Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Obat Kuat, Tengkua Dan Jajak Walik

Wawancara tempo dengan direktur lembaga kependudukan ugm, masri singarimbun. tentang cara lembaga tersebut memecahkan masalah kependudukan, hubungan kampanye kb, kampanye obat kuat dan kb tradisional.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASRI Singarimbun, direktur Lembaga Kependudukan UGM Yogya, telah mempublikasikan 23 karangan ilmiah dalam bahasa Inggeris dan Indonesia, terutama tentang masalah kependudukan. Selama 5 tahun sejak 1968 ia menjadi anggota grup riset Departemen Kependudukan Universitas Nasional Australia. Ia lahir di desa Tiganderket, Kabanjahe (24 kilometer dari Brastagi) kabupaten Karo, Sumatera Utara tanggal 18 Juni 1931. Gelar doktornya ia peroleh dari Departemen Antropologi dan Sosiologi Universitas Nasional Australia (1966) dengan disertasi Kinship. Descent and Alliance among the Karo Batak. Di bawah ini hasil rekaman wawancaranya dengan Zulkifly Lubis: Tanya: Kampanye KB selama ini tampaknya sudah mulai jenuh. Jawab: Bukan begitu. Tapi pendekatannya memang kurang halus, sedang frekwensinya memang cukup tinggi dan temanya pun tetap yang itu-itu juga. Saya sendiri cenderung mengatakan: kampanye KB bukannya jenuh melainkan pendekatannyalah yang harus diperbaiki. Kwalitas penerangan, dan juga kwalitas para petugas KB memang masih perlu diperbaiki, sebab memang terasa kurang sistematis dan terbuka. Selama ini kita kan ngebut, sehingga ada saja kelemahan-kelemahan itu. Dalam hal ini agak sukar saya menerangkannya. Tapi saya dengar sudah akan ada perbaikan-perbaikan. BKKBN sendiri sudah akan mengembangkan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Lalu bagaimana pelaksanaannya nanti, saya sendiri juga belum tahu. T: Sejauh mana cara-cara KB yang tradisionil mendapat perhatian? J: Cara-cara seperti itu memang sudah lama dikenal dalam masyarakat tradisionil kita. Dan pemanfaatan dukun memang sudah banyak difikirkan. Cuma dalam penelitian tentang apa yang disebut cara jajak walik misalnya kami menyangsikan kemanjurannya. Mereka memang sudah mengenal konsep KB itu sendiri, yaitu keinginan mengurangi jumlah anak, menjarangkan kelahiran. Mereka juga mengenal cara bersanggama terputus atau pantang berkumpul dengan isteri selama 2 tahun yang kami ketahui dari penelitian di Sumatera Utara. Sistem Pijit T: Mengapa sasaran KB lebih banyak pada para ibu? J: Baik suami maupun isteri seharusnya sama-sama bertanggungjawab. Memang banyak terdengar suara-suara yang menyatakan bahwa bapak-bapak kurang bertanggungjawab sementara sasaran KB agak lebih ditekankan pada kaum ibu. Mestinya kedua duanya jadi sasaran, kedua-duanya sama-sama bertanggungjawab, jadi seimbang. Tapi tidak benar kalau dikatakan bapak-bapak kurang bertanggung jawab . Sanggama terputus, pantang berkumpul selama 2 tahun, vasektomi menunjukkan bahwa banyak suami yang lebih insyaf. Banyak pula suami yang tak tega melihat isterinya mengandung melulu. Untuk menjadi akseptor KB, tak sedikit pula para suami yang memalsu tanda-tangan isterinya. Sebab kalau dibilang dulu, khawatir isterinya tidak setuju. T: Bagaimana dengan abortus? J: Itu hal yang sensitif. Jangankan abortus, sterilisasi saja masih banyak yang belum bisa menerima. Juga belum masuk sebagai program KB. Tapi kalau kita masuk ke desa-desa, pengguguran sebenarnya bukan barang baru. Dalam penelitian di Sumatera Utara saya terkejut -- ada desa di mana para ibu menggugurkan sendiri kandungannya dengan tetumbuhan yang disebut tenkua. Umumnya abortus tradisionil itu dilakukan bukan karena sebab-sebab lain, tapi karena tak menginginkan tambahan anak lagi. Di Jawa juga dikenal cara pengguguran tradisionil, misalnya dengan sistem pijit (lebih mekanikal) dan di Karo Sumatera Utara dengan tengkua (lebih chemikal). Jadi hampir setiap masyarakat Indonesia sudah mengenal cara-cara pengguguran, Baca saja buku-buku antropologl terbitan lama. Dalam hal ini saya melihatnya dari sudut ilmiah --saya sendiri tidak pro abortus. Apakah kelak masyarakat kita bisa menerima, entahlah. Yang jelas, untuk taraf sekarang, hal itu masih sangat sensitif. Monumen Sorong T: Sementara kita menggalakkan KB, banyak juga yang mengkampanyekan obat kuat. Bagaimana ini? J: Saya yakin, kampanye obat kuat tidak berpengaruh terhadap KB. Pengaruh obat kuatnya sendiri, sebenarnya kan lebih bersifat psikologis dari pada benar-benar manjur. Kalau manjur betul -- misalnya dengan obat kuat itu lantas frekwensi hubungan dan kemampuan seks meningkat -- itu juga tidak mempengaruhi berkurangnya orang ber-KB. Ada teori begini: semakin tinggi frekwensi hubungan seks, tingkat kesuburan akan menurun. Kalau frekwensi hubungan seks tinggi, maka jumlah mani yang dipancarkan pun semakin sedikit, hingga kemungkinan hamil pun sedikit pula. T: KB mestinya hanya untuk daerah padat penduduk. Tapi mengapa sampai Sorong, Irian Jaya, yang tentunya tak begitu padat bahkan begitu sukses menggalakkan KB hingga perlu mendirikan monumen? J: Saya sendiri juga terkejut membaca berita tentang monumen itu. Menghubungkan KB dengan masalah kepadatan penduduk, sebenarnya kurang tepat. Selama ini memang sering didengungkan bahwa pembangunan ada hubungannya dengan penduduk yang tidak merata. Ini tidak tepat. Mana ada negara di dunia ini yang penduduknya merata? Tapi dalam hal KB, di mana saja perlu. Tentu saja pelaksanaanya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah. Karena itu konsep KB seharusnya lebih ditekankan pada pendekatan membentuk keluarga kecil, keluarga sejahtera. T: Mengapa pelaksanaan KB tidak disatukan saja dengan pelayanan kesehatan masyarakat dan tidak ditangani oleh Departemen Kesehatan? Ada sementara pendapat, bahwa dipisahkannya BKKBN dari Depkes antara lain untuk memungkinkan tersalurnya bantuan swasta asing dalam program KB. J: Itu tidak benar. Dari segi organisasi, saya kira ini lebih baik. Sebab kalau melekat pada Depkes maka akan timbul kecenderungan berfikir seolah KB hanyalah semata-mata soal medis belaka. Sasarannya pun jadi menyempit. Padahal masalahnya sosiologis. Lagi pula jumlah dokter di negeri kita ini kan relatif masih sedikit, apalagi juga masih ada jarak sosial antara dokter-dokter dengan masyarakat lapisan bawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus