JUMLAH mereka kini ditaksir hampir 16.000. Mereka masuk bersamaan dengan mengalirnya PMA dan PMDN ke sini untuk menduduki berbagai posisi penting di perusahaan yang, konon, belum bisa diisi para pekerja lokal. Tapi, pekan lalu, Menteri Tenaga Kerja Sudomo mendadak menyatakan bakal menertibkan mereka. Bahkan, 1 April depan, sebuah surat keputusan akan dikeluarkan untuk mengatur izin masuk dan izin kerja bagi mereka. Apa salah tenaga kerja asing (TKA) itu? Menurut Menteri Sudomo, banyak di antara mereka ternyata kedapatan tinggal di sini sekalipun izin kerja sudah habis. Bahkan banyak juga yang, hanya berbekal visa turis, secara diam-diam tinggal lama dan bekerja di sini. Tenaga mereka memang dibutuhkan setidaknya mereka diam-diam memberi kursus bahasa Inggris. Kata Menteri Sudomo TKA "selundupan" semacam ini harus ditertibkan. "Pokoknva yang bekerja di sini dan terima bayaran harus punya izin kerja," ujarnya. Pelanggaran semacam itu diharapkan tidak akan terjadi lagi jika pengaturan izin masuk dan izin bekerja bagi mereka jadi dilakukan di bawah koordinasi dan wewenang Departemen Tenaga Kerja. Kelak pemberian izin dan perpanjangan pun hanya akan dilakukan instansi itu. Jika nanti ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal memberikan izin itu dilakukan atas nama Depnaker. Dengan kata lain, besar kemungkinan "pelayanan sekali saja" (one stop service) bagi PMA dan PMDN di BKPM bakal ditiadakan. Tapi, itu "bukan berarti pengambilalihan wewenang oleh Depnaker," ujar Ketua BKPM Suhartoyo. Bukan baru kali ini soal pengaturan TKA dibicarakan. Sepuluh tahun lalu, usaha mengatur mereka sesungguhnya sudah dilakukan dengan sejumlah keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, Soebroto. Bahkan di dalam ketentuan itu sudah pula disebut jabatan apa saja yang sudah tertutup dan masih terbuka bagi TKA di bidang industri tekstil, kimia, pertambangan minyak, perdagangan, dan perikanan. Walaupun demikian, ada juga, karena alasan tertentu, suatu jabatan spesifik, misalnya ahli masak di hotel, tidak diberikan pada pekerja lokal. Maklum, "majunya sebuah hotel itu terkadang karena kokinya," ujar Suhartoyo. Karena itu, apa boleh buat, "izin kerja buat mereka harus selalu diperpanjang.' Hingga 1 Maret, jumlah TKA di sektor perhotelan ini, baik itu PMA maupun PMDN, tercatat 100 orang. Menurut ketentuan BKPM, mereka diperbolehkan bekerja di sini selama dua tahun, dan bisa memperpanjang izin kerja hingga maksimal lima tahun. Ahli masak hotel punya kesempatan memperpanjang izin kerja beberapa kali, tapi 3.300 lebih TKA di bidang pertambangan minyak tak punya kesempatan semacam itu. Sektor pertambangan minyak, dan juga kehutanan, menurut catatan Depnaker, paling banyak dimasuki tenaga asing. Namun, karena pengawasan lemah, pelanggaran terhadap izin kerja sering terjadi dikedua sektor ini. Pelanggaran semacam itu, kata sebuah sumber, banyak terjadi karena, dalam proyek patungan, pihak Indonesia tidak mempersiapkan calon pengganti TKA, sekalipun hal itu sudah diwajibkan pemerintah. Bisa juga terjadi, pengusaha asing dan pemegang konsesi hutan sulit mendapatkan tenaga terlatih Indonesia yang mau bekerja di daerah terpencil. "Kalau tenaga Indonesia yang baik sulit diperoleh, dengan sendirinya bidang itu tetap dikerjakan tenaga kerja asing," kata Suhartoyo. Terjadinya kelambatan proses alih jabatan dari TKA ke tenaga lokal, menurut Menteri Sudomo, juga sering disebabkan oleh kelalaian pengusaha Indonesia merencanakan ketenagaan. Akibatnya, izin kerja para TKA itu pun harus diperpanjang lagi. Bertolak dari kenyataan itu, katanya, mulai 1984-1985 ini pemerintah akan turut mengusahakan penggantian tenaga asing dengan pekerja lokal minimal 15% setahun. Terutama untuk jabatan teknisi, pengawas, mandor, dan operator. "Saya sudah mengirim surat ke semua menteri tentang hal ini," ujar Sudomo. Bagi pihak pengusaha asing, soal pengindonesiaan itu ternyata bukanlah hal mudah. PT Horizon Syntex, PMA tekstil India di Surabaya, misalnya, sudah beberapa kali menyiapkan karyawannya sendiri untuk dipromosikan menduduki jabatan kepala bagian teknik dan produksi. Tapi selama empat kali itu, hasil didikan mereka selalu dibajak perusahaan lain. Toh di proyek bernilai Rp 24 milyar ini jumlah TKA yang pada tahun 1974 masih 32 orang, secara berangsur bisa dikurangi, dan kini tinggal 11 orang saja. Secara terus terang, G.L. Kumar, Manajer Umum Horizon, menyatakan, "Bagi pemilik modal, rasanya memang lebih afdol kalau manajemen dipegang oleh orang dekat." Namanya saja modal asing, "mereka 'kan berhak menunjuk orang yang dipercaya untuk bertanggung jawab dalam soal keuangan," tutur Kumar. Anggapan demikian tampaknya tidak ada pada pengusaha Jepang (70% sahamnya) yang berpatungan mendirikan PT Semarang Diamond Chemical (SDC). Sejak tahun lalu, manajemen perusahaan penghasil asam nitrat itu sepenuhnya dipegang tenaga Indonesia. "Orang Jepang sudah percaya penuh pada kami," ujar Suyanto, Direktur Produksi SDC. Sesudah diberi kepercayaan penuh, karyawan di sana ternyata malah mampu meningkatkan produksi. Semakin banyak pabrik patungan atau PMA bersikap seperti SDC, tentu menyenangkan. Kendati demikian, jumlah TKA itu sendiri tampaknya tidak akan berkurang. Sebab, semakin banyak PMA dan PMDN masuk, semakin banyak pula hitungan mereka. Sementara itu, pemerintah pun agak sulit mengontrol masuknya TKA, yang datang melalui proyek nonfasilitas yang tidak memperoleh keringanan pajak. Jumlah mereka sekitar 11.000 orang. Angka ini konon belum masuk dalam hitungan Menteri Sudomo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini