Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Vietnam, Lobang Dan Kemarahan

Laporan Ed Zoelverdi yang ke Vietnam bulan April 1979 adalah sebagai berikut: keadaan ekonomi yang belum menggembirakan dan ancaman agresi Cina.(per)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI ini di Bangkok ada lelucon: buat pasukan Viet Nam, memasuki ibukota Muangthai itu ibarat membalik telapak-tangan saja. Cuma satu yang mungkin menghambatnya, yaitu: kemacetan lalulintas kota. Situasi gawat di perbatasan dengan Kamboja yang mereka baca di koran rupanya jadi bahan baru buat melampiaskan rasa kesal terhadap kemacetan lalu-lintas yang beken di kota itu. Dari pusat kota menuju bandar udara Dong Muang -- sekitar 30 Km di luar kota, dengan kendaraan yang bergerak mirip keong, lumayan juga gerahnya. Keadaan tak tertolong ketika naik pesawat Hyusin-18 milik Viet Nam, yang alat pendinginnya tidak bekerja: sengaja dimatikan dengan alasan penghematan. Para penumpang lalu diberi sebuah kipas kertas. Wajah darurat Viet Nam nampak lebih kentara setelah dua jam kemudian turun di Hanoi. (Setiap minggu ada 3 penerbangan Hanoi-Bangkok. Sekali dengan pesawat Viet Nam, sekali Air France dan sekali dengan Air Lao). Di seantero pinggir jalan luar kota bertaburan lobang-lobang yang sekelebatan tampak seperti persiapan untuk menanam pohon, di samping pada bukit-bukit strategis muncul moncong meriam penangkis serangan udara. Lobang itu digali oleh tiap penduduk setelah mobilisasi umum yang dilancarkan di seluruh negeri buat menghadapi perang dengan RRC. Ukurannya pas-pasan buat satu orang berjongkok. Negara semenanjung yang luasnya sekitar 338 ribu KmÿFD berpenduduk 50 juta jiwa itu disahkan bernama Republik Sosialis Viet Nam pada 2 Juli 1976 -- lebih kurang setahun setelah wilayah selatan bertekuk lutut terhadap utara. Presidennya, Ton Duc Thang (90) duduk di kursi itu sejak Ho Chi Minh meninggal tahun 1969. Tapi ia hanya pimpinan simbolik, karena tampuk kekuasaan ada di tangan partai komunis. Tak lama sehabis penyatuan yang dicapai lewat perang 30 tahun itu, seorang pimpinan partai di Hanoi pernah mengatakan bahwa Viet Nam masih harus bergulat dengan perang yang ke-3 memerangi keterbelakangan di berbagai aspek kehidupan, setelah dalam dua perang sebelumnya mereka menggenjot Perancis dan Amerika. Atau dalam kata-kata Menteri Pertahanan Vo Nguyen Giap waktu itu: "Kita hanya akan memiliki ketahanan nasional yang ampuh bila negara makmur." Tapi rumusan tokoh legendaris perang gerilya itu nampaknya menjadi jungkir balik, karena rakyat Viet Nam hari ini keburu dibawa lagi pada perang ke: menghadapi RRC. Para pengamat menaruh curiga bahwa konflik dengan naga kuning dari utara itu sengaja diciptakan lantaran upaya mencapai kemakmuran memang tak semudah membalik telapak tangan. Sehingga diperlukan satu isyu sentral yang bisa mengalihkan perhatian. Benar tidaknya dugaan itu boleh saja disangsikan. Namun suasana anti Cina sedang gencar dipompakan sebagai nafas baru di seluruh negeri. Di pelbagai pelosok kota terpancang poster dan spanduk yang menuding nafsu ekspansi RRC, di samping serangkaian kutipan wejangan mendiang Ketua Ho. Bahkan pada perayaan Hari KanakKanak Internasional awal Juni lalu di Hanoi, bocah-bocah berusia 6 tahunan dikerahkan mendemonstrasikan semangat menggebrak Cina: mereka melempari serdadu Cina yang digambarkan dengan mulut lebar. Perempuan bercelana komprang hitam dan mengenakan caping di kepalanya, merupakan pemandangan sehari-hari di jalan raya Hanoi. Mereka naik trem kota atau bersepeda ke tempat pekerjaannya. Tiap orang harus bekerja: di pabrik atau di ladang-ladang, di samping pada hari tertentu mengikuti acara indoktrinasi malam harinya. Latihan menggunakan bedil Chung atau AK dilakukan di taman-taman kota, dan bila mereka libur dari dinasnya mereka lalu turun ke proyek pembangunan kota, seperti mengeruk kali atau menyusun batu untuk jalan raya. Penghasilan penduduk rata-rata antara 50 sampai 70 Dong sebulan. Nilai tukar mata uang Viet Nam ini dengan dolar tergantung dari siapa yang menukarnya. Untuk kalangan diplomatik maka $1 adalah 2« Dong. Untuk wisatawan 3¬ Dong, dan untuk orang dari negara komunis 7 Dong. Sementara di pasar gelap adalah 140 Dong. Jadi bagi penduduk di bilangan utara bukan merupakan cerita asing bila harus hidup serba dicatu. Misalnya beras, untuk tiap orang sebulannya berkisar antara 12 sampai 20 Kg, sesuai dengan berat tidaknya pekerjaan sehari-hari. Gula 2 Kg, ikan dan daging babi juga sekitar 2 Kg sebulan. Sedangkan bahan pakaian 6 meter per-tahun untuk orang dewasa dan 4 meter untuk anak-anak. Semua bahan hajat hidup itu bisa dibeli melalui kupon. Selebihnya, penduduk tidak beroleh bacaan dari luar yang memungkinkan adanya bahan bandingan, kecuali majalah dari beberapa negeri komunis blok Rusia. (Kamus bahasa Rusia juga dijual di mana-mana). Siaran televisi dua jam sehari lebih menekankan acara propaganda, sementara film di bioskop juga bertema yang sama. Untuk bisa bergaul dengan orang asing pun jauh panggang dari api, sebab tiap orang boleh dikatakan intel buat orang lain. Menurut kalangan diplomatik yang pernah memperbincangkannya dengan PM Pham Van Dong di Hanoi, sikap tertutup itu sengaja dibina menegah timbulnya keinginan macam-macam dari rakyatnya. Nah. Penyatuan utara dan selatan tak urung menyingkapkan suatu kehidupan yang lain di mata orang utara. Sekalipun mereka sudah terbilang kader toh ada juga yang lumer bila masuk di Ho Chi Minh City (d/h Saigon). Namanya manusia biasa kok. Tapi apa boleh buat, sepulangnya ke utara mereka lalu harus dibasuh kembali di proyek re-edukasi. Proyek semacam ini ada di beberapa kota, baik, untuk para tawanan politik dari rezim Thieu maupun untuk para pelcur, pecandu narkotik dan perampok. Perempuan bercaping memang ada juga menghiasi lalu-lintas kota Ho Chi Minh. Tapi banyak juga yang faham memamerkan keindahan rambutnya. Celananya pun ketat dan kendaraan Honda bebek. Sementara di sebuah klab malam yang disebut masih percobaan, alunan lagu 'Guantanamera' ditabuh dalam goyangan panas mengiringi sejumlah perempuan Viet Nam berajojing mendampingi orang-orang bule. **** Selain dilirik keliwat mesra dengan Rusia, di mata RRC menurut para peninjau ada alasan lain buat men'jitak' Viet Nam. Yaitu: penggusuran orang Cina di seantero negeri itu tak lama setelah wilayah selatan ditaklukkan. Mereka ini kemudian yang beken menjadi pengungsi, di samping sejumlah kecil orang Viet Nam yang pernah hidup senang ketika Amerika di sana. Tanah leluhur tentu tak bersenang hati salah satu sumber duitnya digunting. Tapi baik PM Pham Van Dong maupun Wakil Menlu Phan Hien sama berkesimpulan bahwa serangan RRC terhadap Viet Nam itu tak lain dari langkah ekspansi ke selatan. "Sudah ke-13 kalinya kami diagresi Cina," kata Phan Hien kepada 5 wartawan Indonesia yang menemuinya di Hanoi akhir Mei lalu. Diplomat kawakan Viet Nam ini lalu menilai meski RRC itu penduduknya banyak, "tapi tentu ada batasnya untuk perang. Mungkin juga sudah lama lupa," katanya, "sedangkan kami punya pengalaman dengan macam-macam agresor, dan dalam keadaan perang semua penduduk adalah prajurit." Diungkapkannya, bahwa selama 4 ribu tahun sejarahnya bangsa Viet Nam banyak kali diagresi. Tahu sakitnya orang kena agresi, kata Phan Hien: "Maka kami tidak akan mengagresi. Kekuatan kami cukup buat membangun Viet Nam. Itu saja sudah berat." Tapi toh Viet Nam mengirim pasukan ke Kamboja? Ia lalu membalik lembaran cerita lama ketika kawasan Vict Nam -- Kamboja -- Laos masih menjadi protektorat Perancis. "Kami sudah bahu-membahu melawan penjajah. Sampai ada peribahasa: ibaratnya sebutir garam, akan kita bagi sama rata," katanya seraya melukiskan Kamboja di zaman Pol Pot itu merupakan jajahan Cina yang siap menjepit Viet Nam. Kapan pasukan Viet Nam ditarik dari Kamboja, ia belum dapat memastikan. "Pokoknya sampai rakyat Kamboja bilang: kami bisa jalan sendiri," katanya. Akan halnya konflik dengan RRC bukan mustahil masih akan berkepanjangan. "Kecuali kalau mereka sudah meninggalkan sikap ekspansionisnya," ujar Hien. Namun iklim anti Cina terlanjur menjadi wabah di Viet Nam, sementara sayup-sayup di kalangan penguasa negeri itu tersimpan juga kekuatiran adanya batu di balik bantuan Uni Soviet, yang selama ini meliputi 2 milyar dolar pertahun. Seperti diungkapkan satu sumber diplomatik kepada TEMPO di Hanoi: "Phan Hien sendiri pernah mengakui, satu-satunya kekuatan yang mampu mengimbangi Uni Soviet di kawasan ini adalah Amerika Serikat." Kemungkinan munculnya AS di Viet Nam nampaknya mulai dijajagi dengan datangnya sebuah tim survey minyak bulan lalu atas undangan pemerintah Viet Nam. Cuma mereka pulang dengan wajah pecundang, karena di pabean bandar udara Hanoi perabot mereka ada yang disita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus