisi yang mengurusi anggaran negara.

Dari situ ia tahu, beban anggaran kita terlalu berat digelayuti kewajiban membayar utang, yang totalnya mencapai US$ 130 miliar lebih atau 48 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun lalu. Dari jumlah itu, US$ 75 miliar lebih merupakan utang luar negeri.

Tahun ini saja, bunga utang yang harus kita bayarkan mencapai 11,8 persen dari total anggaran, atau Rp 76,6 triliun. Bila pokok utang dihitung, Rp 171,6 triliun uang kita, atau 26,5 persen anggaran, akan habis buat mencicil. Angka itu sepuluh kali lipat dari jumlah bantuan tunai langsung, yang diberikan pemerintah kepada rakyat miskin kita sepanjang tahun ini sebagai kompensasi atas kenaikan harga minyak.

Bandingkan juga dengan belanja modal yang menjadi stimulan bagi perekonomian kita, yang cuma 9,7 persen dari anggaran atau Rp 62,95 triliun. ”Utang inilah kanker dalam anggaran kita selama puluhan tahun ini,” katanya.

Tak ada cara lain, beban itu harus dikurangi, kalau bisa maksimum 30 persen dari PDB pada 2009. Caranya bisa dengan menggenjot pertumbuhan PDB, atau jumlah utangnya yang diturunkan. Bagi Paskah, soal utang ini tak beda dengan urusan tawar-menawar dalam perdagangan biasa. ”Semua bisa dinegosiasikan,” ujarnya.

Karena itu, ia lebih memilih mengupayakan penurunan beban utang luar negeri kita melalui pembicaraan di forum bilateral. Hal ini juga berseberangan dengan pendapat Sri Mulyani dan Boediono, yang lebih menganjurkan lobi di jalur multilateral seperti Consultative Group on Indonesia (CGI).

Bagi Boediono, penyelesaian utang luar negeri melalui forum CGI lebih menguntungkan. Di situ Indonesia dapat melindungi diri dari kreditor yang memberikan syarat berlebihan.

Tapi, menurut Paskah, meski prosesnya akan lebih transparan, negosiasi dalam forum ”keroyokan” itu dinilainya lebih sulit menghasilkan kesepakatan yang akan menguntungkan negara pengutang secara optimal. ”Kita lebih mudah dipojokkan karena sendirian menghadapi mereka yang rombongan,” kata Paskah.

Dari pengalamannya berbisnis maupun berpolitik, tawar-menawar akan jauh lebih lentur bila dilakukan langsung dengan orang-orang yang bisa mengambil keputusan. Proses yang kurang terbuka justru akan menguntungkan karena tiap kreditor pun memiliki kebijakan berbeda dalam memperlakukan debitornya.

”Caranya pun bisa mulai dari menangis sampai gebrak meja,” katanya. ”Itu tergantung siapa yang ditemui dan bagaimana situasinya.” Kalau masih tak mau juga, ”Kita bisa cari utang lebih murah dari negara lain, seperti Cina.”

Dengan kelenturan itu pula, ia yakin masih ada ruang negosiasi, meski Duta Besar Jepang sudah memastikan negaranya menolak memberi keringanan melalui skema penukaran cicilan (debt swap) untuk pembiayaan program, misalnya pengentasan masyarakat miskin, pendidikan, atau lingkungan.

”Saya kira tidak ada debt swap. Belum ada skemanya,” kata Duta Besar Iimura usai bertemu Boediono, Rabu pekan lalu. Selama ini Jepang kreditor terbesar bagi Indonesia, dengan porsi 40 persen lebih.

Namun, setidaknya sudah ada Jerman, yang menyatakan sepakat dengan program itu. ”Karena itu, jangan belum apa-apa menteri lain malah ikut-ikutan mengatakan debt swap tidak perlu atau susah,” kata Dradjad H. Wibowo, rekan Paskah di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR.

Dalam soal utang ini, katanya, harus diingat bahwa bukan posisi seorang duta besar untuk memutuskan sesuatu boleh atau tidak boleh dijalankan. Untuk Jepang, kewenangan itu ada di tangan parlemen. Artinya, upaya lobi bisa dilakukan dari banyak sisi, termasuk meminta bantuan lembaga-lembaga nonpemerintah di Jepang sendiri.

Ia juga mendukung Paskah, yang disebutnya sebagai ”Duta Komisi Keuangan dan Perbankan” di kabinet, yang lebih memilih lobi melalui jalur bilateral. Jangan lupa, ujarnya, bahwa para ”birokrat utang” di lembaga multilateral, seperti IMF dan Bank Dunia, itu adalah tenaga kontrak.

Sudah pasti mereka akan kaku karena tak punya kewenangan membuat keputusan politik, seperti pembebasan utang. Dan seperti para bankir umumnya, orientasi terbesar mereka adalah menyalurkan kredit sebanyak mungkin. ”Sayangnya, beberapa menteri kita malah ikut berpikir dengan logika birokrat lembaga kreditor,” katanya.

Y. Tomi Aryanto, Suryani Ika Sari


Posisi Utang Pemerintah Indonesia Hingga Triwulan III 2005 (dalam juta US$)

Komersial: 5.624 ODA (Official Development Assistance): 56.152

  • Bilateral: 28.862
  • Multilateral: 27.290 Non ODA: 16.905 Total: 78.681

    ODA Bilateral

    Jepang: 21.319 Amerika Serikat: 1.526 Prancis: 1.427 Jerman: 1.347 Australia: 908 Belanda: 725 Spanyol: 417 Inggris: 384 Lainnya: 809 Total: 28.862

    ODA Multilateral

    ADB: 8.696 IMF: 8.694 IBRD: 8.456 IDA: 981 IDB: 149 NIB: 134 EIB: 107 IFAD: 72 Total: 27.290

    Sumber: Bank Indonesia

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus