API (Asosiasi Pertekstilan Indoncsia) terancam padam. Kini ada Federasi Industri Tekstil Indoncsia (FITI) yang mengklaim sebagai satu-satunya wadah yang sah menurut undang-undang untuk mewakili semua industri tekstil di Indoncsia. Organisasi yang dibentuk Jumat dua pekan lalu itu dikukuhkan oleh Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, Sukamdani Sahid Gitosardjono. Menurut para pengurus FITI mereka bukan merupakan organisasi tandingan API, karena API beranggotakan perusahaan-perusahaan, sedangkan FITI beranggotakan asosiasi-asosiasi sektoral industri tekstil. "API 'kan sudah ganti kelamin, tidak bisa dijajarkan dengan FITI," kata Hussein Aminuddin, salah satu anggota presidium FITI. Tetapi lahirnya FITI diakui karena ada sangkut pautnya dengan langkah-langkah pengurus API selama ini. Tahun silam, misalnya, API mendirikan CBTI, sebuah perusahaan yang hendak memonopoli perdagangan kapas. Kebijaksanaan ini menyebabkan para pengusaha pemintalan protes. Sebab, dengan SK API itu berarti setiap perusahaan wajib membayar ratusan juta rupiah setiap bulan kepada API. Langkah-langkah API kemudian juga dipersoalkan Sekberpak (Sekretariat Bersama Pengusaha Pakaian Jadi). Mereka mempermasalahkan iuran ekspor tekstil dan pakaian jadi, yang tidak pernah dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh API. "Kami sebenarnya tidak bermaksud menantang API. Selaku pembayar iuran kuota, kami berhak mendapat laporan pemakaiannya," kata Koordinator Sekberpak, Nyonya Wien Dewanta. Setelah ada ancaman Sekberpak untuk membawa kasus itu ke pengadilan, akhir pekan silam, API mengumumkan laporan iuran kuota itu. Ternyata, jumlah iuran yang diterim API itu sekitar Rp 1,5 milyar di bawah perkiraan kalangan eksportir. Kritik terhadap langkah-langkah API ternyata tidak hanya dari para anggotanya. Protes atas RUU Perdagangan AS, yang disampaikan Ketua API Frans Seda di Kedubes AS beberapa pekan lalu, telah mengundang reaksi dari Kadin Indonesia. "Demonstrasi" itu, menurut Wakil Ketua Kadin Arnold Baramuli, bisa berdampak buruk bagi hubungan dagang Indonesia-AS secara umum. Maklum, ekspor Indonesia ke AS bukan tekstil saja. Lagi pula, menurut Baramuli, API bukan satu-satunya wadah bagi semua pengusaha tekstil. Di Kadin juga ada PIBTI (Persatuan Industri Barang Jadi Tekstil Indonesia), Apsyfi (Asosiasi Produsen Serat Sintetis), dan Aspindo (Asosiasi Pertenunan Indonesia). Ketiga organisasi ini menolak lebur ke dalam API, tiga tahun silam. Perusahaan-perusahaan pemintalan itu, yang pernah memprotes pembentukan perusahaan monopoli kapas CBTI, telah membentuk pula asosiasi pemintalan (Sekbertal), yang kemudian bernaung ke Kadin. Keempat asosiasi sektoral industri tekstil inilah yang membentuk FITI. Kehadiran FITI itu rupanya tidak dipermasalahkan Ketua Umum API, Frans Seda. "Yang kami sesalkan adalah keterlibatan Kadin dalam pembentukan FITI," katanya sebagaimana dikutip Bisnis Indonesia. Selama ini, menurut Seda, API tidak mempunyai masalah dengan Kadin, bahkan beberapa pengurus API di daerah juga menjadi pengurus Kadin daerah (Kadinda). Menurut Sukamdani, FITI adalah bentuk organisasi pertekstilan yang sesuai dengan UU. Sedangkan API tidak bisa diterima sebagai anggota Kadin. "Industri pertekstilan itu 'kan luas sekali cakupannya. Tiap sektor berbeda kepentingannya," kata Sukamdani kepada TEMPO. Frans Seda mcmang telah melakukan pertemuan dengan Sukamdani, 28 Agustus lalu, di Hotel Sahid Jaya. Pertemuan itu ternyata menghasilkan tiga kesepakatan. Isinya? "Segera akan diadakan musyawarah pertekstilan nasional untuk menjabarkan bentuk organisasi pertekstilan terbaik menurut UU dan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Kedua, segera diadakan pertemuan antara pengurus API dan FITI, dan ketiga menyetop semua polemik. Adakah ini akan menyelesaikan soal, tampaknya perlu ditunggu perkembangan lebih jauh. M .W. Laporan Ahmed Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini