Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Hanif Dhakiri mengkhawatirkan kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhambat akibat pemangkasan anggaran yang diinstruksikan Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanif mengatakan, pihaknya ingin memastikan tugas dan fungsi BPK tetap berjalan sebagaimana mestinya meskipun ada pemangkasan anggaran sebesar Rp 1,38 triliun. “Jangan sampai kinerja BPK secara keseluruhan ini terganggu karena masalah efisiensi,” kata Hanif dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Jumat, 14 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun BPK terdampak pemangkasan anggaran Rp 1,38 triliun, atau 22,49 persen dari pagu awal di APBN 2025 sebesar Rp 6,15 triliun. Di hadapan Komisi XI DPR, BPK menyatakan efisiensi anggaran sebesar Rp 1,38 triliun itu akan menyasar belanja barang.
Rinciannya, belanja operasional dipangkas 47,42 persen, dari alokasi awal Rp 670,62 miliar menjadi Rp 352,61 miliar. Lalu belanja pemeriksaan dipangkas 49,40 persen, dari alokasi awal sebesar Rp 1,3 triliun menjadi Rp 657,99 miliar. Kemudian belanja nonpemeriksaan juga dipangkas 51,24 persen, dari Rp 718,06 miliar menjadi Rp 350,16 miliar.
Selain itu, BPK juga memangkas belanja modal 40 persen, dari alokasi awal Rp 140,18 miliar, menjadi Rp 56,07 miliar. Sementara alokasi anggaran untuk gaji pegawai tidak akan dipotong. Sehingga belanja pegawai pada 2025 tetap dialokasikan sebesar Rp 3,32 triliun.
Hanif pun menyoroti keputusan BPK yang mengurangi belanja barang dan belanja modal hampir 50 persen, tetapi tidak memangkas belanja pegawai sama sekali. “Nah, jadi efisiensi di BPK sepertinya lebih diarahkan pada pengurangan fasilitas dan dukungan teknis dibandingkan reformasi struktural BPK,” kata dia. “Pertanyaannya tentu adalah dampak terhadap efektivitas pemeriksaan BPK ke depan ini seperti apa?” tanya Hanif.
Sekretaris Jenderal BPK Bahtiar Arif mengungkapkan alasan alokasi anggaran untuk gaji pegawai tidak dikurangi di tengah-tengah pemangkasan anggaran ini. Hal ini, kata dia, karena alokasi belanja pegawai itu memang ditujukan untuk memenuhi hak para pegawai BPK. “Belanja pegawai tidak kami usulkan untuk efisiensi,” kata Bahtiar. “Terkait dengan output dan efisiensi di belanja, khususnya pemeriksaan ada beberapa hal yang kami sampaikan dan kami susun strateginya, yaitu kami menjaga prioritas pemeriksaan.”
Dengan adanya pemangkasan anggaran ini, ia mengatakan BPK akan memprioritaskan sejumlah kegiatan pemeriksaan. “Pemeriksaan yang masih kami anggarkan, artinya tidak termasuk dalam efisiensi anggaran yang diusulkan, adalah pemeriksaan yang secara eksplisit disebutkan dalam peraturan perundang-undangan untuk diperiksa BPK,” tutur dia.
Pemeriksaan yang diprioritaskan meliputi pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Laporan Keuangan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (LKPHLN), Laporan Keuangan Bank Indonesia (BI), Laporan Keuangan Otoritas Jasa Keuangan, Laporan Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Laporan Keuangan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kemudian juga pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pertanggungjawaban keuangan bantuan parpol, pencetakan, pengeluaran, dan pemusnahan uang, dan pemilu/pilkada.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya meminta jajarannya untuk melakukan efisiensi anggaran belanja negara tahun anggaran 2025 sebesar Rp 306,69 triliun. Rinciannya, efisiensi anggaran kementerian dan lembaga sejumlah Rp 256,1 triliun dan transfer ke daerah (TKD) Rp 50,59 triliun.
Perintah berhemat itu dituangkan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Inpres tersebut diteken oleh Prabowo pada 22 Januari 2025.
Menindaklanjuti instruksi Prabowo, Sri Mulyani kemudian menerbitkan surat S-37/MK.02/2025 yang mengatur efisiensi belanja kementerian/lembaga untuk tahun anggaran 2025. Namun tak sampai sebulan instruksi itu keluar, Prabowo kemudian meminta Kementerian Keuangan untuk melakukan rekonstruksi target pemangkasan di tiap kementerian/lembaga. Kementerian Keuangan kemudian melaksanakan penyusunan ulang dan membahasnya dengan para menteri dan kepala lembaga selama dua hari, yaitu pada 11-12 Februari 2025.
Setelah ditetapkan Kementerian Keuangan, kementerian/lembaga harus membahasnya dengan mitra komisinya masing-masing di Dewan Perwakilan Rakyat untuk dapat persetujuan. Hasil rekonstruksi membuat target pemangkasan berubah. Ada kementerian/lembaga yang targetnya tetap, ada yang turun, ada pula yang semula tak terdampak pemangkasan, akhirnya terdampak.