Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berkaca pada Slebor Becak

Strategi unik membuat tukang becak mampu mentransendensi kesulitan hidup dan meloloskan diri dari kekejaman dunia. Buku simbiosis mutualis foto, teks, dan desain grafis.

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waton Urip Penulis: Sindhunata, Agus Leonardus, dan Ong Hari Wahyu Penerbit: Nineart Publishing-Yogyakarta, November 2005 Tebal: 144 halaman

Nasib tukang becak di Yogyakarta bagaikan pelanduk yang terjun diri ke dalam air guna membebaskan diri dari kejaran binatang buas, tapi mendapati diri dikepung gerombolan buaya. Kehidupan tukang becak miskin, keras, dan menderita.

Kendati memelas, bila didekati secara mendalam, keseharian tukang becak memancarkan kegembiraan, semangat, dan harapan. Sisi-sisi terang tukang becak yang bergelimang keteguhan, kebersahajaan, cinta, berkah, kepuasan, ketenteraman, rasa syukur dan ikhlas, keberuntungan, dan keselarasan inilah yang dikisahkan Sindhunata, Agus Leonardus, dan Ong Hari Wahyu dalam Waton Urip. Buku kolaborasi foto, teks, dan desain grafis ini hasil simbiosis mutualis tiga profesional kondang di bidang jurnalisme sastrawi, fotografi, dan seni rupa.

Puluhan tahun Agus Leonardus memotret becak di Yogyakarta, Solo, dan Purwokerto. Sindhunata mengerjakan feature kehidupan para tukang becak dari pangkalan mereka. Perupa Ong Hari Wahyu ditugasi memasak dan menyajikan foto dan teks itu. Waton Urip bukan sekadar memanjakan mata. Pun menggedor-gedor pintu hati. Menggunakan bahasa kebatinan, para tukang becak yang dipotret Agus Leonardus dan diliput Sindhunata adalah manusia yang memiliki keunikan khas (signature strength).

Strategi hidup dengan memaksimalkan kekuatan unik seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, pengendalian diri, dan rendah hati rupanya membuat tukang becak mampu mentransendensi kesulitan dan meloloskan diri dari tirani kekejaman dunia. Transendensi merupakan sinergi kekuatan dari dalam yang menjangkau keluar sebagai penghubung tukang becak dengan sesuatu yang permanen dan lebih besar—spontanitas, kesadaran diri, terbimbing visi dan nilai, mental holistik, kepedulian, independen terhadap lingkungan, mengambil manfaat dari kemalangan, dan keterpanggilan.

Becak merupakan pantulan hidup bernilai, bermakna, dan tujuan hidup mendasar dari wong kabur kanginan: orang tidak berumah, tidur di jalanan. Transendensi terbaca dari slebor-slebor becak pribadi mereka. Waton Urip artinya bukan hidup ngawur dan seenaknya sendiri melainkan berani hidup tanpa memberontak terhadap kehidupan.

Becak, pada zaman serba motor, seolah merendahkan martabat manusia. Penghela mengeksploitasi diri layaknya kuda beban. Namun, dalam diri Pak Kliwon, Pak Zaenal, Pak Sukiman, bahkan Mbok Ponirah, tukang becak perempuan, tidak ada fatalisme dan sikap menyerah. Mereka simbol konsolasi (filsafat kegembiraan) bukan desolasi (filsafat kemuraman).

Pak Kliwon, 60 tahun, yang sehari-hari mangkal di dekat Stasiun Lempuyangan, gampang bersyukur karena memiliki badan ganep. Dengan badan tidak cacat ia bisa menafkahi keluarga. Pak Sukiman tidak pernah menumpang bus saat pulang ke desanya. Ia mengayuh becaknya sampai ke Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Perjalanan ditempuh lima jam karena harus berhemat supaya anak-anak tetap bisa sekolah. Ponirah, 55 tahun, lebih heroik lagi. Sudah 15 tahun, sepeninggal suaminya, ibu lima anak ini mbecak.

”Tertawa adalah persepsi terhadap situasi yang kontradiktif,” kata filsuf Emmanuel Kant. Tawa para tukang becak yang terpaksa makan teratur sehari sekali karena penghasilan mereka menyusut semenjak sarana transportasi melimpah ruah di Yogyakarta adalah kegembiraan dalam kesusahan.

Buku ini tidak bermaksud meromantisasi kehidupan orang kesrakat. Ketangguhan tukang becak memang inspirasional. Lagu Lenggang Surabaya dan Roda Dunia yang digubah Sindhunata untuk Pak Kliwon dan Ponirah sebenarnya kritik pedas buat gerombolan manusia kota besar yang bergelimang kekayaan material namun busung lapar di gurun spiritual. Sudah lama, suasana flow di kantor dan bekerja mengikuti panggilan hati digadang-gadang kaum profesional guna mencegah stres dan mengatasi depresi. Well, tukang becak telah menikmatinya saban hari.

J. Sumardianta Guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus