Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIBUR panjang perayaan Waisak tiga pekan silam benar-benar menidurkan Jakarta. Sejak petang jalan terlihat lengang. Malam hanya menyisakan kelam. Tak banyak terlihat anak muda nongkrong di tempat hiburan. ”Mungkin mereka sudah pergi weekend ke luar kota,” kata seorang penjaga klub musik. Hawa Jakarta yang basah dan penyejuk udara di dalam klub di kawasan Taman Ria Senayan, Jakarta Selatan, itu membuat dingin terasa kian menggigit.
Toh, the show must go on. Tepat tengah malam, dari sebuah kendaraan mewah keluar sesosok pria muda menenteng tas. Penampilannya tak berbeda dengan pengunjung klub. Mengenakan kaus panjang, celana jins, dan kaki dibalut sepatu kets. Dandanannya amat santai. Wajahnya segar meski malam sudah beranjak tua.
Pria muda itu adalah Ai. Nama lengkapnya Aditya Tumbuan. Usianya masih 34 tahun. Para pencinta malam lebih mengenalnya sebagai disc jockey, disingkat DJ alias dijey Ai. Malam itu saatnya Ai manggung di klub tersebut. Tas berbentuk kotak terbuat dari bahan parasut menjadi bekalnya. Di situ tersimpan berbagai cakram digital dan piringan hitam berisi lagu yang sudah dipilih untuk dimainkannya. Sejenak Ai bertukar sapa dengan beberapa kolega dan pengunjung klub. Wangi parfum terasa segar meruap di udara.
Sebagai disc jockey alias peramu musik elektronik, Ai merupakan penentu kesemarakan dan hidupnya suasana di lantai dansa. Mulai tengah malam hingga klub tutup pada pukul 5 pagi, suami Aline—model papan atas—itu akan menggempur telinga pengunjung dengan musik-musik house-nya. ”Kalau musiknya basi (kurang mengena), mana enak?” kata salah seorang pengunjung.
Tidak berlebihan bila DJ sering disebut ”dewa” di lantai dansa. Hidup dan matinya suasana bergantung pada kepiawaian sang DJ memutar lagu pilihan. Salah putar akan membuat gairah melempem. Sebaliknya, ramuan yang pas dari turntable-nya akan membuat para penggemar pesta seperti tak pernah kehabisan tenaga.
DJ berkelas seperti Ai hanya muncul pada akhir pekan. Mereka biasanya bermain di klub musik papan atas di kawasan Jakarta Selatan seperti Dragon Fly, Blowfish, dan Embassy. Pada hari lain, yakni Rabu dan Kamis, pengelola biasanya memasang residence DJ atau peramu musik tetap di klubnya.
Tengoklah DJ Riri, yang punya nama lengkap Riri Mestika, 33 tahun. Namanya tak cuma beredar di berbagai klub musik Jakarta, tapi juga di kota lain. Dia sering pulang-balik Jakarta-Bali hanya untuk meramu musik di klub dansa. Undangan juga datang dari berbagai kota seperti Malang, Yogyakarta, bahkan Pekalongan.
Jam terbang dan pengalamanlah yang mengantar mereka ke taraf seperti itu. Selain Ai dan Riri, bergabung pula nama seperti Rommy atau Naro dalam kategori DJ masyhur di negeri ini. Ada pula Electric Barbarellas, duet DJ cewek Devina dan Milinka, yang sedang naik daun. Mereka menjadi penopang sekaligus penikmat berkah industri musik ajep-ajep ini.
Kehidupan malam memang ajaib. Perputaran uang di bisnis ini segera pulih setelah ditampar krisis ekonomi sepuluh tahun silam. Sejak 2001 bahkan bermunculan klub dansa baru dengan kemasan yang berbeda-beda. Memang tak sedikit yang rontok di tengah jalan, tapi banyak pula yang menuai hasil.
Sempat muncul pula tren rave party, acara dansa-dansi lengkap dengan DJ yang digelar di tempat terbuka, biasanya di tepi pantai. ”Sekarang sih suasananya kurang kondusif untuk out door party seperti itu,” kata Riri. Tapi, di klub-klub, dentum musik dan kerlap-kerlip cahaya lampu tak pernah mati.
Kondisi ini memercikkan rezeki bagi para peramu musik elektronik. Berbagai acara pesta digelar. Nama ratusan DJ tertera di majalah gratis, selebaran, dan media promosi lainnya. Berbagai situs pun muncul memajang profil mereka, lengkap dengan tarif saat manggung. ”Sekarang orang yang pernah ngedijey sekali saja sudah bisa menyatakan dirinya sebagai DJ,” kata Riri, yang dikenal dengan warna dark, percussive, melodic, up-lifting, dan techno-ist itu.
Menjadi DJ memang nikmat. ”Salah satunya, punya banyak teman model,” kata Ai sambil tergelak. Tak mengherankan bila banyak anak muda tertarik ingin menjadi DJ. Dan sekolah DJ bermunculan di mana-mana.
Salah satu anak muda yang tergiur menjadi DJ adalah Ari. Sebelumnya ia bekerja sebagai desainer grafis di sebuah penerbitan. Tapi, karena hobi, dan bakatnya oke, dia akhirnya banting setir menjadi DJ dan kini sering manggung di klub papan atas Jakarta.
Tarif para DJ tamu ini tidak murah. Jumlah bayaran yang mereka terima jelas berbeda dengan DJ tetap. Soal jumlahnya, Riri hanya menyebut angka Rp 2 juta hingga Rp 10 juta sekali manggung.
Bisik-bisik di kalangan DJ menyebut Riri, bersama beberapa nama lainnya, tergolong bertarif mahal. Bayaran yang dia terima mendekati ujung kanan dari kisaran angka yang disebutnya. ”Nggak, kok. Biasa juga tuh penyelenggara menyebut angka yang gede-gede,” katanya diplomatis.
Bagi Riri dan DJ lain, main di berbagai klub atau event merupakan upaya memelihara nama yang sudah dikenal publik. ”Dengan tetap bermain, orang melihat diri saya tetap eksis,” ujarnya. Mungkin terkait dengan itu, beberapa waktu lalu Riri memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) dengan ngedijey non-stop 29 jam di 9 klub dan berakhir di Pantai Karnaval, Ancol.
Bila tak sedang ngedijey, mereka punya kegiatan lain. Kebanyakan berupa bisnis. Ai, misalnya, sehari-harinya mengurusi restoran keluarga plus perusahaan event organizer miliknya. Adapun Riri sibuk dengan Spinach—perusahaan rekaman, toko yang menjual alat untuk ngedijey, plus sekolah disc jockey—yang didirikannya empat tahun silam. Hal serupa dilakukan DJ Rommy dengan perusahaannya 1945 MF.
Pada hari-hari itu mereka tak ubahnya manusia Jakarta lainnya. Bangun pagi, berkemas ke kantor, dan malamnya sudah ada di rumah bersama keluarga. Sesekali juga berolahraga bersama teman-temannya. ”Saya suka futsal,” kata Riri.
Pada Senin siang pekan silam, misalnya, Riri sibuk mengurusi perusahaannya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Malam harinya, dia masuk studio. Seperti DJ papan atas lainnya di luar dan di dalam negeri, ia sudah membuat album sendiri. Terakhir, sebulan silam, ia merilis album indie Keluar Malam yang telah laku 12 ribu kopi. Adapun Ai menelurkan album kompilasi yang diberi judul Moonchild-Destination: Ibiza.
Lewat sekolah disc jockey-nya, Riri kini menyiapkan penerus. ”Sekarang ada 13 DJ yang sudah sering main bersama saya,” katanya. Nah, itu baru dari sekolah DJ milik Riri. Belum lagi dari sekolah DJ lain yang bertebaran di seantero Jakarta. Para calon ”dewa” itu akan membuat lantai dansa tak pernah sepi.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo