Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI umumnya mahasiswa satu kelas, Perintis Gunawan dan Bambang Herijanto Rachmadi suka berbincang-bincang seusai kuliah. Pada 2002 itu, keduanya merupakan mahasiswa pascasarjana jurusan hukum bisnis di Universitas Padjadjaran, Bandung. Sebagian besar dari sekitar 30 teman satu angkatan mereka adalah politikus dan bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu kali, pada Maret, percakapan keduanya sampai ke urusan bisnis.
Bambang menawarkan kaveling Puri Tirta Kencana yang sebagian tak bisa dijual di Kelurahan Antapani, Bandung. Ini aset bekas Bank Asta, yang diakuisisi Bank IFI pada 1997. Bambang adalah Direktur Bank IFI sekaligus pengendali saham. Perintis, yang memiliki PT Perintis Tujuh Konsultan, diminta Bambang memasarkan 105 kaveling.
Luas tanah yang ditawarkan 10.776 meter persegi, dengan harga Rp 556.795 per meter persegi, sehingga total harganya Rp 6 miliar. ”Waduh, usaha saya cuma warung telekomunikasi. Saya tak punya uang sebanyak itu,” kata Perintis. ”Gampang,” kata Bambang seperti ditirukan Perintis, ”minta saja kredit ke Bank IFI.”
Saran Bambang itu pun diikuti. Perintis mengajukan permohonan kredit senilai harga kaveling. Karena jenis usaha PT Perintis itu warung telekomunikasi, permohonan yang diajukan pun untuk membuka usaha ini. Jaminannya: sembilan lembar sertifikat tanah di Banten dan Banyumas. Bambang menyetujuinya. Kredit cair dalam dua cek senilai Rp 5,5 miliar dan Rp 500 juta. Namun, ketika akta diteken pada 26 Maret 2002 dengan jangka pengembalian 12 bulan, Perintis baru bisa menyerahkan enam sertifikat.
Sebulan kemudian, Perintis datang lagi ke Bank IFI untuk menyerahkan tiga sertifikat sisanya. Ia bertemu dengan Max Mauludin dan Bambang Rachmad Sampurno, karyawan Bank IFI. Dalam akta kepemilikan tanah, Max bersama Sugeng Bahagia dan Agung Priambodo dinyatakan sebagai pemilik kaveling mewakili Bank IFI. Alangkah terkejutnya Perintis ketika diberi tahu soal duit kredit yang ada di rekeningnya.
Bambang Sampurno dari bagian keuangan menyarankan Perintis membawa kembali sertifikat-sertifikat itu. Sampurno, menurut Perintis, mengatakan duit pinjaman di rekening PT Perintis toh sudah didebit oleh Bambang Herijanto. Padahal Perintis belum menerima sertifikat asli kaveling-kaveling yang dibelinya melalui fasilitas kredit itu. ”Di situlah saya baru sadar, saya telah ditipu,” katanya pekan lalu.
Selain jaminan belum diserahkan semua, Perintis sangat percaya kepada Bambang Herijanto sebagai teman dan bankir. Sebelum akta pinjaman diteken, kata Perintis, Bambang berjanji memberikan seluruh sertifikat kaveling Tirta Kencana setelah semua jaminan diserahkan ke Bank IFI. Ternyata itu sekadar janji lisan yang sulit ditagih.
Upaya Perintis meminta sertifikat tak pernah membuahkan hasil. Bolak-balik ia datang ke Bank IFI di kawasan Sudirman, Jakarta, tapi tak pernah dilayani. Bambang Herijanto juga enggan menemuinya lagi. Bertahun-tahun usaha Perintis ini gagal hingga pada 17 April 2009 Bank Indonesia menutup Bank IFI karena kesulitan likuiditas akibat banyaknya kredit macet dan penyalahgunaan uang nasabah oleh pemilik.
Nah, dalam pembukuan, Tim Likuidasi yang dibentuk Bank Indonesia menemukan kredit Perintis yang tak dibayar itu. Tim pun menggugat PT Perintis ke pengadilan. Perintis dituduh ingkar membayar pinjaman. Rudhi Mukhtar, pengacara Tim Likuidasi, menuntut Perintis membayar utang plus biaya dan bunga sebesar Rp 8,49 miliar ditambah kerugian imateriil Rp 1 triliun.
Perkara Perintis versus Tim Likuidasi itu kini masuk tahap mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Perintis sendiri berkeras melawan gugatan itu. ”Sampai kapan pun, saya tak akan bayar,” katanya. ”Kredit itu tak saya nikmati.” Ia balik menggugat Tim Likuidasi karena tak menyerahkan tiga sertifikat yang dulu ia jaminkan ketika meneken akta kredit. Tiga lainnya bisa ia dapatkan dan tanahnya sudah dijual.
Sebetulnya Bank Indonesia paham soal kredit ini. Tim pemeriksa menemukan kejanggalan pengucuran kredit tersebut. Dalam hasil pemeriksaan yang diterima Perintis, Tim menyebut pinjaman itu ”kredit topengan”. Maka Tim pun melaporkan pelanggaran Undang-Undang Perbankan itu ke polisi. Perintis dipanggil sebagai saksi.
Kala diperiksa sebagai saksi itulah ia jadi tahu ke mana saja uang kredit tersebut dialirkan. Dalam pemeriksaan terungkap bahwa cek kredit atas nama Perintis diambil dari bagian keuangan oleh sekretaris pribadi Bambang Herijanto. Duit itu kemudian dicairkan untuk menutupi kredit macet debitor lain di Bank IFI sebesar Rp 5 miliar, dan Rp 500 juta masuk rekening PT Ramako. Ramako adalah perusahaan yang menaungi stasiun radio Ramako milik keluarga Rachmadi.
Meski begitu, Perintis dan perusahaannya tetap digugat dan masuk daftar hitam penunggak utang. Keterangan dan dokumen-dokumen yang mendukung bahwa ia tak menerima kredit diabaikan Tim Likuidasi. Namun, setelah pengacaranya gencar mengirim surat ke Bank Indonesia, Direktorat Hukum Bank Indonesia pada 11 Oktober 2007 menyatakan nama dan perusahaan Perintis telah dikeluarkan dari daftar itu.
Usut punya usut, Bank IFI ternyata sudah melunasi kredit Perintis itu pada 30 Juni 2003. Jumlahnya Rp 7,12 miliar karena ditambah dengan bunga dan denda. Perintis berusaha menanyakan soal ini kepada Bank IFI, tapi tak pernah direspons. ”Ujuk-ujuk bank tutup dan ujuk-ujuk saya digugat,” katanya.
Kejanggalan-kejanggalan kredit ini tercium juga oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga itu kini menyelidiki pemberian kredit tersebut. Kamis pekan lalu, Perintis dipanggil untuk bersaksi. Dalam keterangannya, ia mengungkapkan kronologi pemberian kredit itu. Ia menjelaskan pada akhirnya ia berhasil menjual kaveling Tirta Kencana. Tapi hanya 36 lembar, karena 69 lembar lainnya sudah dijual Bank IFI kepada orang lain. Itu pun ia membeli ulang.
Sebanyak 36 lembar sertifikat itu ia beli senilai Rp 1,6 miliar secara bertahap. Sebagai pedagang, ia jual lagi kaveling-kaveling itu hingga tandas dan mendapat penerimaan Rp 3,2 miliar. ”Ini kan aneh,” kata Perintis. ”Harusnya sertifikat itu sudah milik saya ketika akta kredit diteken. Tapi saya harus membelinya lagi dengan uang saya yang lain.”
Puri Tirta Kencana kini sudah penuh dihuni pemiliknya. Perumahan cluster dekat Terminal Cicaheum ini terdiri atas 89 unit. Gerbangnya dijaga satuan pengamanan. Sejak tiga tahun lalu, PT Panorama Graha Asri, yang menjual kaveling-kaveling itu, mengosongkan kantor pemasaran dekat gerbang karena tak ada lagi kaveling yang bisa dijual.
Sesungguhnya kaveling-kaveling itu tak boleh dijual karena para pemiliknya sudah memberikan kuasa kepada Bambang Bintang Rachmadi pada 1998. Nyatanya, Sugeng Bahagia memberikan kuasa menjual kaveling kepada Sustianingsih, istri Perintis. Kuasa itu pun tak bisa dilakukan karena sertifikat aslinya sudah berpindah ke tangan lain.
Jumat pekan lalu, Bambang Bintang dipanggil Lembaga Penjamin Simpanan untuk dimintai kesaksian soal kasus ini. Lembaga Penjamin juga memanggil dua kakaknya, Bambang Herijanto dan Bambang Nuryanto. Nuryanto pernah dikenal sebagai pengusaha sukses karena berhasil ”membiakkan” restoran cepat saji McDonald’s di seluruh Indonesia.
Namun ketiganya absen dari panggilan itu. Kepada Tempo, Bambang Herijanto awalnya bersedia memberikan keterangan versinya tentang ”kredit topengan” ini. ”Saya masih rapat, nanti saya hubungi Anda dan menjelaskan soal ini,” katanya. Namun, hingga Jumat malam pekan lalu, ia tak lagi bisa dikontak.
Bagja Hidayat (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo