MASRI Singarimbun, direktur Lembaga Kependudukan UGM Yogya,
telah mempublikasikan 23 karangan ilmiah dalam bahasa Inggeris
dan Indonesia, terutama tentang masalah kependudukan. Selama 5
tahun sejak 1968 ia menjadi anggota grup riset Departemen
Kependudukan Universitas Nasional Australia. Ia lahir di desa
Tiganderket, Kabanjahe (24 kilometer dari Brastagi) kabupaten
Karo, Sumatera Utara tanggal 18 Juni 1931. Gelar doktornya ia
peroleh dari Departemen Antropologi dan Sosiologi Universitas
Nasional Australia (1966) dengan disertasi Kinship. Descent and
Alliance among the Karo Batak. Di bawah ini hasil rekaman
wawancaranya dengan Zulkifly Lubis:
Tanya: Kampanye KB selama ini tampaknya sudah mulai jenuh.
Jawab: Bukan begitu. Tapi pendekatannya memang kurang halus,
sedang frekwensinya memang cukup tinggi dan temanya pun tetap
yang itu-itu juga. Saya sendiri cenderung mengatakan: kampanye
KB bukannya jenuh melainkan pendekatannyalah yang harus
diperbaiki. Kwalitas penerangan, dan juga kwalitas para petugas
KB memang masih perlu diperbaiki, sebab memang terasa kurang
sistematis dan terbuka. Selama ini kita kan ngebut, sehingga ada
saja kelemahan-kelemahan itu. Dalam hal ini agak sukar saya
menerangkannya. Tapi saya dengar sudah akan ada
perbaikan-perbaikan. BKKBN sendiri sudah akan mengembangkan
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Lalu bagaimana
pelaksanaannya nanti, saya sendiri juga belum tahu.
T: Sejauh mana cara-cara KB yang tradisionil mendapat perhatian?
J: Cara-cara seperti itu memang sudah lama dikenal dalam
masyarakat tradisionil kita. Dan pemanfaatan dukun memang sudah
banyak difikirkan. Cuma dalam penelitian tentang apa yang
disebut cara jajak walik misalnya kami menyangsikan
kemanjurannya. Mereka memang sudah mengenal konsep KB itu
sendiri, yaitu keinginan mengurangi jumlah anak, menjarangkan
kelahiran. Mereka juga mengenal cara bersanggama terputus atau
pantang berkumpul dengan isteri selama 2 tahun yang kami ketahui
dari penelitian di Sumatera Utara.
Sistem Pijit
T: Mengapa sasaran KB lebih banyak pada para ibu?
J: Baik suami maupun isteri seharusnya sama-sama
bertanggungjawab. Memang banyak terdengar suara-suara yang
menyatakan bahwa bapak-bapak kurang bertanggungjawab sementara
sasaran KB agak lebih ditekankan pada kaum ibu. Mestinya kedua
duanya jadi sasaran, kedua-duanya sama-sama bertanggungjawab,
jadi seimbang. Tapi tidak benar kalau dikatakan bapak-bapak
kurang bertanggung jawab . Sanggama terputus, pantang berkumpul
selama 2 tahun, vasektomi menunjukkan bahwa banyak suami yang
lebih insyaf. Banyak pula suami yang tak tega melihat isterinya
mengandung melulu. Untuk menjadi akseptor KB, tak sedikit pula
para suami yang memalsu tanda-tangan isterinya. Sebab kalau
dibilang dulu, khawatir isterinya tidak setuju.
T: Bagaimana dengan abortus?
J: Itu hal yang sensitif. Jangankan abortus, sterilisasi saja
masih banyak yang belum bisa menerima. Juga belum masuk sebagai
program KB. Tapi kalau kita masuk ke desa-desa, pengguguran
sebenarnya bukan barang baru. Dalam penelitian di Sumatera Utara
saya terkejut -- ada desa di mana para ibu menggugurkan
sendiri kandungannya dengan tetumbuhan yang disebut tenkua.
Umumnya abortus tradisionil itu dilakukan bukan karena
sebab-sebab lain, tapi karena tak menginginkan tambahan anak
lagi. Di Jawa juga dikenal cara pengguguran tradisionil,
misalnya dengan sistem pijit (lebih mekanikal) dan di Karo
Sumatera Utara dengan tengkua (lebih chemikal). Jadi hampir
setiap masyarakat Indonesia sudah mengenal cara-cara
pengguguran, Baca saja buku-buku antropologl terbitan lama.
Dalam hal ini saya melihatnya dari sudut ilmiah --saya sendiri
tidak pro abortus. Apakah kelak masyarakat kita bisa menerima,
entahlah. Yang jelas, untuk taraf sekarang, hal itu masih sangat
sensitif.
Monumen Sorong
T: Sementara kita menggalakkan KB, banyak juga yang
mengkampanyekan obat kuat. Bagaimana ini?
J: Saya yakin, kampanye obat kuat tidak berpengaruh terhadap KB.
Pengaruh obat kuatnya sendiri, sebenarnya kan lebih bersifat
psikologis dari pada benar-benar manjur. Kalau manjur betul --
misalnya dengan obat kuat itu lantas frekwensi hubungan dan
kemampuan seks meningkat -- itu juga tidak mempengaruhi
berkurangnya orang ber-KB. Ada teori begini: semakin tinggi
frekwensi hubungan seks, tingkat kesuburan akan menurun. Kalau
frekwensi hubungan seks tinggi, maka jumlah mani yang
dipancarkan pun semakin sedikit, hingga kemungkinan hamil pun
sedikit pula.
T: KB mestinya hanya untuk daerah padat penduduk. Tapi mengapa
sampai Sorong, Irian Jaya, yang tentunya tak begitu padat bahkan
begitu sukses menggalakkan KB hingga perlu mendirikan monumen?
J: Saya sendiri juga terkejut membaca berita tentang monumen
itu. Menghubungkan KB dengan masalah kepadatan penduduk,
sebenarnya kurang tepat. Selama ini memang sering didengungkan
bahwa pembangunan ada hubungannya dengan penduduk yang tidak
merata. Ini tidak tepat. Mana ada negara di dunia ini yang
penduduknya merata? Tapi dalam hal KB, di mana saja perlu. Tentu
saja pelaksanaanya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masing-masing daerah. Karena itu konsep KB seharusnya lebih
ditekankan pada pendekatan membentuk keluarga kecil, keluarga
sejahtera.
T: Mengapa pelaksanaan KB tidak disatukan saja dengan pelayanan
kesehatan masyarakat dan tidak ditangani oleh Departemen
Kesehatan? Ada sementara pendapat, bahwa dipisahkannya BKKBN
dari Depkes antara lain untuk memungkinkan tersalurnya bantuan
swasta asing dalam program KB.
J: Itu tidak benar. Dari segi organisasi, saya kira ini lebih
baik. Sebab kalau melekat pada Depkes maka akan timbul
kecenderungan berfikir seolah KB hanyalah semata-mata soal medis
belaka. Sasarannya pun jadi menyempit. Padahal masalahnya
sosiologis. Lagi pula jumlah dokter di negeri kita ini kan
relatif masih sedikit, apalagi juga masih ada jarak sosial
antara dokter-dokter dengan masyarakat lapisan bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini