Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAM menunjuk pukul 23.33 WIB, atau 00.33 waktu Singapura, ketika David M.L. Tobing bersiap tidur di kamar hotelnya. Ketika akan memejamkan mata, pengacara itu dikejutkan oleh bunyi "beep" masuknya pesan pendek (SMS) di BlackBerry. Pesan dari nomor 3636 itu tak akan digubris jika ia tak membacanya.
Di sana tertulis "Terima kasih Anda berlangganan Opera Mini Rp 10.000/7hari. Syarat/ketentuan berlaku hub *363#. Untuk stop ketik OP OFF ke 3636. Download klik http://mini.opera.com". David terkejut karena ia tak pernah mendaftar berlangganan program pengakses Internet itu.
Dia pikir itu pesan salah kirim. Tapi, sepekan kemudian, ketika ia sudah di Jakarta, pesan serupa muncul lagi. Begitu juga tujuh hari berikutnya, dan tujuh hari berikutnya. Total ia menerima sembilan pesan sama yang memberi tahu perpanjangan masa berlangganan Opera Mini dengan biaya Rp 10 ribu.
Ketika menerima laporan pemakaian pulsa nomor "pascabayar" yang diterbitkan Telkomsel pada akhir bulan, David melihat ada pemakaian Rp 10.000 tiap pesan. Ia pun menelepon nomor layanan pelanggan. "Tapi susah sekali tersambung," katanya pekan lalu.
David memutuskan menempuh jalur hukum. Pada 13 September lalu, ia melayangkan gugatan terhadap Telkomsel ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Nilai gugatannya Rp 90 ribu, sesuai dengan jumlah pulsa yang hilang karena menerima pesan pendek itu plus Rp 10 ribu sebagai kerugian imateriil.
"Ini jumlah tak seberapa, tapi saya ingin itu jadi pelajaran bagi operator yang seenaknya memotong pulsa," katanya. Tuntutan ganti rugi itu memang kecil dibanding biaya mendaftarkan gugatan, yakni Rp 1.016.000.
Bagi David, menggugat dengan nilai kecil untuk kasus kerugian konsumen bukan pertama kali. Pada 2003, ia menggugat Secure Parking senilai Rp 1.000. Gara-garanya, ia harus membayar Rp 3.000 untuk parkir mobil selama 1 jam 31 menit di Plaza Senayan. Padahal, aturannya, parkir di mal Rp 1.000 untuk jam pertama dan tambahan Rp 1.000 untuk jam berikutnya.
David terkenal ketika menggugat pemasangan logo Garuda pada kostum pemain sepak bola saat Piala Asia tahun lalu. Ia juga menggugat Kementerian Kesehatan agar mengumumkan 46 merek susu yang tercemar bakteri Enterobacter sakazakii. Semua gugatan itu ia menangi hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Telkomsel tak mau menanggapi gugatan David dengan alasan sudah masuk pengadilan. Ricardo Indra, Kepala Komunikasi Telkomsel, hanya menyayangkan tindakan David yang langsung menggugat. "Kami punya mekanisme menangani keluhan pelanggan," katanya. Untuk pulsa yang terpotong, Telkomsel sudah biasa menggantinya.
David mengaku berkali-kali menghubungi layanan pelanggan, tapi tak berhasil. Belakangan, ketika gugatan sudah dilayangkan, petugas Telkomsel menghubunginya. "Mereka mengajak damai," katanya.
David menolak tawaran itu karena ingin membongkar pencurian pulsa melalui tawaran fitur di telepon seluler, yang marak sejak tiga tahun lalu. David memang bukan yang pertama. Tahun lalu ada pelanggan seluler dengan kasus yang sama menggugat Telkomsel ke pengadilan di Padang. Tapi hakim memenangkan Telkomsel karena buktinya tak cukup.
YAYASAN Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merekam banyaknya pengaduan pemotongan pulsa lewat SMS penawaran fitur di telepon ini. Tahun lalu, pengaduan soal ini menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan dengan rasio 45 persen dari seluruh pengaduan. Tahun sebelumnya, laporan kasus ini hanya urutan keempat.
YLKI mencatat modus pencurian pulsa beraneka ragam (lihat infografis). Dari pemotongan pulsa tanpa registrasi, kesulitan berhenti berlangganan, hingga pemotongan pulsa karena dikirimi tawaran konten. Seperti yang dialami Sanusi, 47 tahun.
Pulsa telepon investor pasar modal ini terpotong Rp 5.500 per pekan karena menerima SMS motivasi, padahal ia tak pernah mendaftar. Syahdan, Sanusi mendapat SMS berisi kalimat bijak itu setelah telepon dan nomornya raib dua bulan lalu. Ia pun meminta kartu baru dengan nomor lama ke gerai Telkomsel di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Nah, sejak itu, ia menerima SMS dua kali sehari. Setelah dicek, pulsanya berkurang Rp 5.500.
Alih-alih berhenti setelah mengirim SMS unreg, pulsa Sanusi terpotong lagi karena mengirim permintaan itu. Menelepon ke layanan pelanggan juga ribet, dan SMS motivasi tetap ia terima. Setelah empat kali bolak-balik ke gerai Telkomsel, telepon Sanusi berhenti berdenyit. "Itu pun setelah saya marah-marah di sana," katanya. "Waktu saya habis untuk menghentikan SMS yang tak saya minta."
Menurut Sularsi, Koordinator Divisi Hukum dan Pengaduan YLKI, kasus David dan Sanusi paling tipikal dikeluhkan: terima SMS padahal tak menghendaki fitur itu, nomor otomatis terdaftar meski mengabaikan tawaran, lalu susah stop. "Ini memang bisnis tak beretika," katanya.
Ketika mulai marak tiga tahun lalu, SMS tawaran fitur ini masih sopan dengan menyediakan registrasi jika ingin berlangganan. Belakangan, dengan semakin banyaknya fitur dan perusahaan penyedia konten, pilihan itu tak ada lagi. Banyak pelanggan yang mengeluh kepada YLKI: pulsanya terpotong hanya gara-gara menerima SMS.
SMS tawaran konten ini dicirikan dengan kode akses berupa tiga atau empat kombinasi angka, misalnya 3636. Adapun SMS yang meminta transfer sejumlah uang dikirim dari nomor telepon biasa. Untuk kasus kedua, polisi sudah banyak menangkap pelakunya. Dua bulan lalu, polisi membekuk jaringan "mama pulsa", yang pelakunya sindikat dari Cina.
Ketua Asosiasi Perusahaan Penyedia Konten, Haryawirasma, mengakui ada banyak perusahaan jasa konten yang nakal dengan mengirim SMS tawaran yang berujung pada pemotongan pulsa tanpa permisi. Seorang pemain bisnis ini menyebutnya dengan istilah "tuyul pulsa". "Kami pernah mengeluarkan anggota yang main curang seperti itu," kata Harya.
Asosiasi kini mewadahi 65 perusahaan penyedia fitur. Ini jumlah yang kecil karena faktanya ada hampir 400 perusahaan yang bermain di bisnis ini. Banyaknya jumlah pemakai telepon seluler membuat bisnis ini menggiurkan. Saat ini sembilan operator seluler telah menerbitkan 211,6 juta nomor yang masih aktif.
Dengan harga per fitur Rp 500 hingga Rp 20 ribu, nilai bisnis ini mencapai Rp 100 triliun per tahun. Padahal belanja modal yang dikeluarkan operator seluler tahun lalu hanya Rp 18 triliun. Menurut Sularsi, operator dengan jumlah pelanggan terkecil saja bisa meraup Rp 300 juta per hari dari bisnis ini.
Bisnis ini juga relatif mudah dan pasti karena nomor pelanggannya sudah disediakan operator. "Kami tinggal mengirimkan fitur yang sudah disepakati dalam kerja sama," kata Harya. Pembagian pendapatannya, menurut Harya, 60 persen untuk operator dan sisanya untuk penyedia konten—yang harus dibagi lagi dengan artis jika fiturnya berupa nada dering.
Munculnya pengaduan praktek tuyul pulsa tak membuat pendapatan operator dan penyedia konten terusik. Soalnya, menurut Sularsi, banyak pelanggan yang tak peduli, tak sadar, atau malas mengadu jika pulsanya tergerus karena prosesnya ribet. Survei YLKI menemukan, dari Rp 300 juta pendapatan sehari, pengeluaran operator untuk ganti rugi hanya Rp 14 juta.
Penyebabnya, 93 persen pelanggan merupakan pengguna nomor seluler jenis "prabayar" alias isi ulang pulsa lewat voucher. Alhasil, pelanggan nomor ini tak memiliki bukti pemotongan pulsa ketika mengeluh, bahkan mengadukannya ke polisi. "Kami sering menangani kasus seperti ini," kata Heru Sutadi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
Maka bisnis ini pun tak terbendung, kendati keluhan terus mengalir. Pemerintah memang telah mengaturnya lewat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2009. Tapi peraturan ini banyak dilanggar. Misalnya, pendaftaran yang seharusnya gratis tetap mesti bayar.
Dalam ketentuan peralihan peraturan itu, sanksi bagi operator dan penyedia konten yang curang tak sekadar ganti rugi, tapi juga jalur pidana. Tapi sejauh ini belum pernah ada kasus pencurian pulsa lewat SMS yang disidik polisi. Karena itu, David Tobing memilih langsung menggugatnya ke pengadilan.
Operator dan penyedia fitur tentu tak mau disalahkan. Menurut Haryawirasma, sebagai penyedia fitur, pihaknya hanya memproduksi konten. Soal pengirimannya ke pelanggan, pemotongan pulsa, hingga proses aktivasi sampai pengaduan keluhan menjadi tanggung jawab operator.
Sebaliknya, operator menyalahkan penyedia konten jika ada fitur yang menjebak hingga berujung pada pemotongan pulsa. "Kami putus kontrak jika ada perusahaan konten yang begitu," kata Hasnul Suhaimi, Presiden Direktur PT XL Axiata Tbk, penerbit nomor XL. Menurut dia, dari 100 penyedia konten yang jadi rekanan XL sejak 2001, 20 sudah dipecat.
Jawaban Telkomsel segendang sepenarian. Tapi, menurut Hasnul, kadang kala pelanggan lupa telah meregistrasi fitur tertentu, sehingga, ketika mengadu, mereka tak bisa berkutik saat ditunjukkan bukti pendaftaran.
Di nomor Telkomsel, menurut Ricardo Indra, fasilitas unreg lebih mudah ketimbang reg untuk SMS tawaran berlangganan fitur tertentu. "Reg itu harus dua kali, sementara unreg hanya sekali klik," katanya. "Filter lainnya, kami menyeleksi ketat penyedia kontennya."
Masalahnya bukan soal reg dan unreg. Menurut Sularsi, operator secara sepihak menawarkan konten yang tak diminta atau diminati pelanggannya. SMS begitu saja masuk ke telepon. Sudah begitu, dipotong pulsa pula. "Ada yang usul praktek ini disebut perampokan pulsa," kata Sularsi.
Bagja Hidayat, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo