Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Wajah manis salamun

Kantor pajak menjanjikan, para kontraktor bisa mencairkan restitusi pajak setiap bulan. restitusi itu berasal dari kelebihan membayar ppn. sebelumnya dikeluhkan mengurus restitusi pajak repot.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Wajah manis salamun
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
INI sisi lain dari "uang logam" kantornya Salamun A.T.: di sebelah sini rajin mengutip pajak, di sebelah sana tak enggan mengembalikan apa yang menjadi hak Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sisi manis itu boleh dinikmati para kontraktor yang mengerjakan proyek besar bantuan asing. Selisih antara pajak masukan dan keluaran, yang sering terjadi dalam kasus pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kini bisa diminta kembali setiap bulan -- bersamaan dengan masuknya surat laporan perhitungan pajak yang lain disebut SPT. Sebab, proses yang disebut "restitusi pajak itu tidak lagi harus ditunggu berbulan-bulan, seperti yang terjadi sebelum munculnya Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-928/MK 01/1987, dua minggu lalu. Dengan itu para kontraktor boleh merasa lebih luwes lagi memutar dananya. "Mudah-mudahan, tidak ada lagi keluhan dari para kontraktor," begitu harapan Direktur Pajak Tidak Langung, Djafar Mahfud, dari Direktorat Jenderal Pajak. Memang, sejak berlakunya peraturan pajak baru, para kontraktor mau tak mau mesti membayar (PPN) terlebih dulu. Terasa sangat berat. Apalagi aturan yang sebelumnya, mereka dibebaskan dari Pajak Penjualan (PPn) untuk proyek-proyek bantuan luar negeri. Belakangan, meskipun PPN untuk borongan proyek bantuan luar negeri dibayar pemerintah, para kontraktor -- yang berkewajiban nalangi pembayarannya -- dalam praktek repot mengurus restitusinya. Suradi Wongsohartono, Ketua Asosiasi Kontraktor Indonesia dan Presiden Direktur PT Pembangunan Perumahan, terus terang menyatakan bahwa selama ini pemerintah hanya getol menagih pajak tapi sulit ditagih. Alasannya: dana tidak tersedia. Padahal, kontraktor harus membayar PPN lain, misalnya ketika membeli bahan baku. Berat, 'kan ? "Bukan hanya berat saja, tetapi sangat berat," kata Erwin Pardede, Presdir PT Lanze, dengan tandas. Salah satu kontraktor proyek-proyek besar pemerintah ini punya contoh, yaitu mengenai proyek peningkatan jalan di Madura, bernilai hampir Rp 4,4 milyar, yang dananya 45% berasal dari bantuan Asia Development Bank (ADB). Menurut Direktur Operasi Lanze, Ibnu Kartiko, belum-belum dana itu studah dipotong PPN 10%. Pihak sana-sini turut memotong juga, sehingga akhirnya Lanze hanya menerima 60% dari nilai kerja. "Memang berat, tapi orang bilang itu risiko kontraktor," ujar Ibnu Kartiko, yang mengucapkannya masih bisa sambil tertawa. Kantor pajak tentu saja tanggap -- meskipun kesulitan likuiditas para kontraktor bukan hanya berasal dari instansi ini saja. Restitusi pajak sekarang bisa diminta dan dijanjikan bisa dicairkan setiap bulan. Kontraktor sekarang boleh potong kompas: dapat minta restitusi sebelum keluarnya SPM (Surat Perintah Membayar) Nihil dari kantor pajak. Sudah barang tentu, bukan tanpa syarat sama sekali. Kontraktor harus menyerahkan salinan kontrak yang dibuat sebelumnya, dengan mencantumkan jumlah PPN yang pernah dibayarkan, sambil menyerahkan hasil penggandaan surat permohonan SPM Nihil yang diajukan Pimpro kepada Ditjen Anggaran. Mudah-mudahan, kemurahan ini tidak disalahgunakan, seperti ketika pemerintah memberikan insentif kepada eksportir dalam kasus sertifikat ekspor yang pernah heboh tempo hari. Kantor pajak, seperti kata Djafar Mahfud, sudah mcncoba menutup berbagai lubang yang mungkin dimanipulasikan. Kalau ada yang main kayu, misalnya ditemukan dalam pemeriksaan jumlah restitusi yang diterima lebih besar dari semestinya, awas: kantor Djafar Mahfud akan menagih kembali kelebihan plus denda 100% kepada kontraktor yang mbeling itu. Negara tentu harus menyediakan uang yang cukup besar untuk membayar restitusi yang memang hak pembayar PPN. "Jangan hanya dilihat besarnya jumlah restitusi, tetapi lihat juga betapa besar pemasukan PPN-nya," kata Djafar Mahfud. Suhardjo Hs. Laporan Sidartha Pratidina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus