Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari atas tiang setinggi hampir 4 meter, tubuh itu merangkak ringan menuju ke bawah. Cara merangkak turun vertikal dengan kepala lebih dulu. Sosok itu bergerak turun perlahan, ringan, namun penuh perhitungan. Mengingatkan kita pada adegan Gollum mendekati Frodo dari atas tebing dalam film Lord of the Rings II.
Pada aksi lainnya, laki-laki ini melenting dengan seutas tali elastis dan kuat yang terikat pada harness duduknya (sabuk pengaman yang diikatkan di pinggang dengan dua ikatan lain untuk bagian paha). Badannya naik-turun dengan ringan, menempel di bagian atas tiang, lalu turun dengan seketika menempel di bagian bawah tiang. Ia melakukan itu terus-menerus, berulang kali, macam permainan yoyo.
Pria ini bernama Eric Lecomte, pemain sirkus kontemporer, yang didatangkan Centre Culturel Francais. Eric memperlihatkan aksinya di arena luar amfiteater Erasmus Huis Jakarta, Rabu pekan lalu. Satu pertunjukan campuran antara akrobat, sirkus, tari, dan panjat dinding. Hasilnya sebuah pertunjukan yang memperlihatkan kekuatan otot, keseimbangan yang luar biasa, sekaligus sebuah estetika pertunjukan luar ruang yang memikat.
Menurut Eric, konsep dasar dari pertunjukannya yang berjudul 9.81 (Hukum Newton) ini adalah melawan gravitasi. Banyak mitologi mengisahkan manusia sering berangan-angan untuk bisa lepas dari jerat hukum gravitasi seperti burung. Maka ia membayangkan manusia dan aneka hewan bisa melayang di udara.
Maka dalam atraksinya dia membuat dirinya bak cacing: mulanya merambat di tanah, menggeliat, dan kemudian bak cicak menelusur, merambat ke atas. Akhirnya, bagai burung terbang, Eric berputar seperti pendulum mengitari tiang. Berputar-putar jungkir balik seperti dalam adegan film Matrix. Ia menggunakan seutas tali kernmantel sebagai alat bantu untuk terbang. ”Makanya saya suka menyebut pertunjukan saya sebagai sirkus melayang,” katanya.
Eric, yang juga mantan guru olahraga tingkat SMA, tak lupa menyelipkan adegan bagaimana Sir Isaac Newton menemukan hukum gravitasi. Di atas tiang itu ia gantungkan sebuah rumah-rumahan berbentuk segi tiga. Papan rumah-rumahan itu berlubang-lubang. Di atas ketinggian, Eric menjulurkan kaki, tangan, dan kepalanya keluar-masuk lubang-lubang itu. Menelusup-nelusup dari lubang satu ke lubang lain, mengeksplorasi aneka gerak, seraya kemudian menjatuhkan sebuah bulatan mirip buah apel ke tanah.
”Basic saya sebagai pemanjat banyak memberi manfaat,” katanya. Melihatnya bergelantungan di udara dengan hanya mengandalkan kekuatan kedua tangannya memang membuat kita membayangkan kemampuan pemanjat profesional yang naik ke atas bertumpu pada kekukuhan tangan mencengkeram tonjolan-tonjolan dinding atau bongkahan-bongkahan cadas. Bedanya, saat memanjat, Eric tak ingin begitu ribet dengan aneka alat pengaman pemanjat. Menurut dia, jika terlalu memperhitungkan hal itu, ekspresinya malah kaku.
Eric mendalami profesi artis sirkus sejak 15 tahun silam. Pertunjukan Eric ini mengingatkan kita pada pertunjukan Jean-Baptiste Andre, seniman sirkus lain dari Prancis, yang pernah manggung di Jakarta setahun silam. Di Gedung Kesenian saat itu, dengan memanfaatkan bantuan kamera video, Andre bisa menampilkan tubuhnya seolah merayap di dinding. Bedanya dengan Andre, atraksi Eric lebih menjurus ke tontonan seni akrobat rakyat tanpa special effect yang berlebihan.
Tapi yang sama dari keduanya adalah mereka memiliki imajinasi: melawan hukum gravitasi, melawan Newton. Apa yang disuguhkan Eric ini menjadikan tontonan panjat dinding lebih estetis.
Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo