Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bongkrek Sedap, Ada Racunnya

Tempe bongkrek masih diperdagangkan, sekalipun sudah banyak korban, ampas tahu bernilai tinggi kalau dibuat tempe bongkrek dibandingkan sebagai makanan ternak. Dicari cara mengurangi racun bongkrek. (ksh)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Temurejo yang terpencil 50 km di selatan Banyuwangi, Jawa Timur, pernah menjadi geger karena warganya yang bernama Ribut Mbah libut, 55 tahun, kini meringkuk di penjara untuk selama tiga tahun, karena kematian 86 orang. Mbah Ribut orang biasa saja, miskin dan menghidupi keluarganya dengan jalan membuat tempe bongkrek. Dibuat dari ampas tahu campur ampas kelapa, tempe bongkrek di Banyuwangi dan sekitarnya berwarna putih dan lembek. Ini disebut juga tempe gembos. Sebenarnya tempe bongkrek bukan mata pencaharian utama Mbah Ribut. Di rumahnya ia membuat tahu dan tempe yang dibuat dari kedelai. Supaya ampas tahu tidak dibuang begitu saja, maka dibuatnya pula produksi sampingan tempe bongkrek. Profesi itu sudah 30 tahun dilakukannya, sampai awal 1977 diketahui 86 orang mati keracunan sesudah memakan tempe bongkrek produksi Mbah Ribut. Setelah Mbah Ribut ditangkap, para produsen lainnya menjadi kecut. "Bayangkan Mas, 86 orang mati. Siapa yang tak takut?" ujar Lasinem, teman seprofesi Mbah Ribut. Ampas tahu yang dibuang sayang itu kemudian mereka jual kepada peternak babi. Tapi harganya yang Rp 5 per-kg tidak memadai. Tangan mereka menjadi gatal kembali. Lasinem, misalnya, sejak tiga pekan lalu mulai mengadon lagi tempe bongkrek. Cuma sekarang ampas kelapa sama sekali tidak dipakainya sebagai bahan campuran. Air parit dulu digunakannya, sekarang tidak. Itu semua didorong kesadarannya supaya tempenya jangan membawa korban baru. Satu kilogram ampas tahu, kalau dibuat tempe bongkrek, bisa menghasilkan 1 balok yang berharga sekarang Rp 150. "Kalau dijual dalam bentuk ampas, cuma Rp 5," ujar Lasinem. Para produsen seperti Lasinem ini muncul lagi secara berangsur. Namun kebersihan produk mereka masih belum terjamin. Di daerah endemis keracunan bongkrek yang lain, yaitu di Banyumas (Jawa Tengah), sikap yang sama juga muncul. Menyusul banyak peristiwa keracunan sejak tahun 1975, pernah pihak Rumah Sakit Umum Banyumas mengeluarkan peraturan bahwa pembuat tempe bongkrek harus menanggung biaya perawatan korban. Dengan peraturan itu, memang berkurang orang mati setelah memakan tempe bongkrek. Sekarang mulai ramai lagi orang Banyumas memperdagangkan makanan yang kabarnya gurih itu. Harganya juga murah dibandingkan makanan lain. Orang tidak kapok-kapoknya, sekalipun makanan itu tahun 1978 sempat merenggut 24 nyawa dari 503 orang yang keracunan di Banyumas. Dalam penelitian Purwo Arbianto PhD dari Departemen Kimia ITB, diketahui keracunan tempe bongkrek di Banyumas terjadi sejak 1895 dan 1901. Waktu itu tercatat 200 orang yang meninggal. Baru tahun 1933 sarjana Belanda Van Veen dan Martens menemukan bakteri sedomoas coccoveneans sebagai biangkeladi racun bongkrek. Campuran Kimia Peristiwa keracunan itu senantiasa berpindah di Jawa Tengah. Terkadang menonjol di Banyumas dan Purbalingga, bisa pula meningkat di Banjarnegara dan Cilacap. "Tetapi umumnya korban meningkat pada musim penghujan," kata Sarjanto SKM, seorang staf kantor Karesidenan Banyumas. Asam bongkrek yang membawa racun itu memang menjadi subur dalam cuaca yang lembab. Bagaimana menghindarkan penduduk dari keracunan bongkrek sudah sejak lama menjadi bahan pikiran para petugas kesehatan. Dalam Seminar Biokimia Nasional II di Yogyakarta Maret lalu umpamanya, soal itu muncul juga. Sabi kis, yang sedang menyelesaikan program doktornya di Departemen Kimia ITB dalam kesempatan itu mengemukakar daun cilincing atau belimbing sebaga bahan campuran bisa mengurangi ra cun tempe bongkrek. Tapi soalnya campuran dedaunan tadi membuat rasa jadi hambar dan sepat. Itulah makanya penduduk enggan mencampurkannya. Pada tahun 1960-an di Desa Pliken dan Ciberung (Banyumas) dalam sebuah proyek percontohan pernah dicobakan cara lain. Daun cilincing atau belimbing tidak langsung dicampurkan, melainkan ekstrak dan saripatinya saja yang dicampur dengan zat kimia tertentu. Rasa maupun warna tempe bongkrek tak berubah. Menurut Sarjanto SKM, pejabat dari Banyumas tadi, hasilnya memang memuaskan. Boleh dikatakan tak terjadi keracunan. Tapi campuran bahan kimia itu membuat harga tempe bongkrek menjadi mahal. Masih ditunggu cara termurah untuk melawan racun bongkrek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus