Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama perusahaan itu singkat dan sederhana, PT Code Jawa. Berdiri pada 2001, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Yusuf Kyber, suami pedangdut Liza Natalia itu, kini berkibar dalam bisnis layanan penyedia konten. Berkantor di kompleks elite Arkadia Office Park, Jakarta Selatan, Code Jawa kini masuk daftar lima pemain besar di industri itu. Pemilik kode akses 9090 ini meramaikan bisnis konten layanan ramalan dan SMS selebritas.
Dari sisi keuntungan, bisnis konten ini memang sangat menggiurkan. Menurut anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi, sejak industri teknologi informasi dan komunikasi Tanah Air beralih dari narrowband (pita sempit) ke broadband (pita lebar) pada akhir 2006, peran konten menjadi strategis. Layanan konten yang berbasis short messaging service (SMS) menjadi semakin kreatif. Misalnya muncul banyak layanan kuis, promo, atau fitur berbasis Internet.
Pada 2008, kata Heru, jumlah penyedia layanan konten mencapai 500 perusahaan. Karena saat itu belum ada payung hukum untuk mengawasi bisnis ini, konsumen jadi korban. Saat itu, ujar Heru, perlindungan konsumen memang terabaikan. "Banyak yang mengeluh pulsanya dipotong sepihak," katanya.
Inilah yang kemudian mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2009. Beleid ini mengatur penyelenggaraan jasa pesan premium dan jasa pesan singkat ke banyak tujuan (broadcast). Selain untuk melindungi konsumen, menurut Heru, pemerintah juga berkepentingan menumbuhkan industri ini. "Karena industri konten merupakan industri kreatif," katanya.
Setelah aturan ini keluar, menurut Kepala Pusat Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa Broto, penyelenggaraan layanan konten semakin tertata. Penyedia konten, kata Gatot, misalnya, diwajibkan membuka layanan pengaduan. Di sisi lain, konsumen juga mendapat kepastian hukum karena peraturan itu memuat ketentuan ganti rugi. Selain pasarnya luas, Gatot mengakui, bisnis konten rawan mengundang kecurangan.
Gatot menunjuk titik rawan kecurangan itu. Dari 211 juta nomor seluler aktif di Tanah Air saat ini, kata dia, 95 persen adalah nomor seluler prabayar. Jika tidak hati-hati dan cermat merespons layanan, pulsa konsumen bisa tersedot ludes begitu saja. Konsumen kerap tidak menyadari bahwa mereka dicurangi. Ini, menurut Gatot, berbeda dengan pengguna kartu pascabayar, yang setiap bulan akan mendapat struk tagihan. Jika dicurangi, konsumen seperti ini akan tahu. Alhasil, kata Gatot, pengguna kartu prabayar menjadi lahan empuk bagi bisnis tersebut.
Kepada Tempo, seorang pelaku bisnis di bidang ini mengatakan penggerusan pulsa memang alat untuk mengeruk keuntungan. Kalaupun ada pemotongan pulsa sepihak, kata dia, operator dipastikan juga kecipratan. "Karena dananya masuk dulu ke operator," kata sumber ini.
Heru mengakui besarnya nilai fulus dari hasil penyedotan pulsa yang kelihatan sepele itu—yakni Rp 1.000 hingga Rp 2.000. "Jika satu konsumen dipotong Rp 1.000 per hari saja, bisa dibayangkan uang yang dihasilkan dari ratusan ribu konsumen per hari." Badan Regulasi menghitung, dari ribuan layanan konten, uang yang berputar di bisnis ini mencapai puluhan triliun rupiah. Setiap bulan, sebuah perusahaan konten dan operator bisa meraup untung puluhan miliar rupiah. Kendati demikian, menurut Heru, ada kecenderungan jumlah pemain di industri ini kini menurun. Itu, ujarnya, karena masyarakat semakin cerdas memilih layanan. Saat ini BRTI mencatat ada sekitar 200 perusahaan yang bergerak di bisnis konten. Mereka terus berupaya menciptakan konten yang menarik dan membuat konsumen terpikat. "Kini yang dituntut kreatif menciptakan layanan."
Menurut Ketua Asosiasi Penyedia Konten Indonesia (Imoca) Haryawirasma, operator memang yang paling diuntungkan dalam bisnis ini karena mereka terima bersih. Hitungan bagi hasilnya, yakni maksimal 60 untuk penyedia dan 40 untuk operator, ujar Haryawirasma, masih merugikan pihaknya karena mereka masih membagi lagi dengan rekanan dan untuk biaya operasional. Pola bagi hasil seperti inilah, kata dia, yang memancing penyedia konten berbuat nakal, melakukan pemotongan pulsa sepihak. Tapi, Harya menjamin, 56 anggota Imoca tak melakukan praktek tak terpuji itu. "Idealnya, kami dapat 80 persen."
Pihak operator tak mau begitu saja disudutkan sebagai biang yang membuat penyedotan pulsa tanpa izin ini meruak. Menurut Direktur Utama PT Excelcomindo Pratama (XL) Hasnul Suhaimi, pola bagi hasil itu sudah sudah adil karena pihaknya yang menyediakan infrastruktur. Pendapatan dari bisnis ini, kata dia, tak sampai tiga persen dari total pendapatan perusahaan. Hasnul mengaku pihaknya tahu adanya pemotongan pulsa sepihak setelah ada keluhan konsumen. "Kami punya sistem yang ketat," katanya. Hingga kini PT Excelcomindo memiliki 80-an mitra penyedia layanan konten.
Pihak Telkomsel juga tidak mau menanggapi perihal mekanisme bagi hasil layanan ini. Menurut General Manager Corporate Communications PT Telkomsel Ricardo Indra, pihaknya, yang memulai bisnis ini sejak 2002, selalu mencegah praktek yang bisa menimbulkan kerugian konsumen. "Bagi kami, kepercayaan pelanggan hal paling utama," kata Ricardo. Itu janji Telkomsel. Yang pasti, sejumlah layanan konten dari operator ini juga kerap membuat konsumen sebal lantaran merasa dirugikan.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo