Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaka Sembung naik ojek, enggak nyambung, Jack." Itulah komentar yang kerap ditujukan kepada Aldi, sebut saja begitu, sewaktu mengikuti pelajaran di kelas V Sekolah Dasar Pela Mampang 01 Pagi, Jakarta Selatan.
Gangguan yang biasa disebut attention deficit hyperactivity disorder (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif) yang bercampur dengan autis ini memang sudah jauh berkurang. Tapi keasyikan bocah 11 tahun itu melakukan sesuatu menurut keinginannya, atau tengah berlangsung di alam pikirannya, sering terjadi.
Jumat dua pekan lalu, tatkala Bu Jumilah, guru ilmu pengetahuan alam, meminta murid menggambar sistem peredaran darah manusia, Aldi justru menggambar sejumlah bus antarkota, lengkap beserta jurusan dan fasilitasnya: toilet dan penyejuk udara (AC). Gambar itu diberinya judul "Ayo Mudik, Coy...". Pada saat yang lain, ketika guru meminta murid menggambar motif batik, Aldi justru menulis judul lagu dari beberapa grup band di Tanah Air, seperti D'Bagindas (Ampuni Dosaku, Cinta, Apa yang Terjadi) dan Naif (Mobil Balap, Let's Go, Karena Kamu Cuma Satu). Padahal, dalam kesempatan lain, Aldi bisa menjawab dengan tepat saat ditanya 5 x 5, 6 x 6, atau 9 x 9.
Sekolah Aldi istimewa—artinya punya perhatian khusus terhadap siswa yang mengidap gangguan ini. Tak sampai 10 meter dari kelas Aldi, keriuhan terjadi di kelas IV ketika Pak Sugeng, guru bahasa Indonesia, menerangkan ihwal kata depan. Perhatian mereka terserap pada hal-hal yang sedang berkecamuk dalam pikiran masing-masing. Empat siswa bikin ulah: melempar kertas atau berkeliling ke sana-kemari, bahkan ada yang bercanda dengan memukul kepala teman di depannya. Ulah mereka melebihi Arman—juga bukan nama sebenarnya—bocah 11 tahun di kelas itu, yang dinyatakan dokter mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif.
Sugeng menduga tak hanya dua orang yang mengalami gangguan tersebut di kelasnya, seperti yang sejak awal diberitahukan orang tua kepada sekolah. Ia yakin, masih ada 3-4 anak lain yang mengalami gangguan serupa tapi tersembunyi. Artinya, mereka dianggap "normal" karena belum ada hasil diagnosis dokter atau psikolog.
Sinyalemen Sugeng dibenarkan sang kepala sekolah Ani Nurwati dan Satiti Sabarwati, guru pembimbing khusus, di sekolah ini. Sejauh ini, sebagai sekolah inklusif—sekolah umum yang sejak 2005 ditunjuk pemerintah untuk menerima anak berkebutuhan khusus—tercatat cuma ada lima siswa yang dinyatakan mengalami gangguan pemusatan perhatian. "Yang tidak tercatat kayaknya lebih banyak," kata Ani.
Banyaknya siswa sekolah dasar di Jakarta yang mengalami gangguan pemusatan perhatian tersembunyi, seperti diungkap Sugeng, Ani, dan Wati, menguatkan hasil riset yang dilakukan oleh dokter Tjin Wiguna dan kawan-kawan dari Divisi Psikiatri Anak dan Remaja FKUI-RSCM. Riset pada Desember 2010 hingga Juni 2011 itu menunjukkan 26,2 persen anak sekolah dasar di Ibu Kota mengalami gangguan ini. "Angka yang sangat besar," kata Tjin. Sebelum ini, sejumlah literatur menyebut angka gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif pada anak sekolah adalah 3-5 persen.
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif merupakan masalah psikiatri anak yang paling serius. Dari tahun ke tahun, di sejumlah negara, angka kejadiannya cenderung meningkat. Di Amerika Serikat, menurut laporan Center for Disease Control and Prevention, Atlanta (2009), gangguan pemusatan perhatian meningkat 3 persen per tahun pada 1997-2006. Perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2,5 : 1 dan 5,6 : 1.Â
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM-IV), gangguan mental akibat kelainan di neurotransmitter otak ini ditandai dengan sulitnya memusatkan perhatian, hiperaktif, dan impulsif. Di antaranya, sering gagal dalam memberikan perhatian, sering mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas, sering meninggalkan tempat duduk pada suasana yang mengharuskan duduk, atau sulit mengatur waktu luangnya dengan tenang—sehingga kerap memunculkan sikap iseng atau usil.Â
Hingga saat ini, penyebab pasti gangguan ini masih belum jelas. Namun ada banyak faktor yang patut dituding, seperti genetik, perkembangan otak saat dalam kandungan, disfungsi metabolisme, atau pola asuh orang tua. Riwayat ayah merokok diduga juga berhubungan erat dengan peningkatan risiko gangguan pemusatan perhatian, sama seperti ibu merokok saat hamil.
Adanya tren peningkatan di berbagai tempat itulah yang mendorong Tjin dan koleganya melakukan penelitian pada siswa sekolah dasar di Ibu Kota. Mereka mengambil sampel 423 anak secara acak dari 30 sekolah dasar di Jakarta. Salah satu alat diagnostik yang dijadikan pegangan adalah DSM-IV. Hasilnya angka 26,2 persen itu.
"Ini masalah serius," kata Tjin. Sebab, tanpa penanganan yang benar, siswa yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif akan mengalami kesulitan belajar. Jika hal itu berlanjut, mereka tak akan berprestasi, atau malah tinggal kelas.
Di luar soal tingginya kasus, dari hasil wawancara, Tjin menemukan kesalahkaprahan di kalangan guru dan orang tua dalam memandang anak yang mengalami gangguan ini. Mereka sering melabeli anak-anak itu sebagai anak nakal, bodoh, dungu, dan sebagainya, tapi tidak berupaya mencari akar masalahnya. Sebagian lain menganggap kenakalan anak-anak tersebut masih wajar.
Theresia M.D. Kaunang, psikiater anak FKUI-RSCM yang lain, menguatkan adanya kesalahpahaman itu. Padahal, jika orang tua menyadari kondisi anaknya lalu melakukan terapi, konsentrasi si anak akan bisa dibenahi. Bahkan, bukan tak mungkin, dalam pelajaran tertentu, prestasi anak tersebut lebih unggul.
Theresia pernah menangani kasus anak yang posisinya terpaku pada ranking dua paling bawah di kelas saat sekolah dasar. Namun, setelah menjalani terapi dan akhirnya sanggup memusatkan perhatian, kemampuan matematikanya luar biasa. "Saat sekolah menengah pertama, dia menjuarai olimpiade matematika," katanya.
Terapi bagi anak penderita gangguan pemusatan perhatian bisa dilakukan dengan obat, non-obat, atau gabungan keduanya. Obat yang diberikan biasanya berupa metilfenidat, pemolin, dan dektroamfetamin. Dengan itu semua, si anak menjadi tenang dan bisa berkonsentrasi. Untuk non-obat, terapi yang bisa diberikan antara lain terapi perilaku, terapi bermain, terapi nutrisi, atau terapi berlatih konsentrasi.
Di SD Pela Mampang, Wati memberikan terapi dengan menyuruh si anak menyusun puzzle, memisahkan manik-manik berdasarkan warna dan ukuran, mencari gambar yang tersembunyi atau memasukkan koin ke dalam kaleng. Terapi perilaku diberikan agar si anak berlatih untuk bersosialisasi dengan lingkungan, termasuk teman-teman di sekolah.
Terapi semacam ini lumayan berkhasiat. Penderita bisa mengikuti pelajaran. Meski prestasinya pas-pasan, kini Aldi dan Anwar relatif bisa duduk tenang dan tak lagi berputar-putar di ruangan. Tak hanya itu, keusilan keduanya juga jauh berkurang. "Dulu, Aldi suka mencubit sehingga teman-temannya sering menjerit kesakitan," kata Wati, lulusan program studi pendidikan luar biasa Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, ini, sembari tersenyum.
Bagi Wati, Theresia, juga Tjin, terapi yang tepat adalah kunci untuk mengubah anak-anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif agar bisa bergaul, berkonsentrasi, dan berprestasi laiknya anak normal. Dengan cara itulah, label negatif yang sempat menempel akan rontok. Sebaliknya, tanpa terapi yang benar, dikhawatirkan nanti akan lahir anak-anak dengan gangguan perilaku, seperti agresif dan antisosial. Maraknya kekerasan yang dilakukan siswa belakangan, termasuk tawuran, kata Theresia, "Mungkin ada kaitannya dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif ini."
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo