Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah komet melintasi langit malam Eropa yang dingin, dan orang pun gempar. Pada akhir tahun 1680 itu, penduduk yang saleh menyangka itulah peringatan Tuhan bahwa bencana akan datang.
Tapi di Rotterdam hidup seorang Prancis yang diduga tak begitu baik imannya: Pierre Bayle. Ia tak gentar. Ia menulis Pensées diverses sur la comète, (”Aneka pikiran tentang komet”). Komet, kata Bayle, melintasi angkasa menurut hukum yang tetap. ”Tuhan… bertindak berdasarkan hukum tertentu yang ditegakkan-Nya berdasarkan kemauan bebas-Nya.”
Mungkin niatnya hendak mencerahkan pikiran—tapi mungkin juga ada kemarahan tersembunyi kepada agama. Bayle baru saja menyelamatkan diri dari Kota Sedan di timur laut Prancis. Seminari Protestan tempat ia mengajar filsafat di kota itu ditutup atas titah Raja Louis XIV. Bayle merasa, penganiayaan terhadap orang Protestan (”Huguenot”) mulai berjangkit kembali di Prancis.
Setelah 30 tahun perang yang melelahkan antara orang Huguenot dan orang Katolik, semacam perdamaian sebenarnya dicoba. Pada tahun 1598 Raja Henri IV mengeluarkan Titah (”Edit”) Nantes. Dalam maklumat itu orang Protestan diperkenankan mendirikan gereja di tempat-tempat tertentu dalam radius 8 kilometer dari Kota Paris. Tapi pada musim semi 1610, Raja Henri tewas dibunuh. Sejak itu titahnya mulai diabaikan. Di bawah Louis XIII beberapa kebebasan dicabut. Ketika Louis XIV menggantikannya, hidup tambah tak nyaman bagi kaum Protestan.
Bayle sendiri pernah jadi Katolik—selama 17 bulan. Ayahnya, meskipun seorang pendeta Protestan, mengirim Pierre untuk belajar di sebuah kolese Jesuit di Kota Toulouse. Anak muda dari kota kecil di bawah Pegunungan Pyrenia ini jatuh cinta kepada para gurunya. Beralih ke iman yang baru, ia bahkan mencoba mengajak ayah dan adiknya berpindah agama. Ayahnya sabar, tapi tak bersedia. Pierre kemudian yang kembali jadi Huguenot.
Dengan kata lain, ia murtad, dan ia takut. Pada tahun 1670 ia meninggalkan Prancis dan belajar di sebuah kolese di Jenewa. Empat tahun kemudian ia kembali ke negeri kelahirannya dengan memakai nama lain, dan pada tahun 1675 ia mengajar di Sedan, sampai perguruan itu ditutup dan ia harus menyingkir lagi. Untung ia dapat pekerjaan di Rotterdam, mengajar sejarah dan filsafat di Êcole Illustre.
Di kota Protestan ini ia menghabiskan 14 jam sehari untuk menulis, menampik waktu senggang untuk bersenang-senang, memilih hidup lajang, sebab menganggap perkawinan seperti salib besar yang harus ditanggungkan. Ia hanya merasakan ”nikmat dan istirahat” dalam ruang studi di antara buku dan naskah, tulisnya. Canem mihi et Musis—”Aku menyanyi untuk diriku sendiri dan sumber ilhamku.”
Bagi banyak orang lain, terutama para musuhnya, Pierre Bayle tak menyanyi, melainkan mengusik, dan apa yang ditulisnya jelas bukan untuk dirinya sendiri. Ketika ia menulis mengingatkan bahwa komet bukanlah tanda peringatan Tuhan, itu sebenarnya bagian dari pendiriannya: ia tak percaya mukjizat. Yang ia percayai hanya yang ditulis dalam Injil—meskipun ada yang mencatat bahwa ini harus dinyatakannya agar bukunya dapat dicetak di Belanda. Syahdan, orang mulai curiga: benarkah Bayle seorang yang beriman, seorang pengikut Calvin sejati?
Sampai hari ini kita tak tahu jawabnya. Sebagian besar karyanya ditulis dengan nama samaran. Yang diketahui pasti sebagai tulisannya adalah Dictionnaire historique et critique, sebuah karya 2.600 halaman, yang terbit pada tahun 1697. Ini bukan kamus, melainkan uraian dan telaah tentang tokoh, tempat, gagasan, mitologi, sejarah, sastra, dan lain-lain. Tak semua memang dibahas, terutama tentang ilmu dan seni. Susunannya agak kacau. Tapi yang menarik adalah komentarnya, yang dicetak dengan huruf lebih kecil, tapi yang bisa lebih panjang dari uraian pokoknya.
Salah satu yang menarik ialah uraiannya tentang pembantaian, perzinaan, dan khianat Raja Daud, yang begitu rupa hingga pembaca bisa bertanya kenapa tokoh macam ini harus dihormati orang Kristen. Terlebih lagi, ia menunjukkan keraguan tentang doktrin Trinitas. Dan dalam bab mengenai Adam, ada sederet pertanyaan yang mengusik: jika manusia diciptakan oleh yang mahakuasa, mahasuci, dan mahabaik, kenapa ia bisa terkena sakit, pedih, dan duka? Kenapa ia bisa berbuat begitu banyak kejahatan? Tidakkah hanya akan membawa orang ke atheisme, untuk menggambarkan Tuhan sebagai pakar hukum (”un Législateur”) yang melarang manusia berbuat jahat, tapi memungkinkannya demikian, dan kemudian menghukumnya selama-lamanya?
Tak urung, kaum beriman pun marah. Gereja Walloon di Rotterdam, tempat ia jadi bagian dari jemaat, memanggilnya. Dictionnaire-nya dianggap berisi ”pernyataan dan pertanyaan tak senonoh”. Bayle, yang agaknya tahu bagaimana merunduk untuk mengelak, mengaku salah. Edisi kedua Dictionnaire terbit pada tahun 1702, komentarnya tentang Raja Daud sudah diperlunak. Tapi ia—yang pernah diserang kalangan Calvinis sendiri dan dituntut untuk dipecat dari tempatnya mengajar—tahu, orang Protestan bisa sama tak tolerannya dengan orang Katolik. ”Semoga Tuhan menjagai kita dari Inkuisisi Protestan,” katanya suatu waktu.
Adakah ia orang yang lemah iman? Ia memang bisa membuat orang jadi ragu dan skeptis. Tapi pada saat yang sama ia juga suara yang menganjurkan perlunya kebebasan beragama bagi mereka yang bukan Kristen, khususnya Yahudi, muslim, dan lain-lain—suatu pandangan yang bahkan tak diterima oleh pemikir sezamannya di Inggris, John Locke (1632-1704), tokoh yang pandangannya bergema jauh sampai ke Deklarasi Hak Manusia pada tahun 1789.
Toleransi memang tak mudah bagi pengikut agama-agama yang merasa Tuhan ada dalam genggaman mereka. Tapi waktu mengubah banyak hal. Setelah Bayle meninggal terkena tuberkulosis pada akhir Desember 1706—umurnya hanya 59 tahun—para mahasiswa antre untuk membaca karyanya di Perpustakaan Mazarin di Paris.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo