Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Utang Macet Molor Lagi

Batas akhir penyelesaian kredit macet pengutang kakap diundur. Bukan cuma karena lobi para penunggak utang.

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALOT dan berbelit. Tampaknya itu lah gambaran perundingan antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan para penerima utang yang kreditnya macet di bank-bank pemerintah. Perundingan sering memanas lantaran para penunggak utang itu tak terima kreditnya dibilang macet. Liatnya perundingan ini mestinya bisa diduga. Tak semua pengutang mau membereskan kewajibannya. Seperti diakui seorang pejabat BPPN, paling tidak ada empat debitur besar yang tak berniat membayar utang. Padahal, ''Prospek usahanya nol besar," katanya. Kalau mau konsisten dengan resep Menteri Keuangan Bambang Subianto, proyek busuk dengan pemilik bandel seperti ini mestinya tak lagi diberi angin. Pemiliknya harus digusur, proyeknya ditutup dan dilikuidasi. Tapi, toh keputusan keras macam itu tak begitu saja bisa diambil. ''Ada banyak pertimbangan lain," kata sang pejabat. Contohnya? ''Lobi dan cantelan politik mereka bisa amat kuat." Sebelumnya, Menteri Bambang mengajukan resep penyelesaian kredit macet dengan membagi para debitur macet dalam empat kelompok. Mereka yang punya niat baik untuk menyelesaikan utang dan prospek usahanya bagus, mereka yang punya niat baik tapi masa depan usahanya suram, tak punya niat tapi prospek usahanya cerah, serta yang paling parah, tak punya niat baik dan prospek usahanya juga jeblok. Mereka yang masuk dalam kategori terakhir tak bisa lagi diberi ampun. Salah satu petunjuk kuatnya lobi politik para pengemplang utang ini tampak akhir pekan lalu. Tiba-tiba saja, BPPN mengulur batas waktu penyelesaian kredit sampai akhir Agustus. Padahal, dalam perjanjian antara pemerintah dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang diteken Maret lalu, bentuk penyelesaian kredit sudah harus jelas pada akhir April. Jika para penunggak tak mampu menyusun rencana penyelesaian utangnya dengan jelas, BPPN harus mengirimkan mereka ke Pengadilan Niaga untuk dibangkrutkan. Tapi, nyatanya, itu tak terjadi. BPPN malah memberi perpanjangan waktu empat bulan lagi. BPPN ngeper? Tak 100 persen. Menurut sumber TEMPO, mulurnya proses penyelesaian kredit macet ini juga disebabkan karena bank-bank pemberi kredit tak tangkas menyerahkan dokumen para debitur. Dari 20 pengutang kakap, baru lima yang lengkap dokumennya. Ini pun tak semuanya didapat dari bank pemberi kredit. Sering kali BPPN justru mendapatkan dokumen itu dari para debiturnya. Soal dokumen ini tambah rumit jika utang macet itu tak dari satu sumber. Kelompok usaha Chandra Asri, misalnya, mengutang lewat dua tangan: PT Chandra Asri dan Inter Petrindo Inti Citra. Begitu juga Timor. Perusahaan milik Tommy Soeharto itu punya pinjaman di BBD (US$ 375 juta) untuk mengimpor sedan Timor, dan dari sindikasi kredit di BDN senilai US$ 690 juta untuk membuat pabrik di Cikampek. Meski alot, BPPN sudah bisa menentukan bentuk penyelesaian utang kakap itu. ''Paling banter cuma 60 persen dari para penunggak utang itu yang bisa dibenahi," kata seorang pejabat BPPN. Lainnya? Bakal digusur. Namun, bagaimana model pembenahan yang akan diterapkan, itu masih menunggu tenggat yang baru berakhir pada 30 Agustus nanti. Menurut sumber TEMPO, salah satu proyek yang tak mungkin dibenahi adalah Banten Jaya Persada milik pengusaha Sulawesi Selatan, Jusuf Kalla. Bisa dibilang, hampir tak ada jalan untuk menyelamatkan perusahaan yang mengambil oper aset Golden Key Group (GKG) ini. Utang Banten kini sudah bengkak menjadi Rp 2,4 triliun, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan ketika GKG masih di tangan Edy Tansil. Padahal, aset Banten hampir tak bisa diselamatkan. Mesin dan peralatan pabriknya sudah pada berkarat. Untuk meneruskan proyek petrokimia ini dibutuhkan biaya amat besar, hampir sama dengan membangun industri baru. ''Mungkin sudah dari sononya enggak bener, sehingga sulit untuk dilurusin," kata sumber itu. Selain Banten, proyek-proyek setengah jadi juga sulit dibereskan. Proyek tol yang mogok, misalnya. Sumber TEMPO punya contoh Jalan Tol Kalimalang. ''Mau dibiarin, sudah keluar ratusan miliar, mau diterusin tak ada duit," katanya. Mungkin bisa saja menjual proyek ini ke investor yang berminat. Tapi, harganya mungkin juga harus dibanting. Rumit? Begitulah. Tapi, toh kerumitan seperti itu mestinya sudah disadari dari dulu. So, jangan terus berdalihlah. M. Taufiqurohman dan Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus