Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CHOY Jae Won terlihat gelisah di depan auditorium lantai 10 gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Kamis pekan lalu. General Manager Kodeco Energy Co Ltd, perusahaan minyak asal Korea Selatan, itu beberapa kali beranjak dari tempat duduknya dan kerap menengok ke dalam ruangan yang mulai dipenuhi puluhan tamu lain.
Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Sesuai dengan undangan, acara seharusnya sudah dimulai setengah jam sebelumnya. Para tamu, termasuk para petinggi Kodeco dan PT Pertamina, sudah hadir. Tapi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, yang mengundang, belum menampakkan batang hidungnya. ”Dua jam lalu kami dikabari agar datang tepat waktu,” kata seorang anggota staf Kodeco yang meminta identitasnya disembunyikan.
Siang itu Kementerian Energi punya hajat penting. Perjanjian jual-beli gas bumi milik PT Pertamina EP akan diteken masing-masing dengan PT PLN dan PT Rabana Gasindo Makmur, serta agenda paling ditunggu Choy dan timnya: pengumuman keputusan final kontrak lapangan minyak dan gas bumi West Madura Offshore. Sudah 30 tahun Kodeco menguasai 25 persen hak kepemilikan (participating interest) dan menjadi operator ladang minyak di Selat Madura, Jawa Timur, itu. Sesuai dengan perjanjian, kontrak Kodeco berakhir pada 6 Mei 2011—Jumat pekan lalu.
Wajar Choy deg-degan. Sejak 2003, Kodeco meminta pemerintah Indonesia memperpanjang kontrak mereka di Blok West Madura. Tapi, tiga tahun lalu, PT Pertamina—pemilik 50 persen hak kepemilikan yang juga mitra Kodeco—juga memohon pemerintah memberikan seluruh hak kepemilikan dan operasional West Madura kepada perseroan setelah kontrak berakhir. Sejak saat itu, West Madura jadi rebutan. Kontrak badan operasi bersama antara Pertamina dan perusahaan asal Korea Selatan (Kodeco) itu terjadi pada 1981.
Telat hampir satu jam, Menteri Darwin pun nongol. Ia didampingi Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo serta Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas R. Priyono. Tak lama setelah acara dibuka, Evita mengumumkan kontrak West Madura diperpanjang selama 20 tahun lagi, dengan status amended and restated. Artinya, kontrak diperpanjang dengan mengubah beberapa isi kontrak terdahulu. ”Evaluasi sudah dilakukan dengan semua pihak sehingga menghasilkan skema yang lebih baik,” kata Evita.
Dalam perpanjangan kontrak ini, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), yang sebelumnya punya 25 persen hak kepemilikan West Madura, tak terdaftar lagi sebagai pemilik konsesi. Begitu pula PT Sinergindo Citra Harapan dan Pure Link Investment Ltd. Dua perusahaan ini belakangan sempat memanaskan perebutan Blok West Madura setelah memperoleh pengalihan saham dari Kodeco dan CNOOC pada 16 Maret lalu.
Selesai? Lakon justru baru dimulai. Penandatanganan kontrak perpanjangan itu justru penuh ketidakjelasan. Tak satu pun perwakilan Pertamina dan Kodeco yang meneken kontrak baru West Madura bisa memastikan pembagian porsi hak kepemilikan. ”Tak ada angka dalam dokumen tadi,” kata Hemzairil, Direktur Keuangan Pertamina EP, yang ikut menekan kesepakatan.
Darwin dan Evita menolak memberi penjelasan. Keduanya menunjuk anggota staf ahli Menteri Energi Bidang Informasi dan Komunikasi, Kardaya Warnika, memberi keterangan. Menurut Kardaya, hak kepemilikan West Madura berubah menjadi 80 persen untuk Pertamina dan 20 persen buat Kodeco. Pertamina menggantikan Kodeco sebagai operator. Pembagian kontrak baru tersebut merupakan hasil kesepakatan kedua perusahaan. ”Pemerintah menyetujuinya,” ujar Kardaya.
Tapi Kardaya tak bisa memastikan bagaimana sesungguhnya kesepakatan Pertamina dengan Kodeco. Perhitungan keekonomiannya juga tak jelas. Begitu pula waktu dan pejabat-pejabat yang menyepakati masih gelap. ”Dalam kesepakatan itu pemerintah tidak terlibat,” ujarnya. Yang terang, menurut Kardaya, skema baru ini lebih menguntungkan buat negara.
Pernyataan Kardaya dibantah juru bicara Pertamina, Mochammad Harun. Ia menegaskan, belum ada kesepakatan antara Pertamina dan Kodeco soal rencana perpanjangan kontrak, termasuk pembagian hak kepemilikan. Sebelum kontrak baru diteken Kamis pekan lalu, posisi Pertamina tetap sama, hingga menunggu keputusan pemerintah. ”Kalau akhirnya ada pembagian porsi yang ditandatangani, itu keputusan pemerintah,” ujarnya.
Sumber Tempo di Kodeco membenarkan. Negosiasi terakhir kedua perusahaan sampai Rabu pekan lalu mentok tanpa keputusan. ”Semua keputusannya kami serahkan kepada pemerintah.”
TIGA hari berturut-turut awal pekan lalu, negosiasi rencana kontrak Blok West Madura digeber di lantai 16 Menara Centris, kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Jakarta. Dipimpin Evita, tim Pertamina dan Kodeco berunding, terutama pembagian participating interest setelah kontrak berakhir 6 Mei tahun ini. ”Operatornya sudah diarahkan untuk Pertamina,” kata sumber Tempo.
Pembahasan sangat alot. Pertamina, yang ngotot minta 100 persen kepemilikan, akhirnya bersedia mendapat 60 persen saja. Jatah itu sesuai dengan hasil kesimpulan rapat 13 April lalu: Pertamina mendapat 60 persen, sisanya dibagi rata Kodeco 10 persen, CNOOC 10 persen, Sinergindo 10 persen, dan Pure Link 10 persen. Tapi ada syaratnya. Pertamina meminta surat keputusan dari pemerintah. Pertamina juga meminta CNOOC mau bertukar aset ladang minyak dan gas. Nilainya setara dengan porsi saham West Madura yang diperoleh perusahaan minyak asal Cina tersebut.
Pembahasan dua syarat ini mentok. Alih-alih membuat keputusan, pemerintah malah mendesak Pertamina membuat kesepakatan bisnis (business to business) dengan Kodeco dan CNOOC. Pertamina menolak. CNOOC juga tak mau menukar asetnya jika tak ada keputusan pemerintah.
Negosiasi dilanjutkan lagi di Menara Centris, Rabu pekan lalu. Kondisinya makin rumit karena, sehari sebelumnya, CNOOC mengundurkan diri dari perburuan saham West Madura. Begitu pula Pure Link. Priyono membenarkan pengunduran diri kedua perusahaan itu. ”Kelihatannya mereka sudah patah arang,” kata Priyono. Surat mundur CNOOC diteken presiden direkturnya, Duan Cheng Gang, Rabu pekan lalu. Sedangkan surat Pure Link, yang memiliki 12,5 persen saham dari CNOOC, diteken Direktur Rajiv Ricky Budhrani.
Padahal, bagi Pertamina, CNOOC merupakan mitra paling potensial untuk bisa diajak bertukar aset dan kemampuan teknis. ”Kodeco, apalagi dua penumpang gelap lainnya (Sinergindo dan Pure Link), tak punya apa-apa,” kata sumber Tempo.
Walhasil, 20 persen saham West Madura tak bertuan. Evita menyarankan saham itu dialihkan kepada Pertamina. Akhirnya Pertamina mengantongi 80 persen dan Kodeco 20 persen. Persoalan belum selesai. Giliran Kodeco berang. Kodeco menilai porsinya seharusnya ditambah karena jatah operator sudah diberikan kepada Pertamina. Pertemuan yang berakhir menjelang Kamis dinihari pekan lalu itu pun tanpa keputusan. ”Kesepakatannya tidak bersepakat. Semua kami serahkan kepada pemerintah,” ujar sumber tadi.
Pertamina tak mau mengambil risiko menyepakati pembagian porsi saham West Madura tanpa keputusan pemerintah. Jika hak kepemilikan sudah disepakati dengan Kodeco, kata sang sumber, ini berarti status kontrak lama diperpanjang. Padahal keinginan Pertamina justru menguasai seluruh hak kepemilikan, sekaligus menjadi operator West Madura. Baru kemudian membagi sebagian kepemilikan kepada investor baru, termasuk badan usaha daerah (lihat ”Berharap Jatah Saham Emas”).
Potensi pendapatan negara yang dirancang dari dua skema itu jauh berbeda. Skema pertama, kontrak diperpanjang buat Pertamina dan Kodeco. Skema kedua, saham West Madura diberikan seluruhnya kepada Pertamina, lalu ditawarkan kepada perusahaan lain.
Sumber Tempo menjelaskan, jika diterapkan skema kedua, perusahaan atau investor baru ini harus membayar duit senilai saham tersebut kepada negara. Dengan asumsi harga minyak US$ 100 per barel, potensi produksi 20 tahun sebanyak 14-30 ribu barel per hari, dan belanja modal lebih dari US$ 1 miliar, Pertamina memperkirakan 40 persen saham West Madura bisa dilepas senilai US$ 120-210 juta.
Potensi penerimaan negara ini, ujar sumber Tempo ini, jauh lebih besar dibanding jika pemerintah memilih skema pertama. ”Dengan skema pertama, kontraktor atau perusahaan lama hanya membayar bonus tanda tangan (signature bonus) sebesar US$ 5 juta,” ujarnya. Signature bonus adalah uang setoran kontraktor yang mendapatkan hak kepemilikan ladang minyak atau gas.
Perbedaan mencolok inilah, kata sumber Tempo itu, yang menjadi penyebab tak ada satu pejabat pun mau bertanggung jawab atas keputusan pembagian hak kepemilikan West Madura. Apalagi potensi kerugian rencana perpanjangan kontrak West Madura Offshore sudah dilaporkan Indonesian Resources Studies ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sumber Tempo di Kementerian membisikkan, kontrak yang diteken pekan lalu itu cuma memenuhi batas waktu kontrak habis pada 6 Mei 2011. Pemerintah tak mau rata-rata produksi minyak West Madura sebesar 14 ribu barel per hari hilang gara-gara belum ada keputusan operatornya. ”Kepastian porsi kepemilikan masih menunggu keputusan Menteri Darwin,” katanya. Duh, lama banget.
Agoeng Wijaya, Sunudyantoro
Kontrak lama partisipasi West Madura*
Kepemilikan West Madura
(16 Maret 2011)
Kepemilikan West Madura terbaru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo