Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon genggam Ali Mazi berdering. Sebuah nomor milik Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Aksa Mahmud terlihat menyala pada Selasa pekan lalu. ”Kudengar kau bebas, ya?” terdengar suara Aksa di telepon. ”Ya, Bang, alhamdulillah,” jawab Ali Mazi.
Aksa yang mendengar berita putusan hakim dari radio itu juga mengaku senang. ”Selamat. Rupanya masih ada keadilan di negeri ini. Jangan lupa sujud syukur. Baca juga Yasin 41 kali,” kata Aksa menasihati. ”Ya, Bang, terima kasih,” jawab gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara itu.
Hari itu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang baru memutus Pontjo Nugro Susilo atau Pontjo Sutowo, pemilik Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) dan Ali Mazi, mantan kuasa hukumnya, bebas murni. Setelah hampir tujuh bulan persidangan, keduanya dinyatakan tak terbukti curang dalam memperpanjang hak guna bangunan lahan Hilton di Senayan yang diterbitkan ulang pada 13 Juni 2002. Namun tim jaksa langsung menyatakan banding.
Kisah perpanjangan hak tanah itu memang penuh liku. Menurut cerita jaksa, hak atas 13 hektare lahan hotel tersebut—yang mengambil sebagian dari tanah milik Gelora Bung Karno di Senayan—sebenarnya tak bisa diperpanjang lagi. Sebab, per 19 Agustus 1989, Badan Pertanahan telah menerbitkan sertifikat hak pengelolaan nomor 1/Gelora atas nama Sekretariat Negara.
Sertifikat terbit karena berdasar Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1984, tanah dan bangunan di Senayan—yang pada 1962 dibangun untuk Asian Games IV—milik negara dan dikelola Sekretariat Negara. Sebelumnya, tanah 320 hektare itu diurus Pemda DKI Jakarta.
Keluarga Ibnu Sutowo, lewat PT Indobuildco, memperoleh tanah tersebut pada 1971. Saat itu Gubernur Ali Sadikin menyetujui melepas 13 hektare tanah untuk dibangun hotel dalam rangka Konferensi Pariwisata Asia Pasifik. Tanah itu berasal dari pecahan sertifikat hak guna bangunan nomor 20/Gelora pada 1973. Dalam persidangan, Ali Sadikin mengaku menyesal melepas tanah negara ini. ”Saya pikir hotel itu milik Pertamina, ternyata dimiliki perusahaan keluarga,” kata Bang Ali.
Karena sebagian lahan Senayan dimiliki orang lain itulah, Gubernur Jakarta Soeprapto kemudian menerbitkan keputusan pada 1984, yang menyatakan tanah tersebut baru dikembalikan ke Sekretariat Negara setelah HGB mereka habis pada 4 Maret 2003.
Pada 1989, Kepala BPN Soni Harsono juga menerbitkan ketentuan yang menyatakan beberapa bidang tanah dengan HGB dan hak pakai yang belum berakhir di Senayan akan beralih menjadi hak pengelolaan pada saat berakhirnya hak tersebut. Hak itu diberikan dengan keputusan menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dalam kasus Senayan, menteri itu adalah Menteri Sekretaris Negara.
Nah, Ali Mazi, kuasa hukum Indobuildco, mengajukan perpanjangan HGB ke Badan Pertanahan Jakarta Pusat pada 1999. Ia mengajukan permohonan persetujuan perpanjangan hak kepada Menteri Sekretaris Negara Muladi, yang juga Ketua Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS).
Dalam suratnya, pengacara kelahiran Buton ini menyatakan Indobuildco menyanggupi membayar uang pemasukan ke kas BPGS sebesar 2 persen dari nilai jual obyek pajak per meternya. Saat itu harga tanah di Senayan sekitar Rp 13 juta. Alhasil, setoran itu cuma Rp 260 ribu per meter. Jika dibagi 30 tahun masa hak guna bangunan, sewa per tahun sekitar Rp 8.600 atau cuma Rp 35 per hari.
Erman Radjagukguk, Wakil Sekretaris Kabinet, mengusulkan peningkatan uang sewa. ”Masak, sewa tanah semurah itu. Buat ongkos parkir di Hilton saja tak cukup,” kata Erman kepada Muladi. Karena masukan itu, Muladi memilih memblokir surat yang sudah ia teken.
Namun, tatkala Sekretaris Negara dijabat Ali Rahman, pada 8 November 1999 Ali Mazi bersedia menaikkan harga sewa menjadi 2,5 persen dari nilai jual obyek pajak, sembari meminta surat rekomendasi yang sudah ditandatangani Muladi. Ali Rahman memerintahkan stafnya mengirim tembusan surat rekomendasi Muladi, dengan dibubuhi tanggal dan stempel resmi. Kiriman surat itu dibalas Ali Mazi dengan ”ucapan terima kasih”, yakni surat balasan berisi kesanggupan bayar 3 persen dari nilai jual tanah per meternya.
Tembusan rekomendasi Muladi itulah yang dilampirkan dalam permohonan perpanjangan HGB nomor 26 dan 27 ke Badan Pertanahan Jakarta Pusat, yang saat itu dipimpin Ronny Kusuma Judistiro. Ronny memberikan rekomendasi agar diberi perpanjangan HGB bermasa 20 tahun dengan perhitungan harga dasar tanah Rp 13,1 juta per meter.
Di sini jaksa menuduh Ronny bertindak lancang. Sebab, rekomendasi perpanjangan itu diberikan tanpa ada kerja sama antara Indobuildco dan BPGS. Surat Ronny kemudian tertahan di Badan Pertanahan Jakarta. Alasannya, berkas belum lengkap. Namun, ketika menjabat Kepala Badan Pertanahan Jakarta, Robert Jefrey Lumempouw menerbitkan keputusan yang memperpanjang HGB Indobuildco.
Tindakan Robert rupanya baru ketahuan Kepala BPN Lutfie Nasution setengah tahun kemudian. Pada 2003, Lutfie memerintahkan Robert menarik dua hak guna bangunan tersebut dan mencatat kembali di atas hak Sekretariat Negara. Robert juga diminta memasukkan perjanjian di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagai warkah atas hak tanah Indobuilco.
Namun Robert dan Ronny hanya bisa memenuhi satu perintah Kepala BPN, yakni melampirkan perjanjian kesepahaman antara BPGS dan Indobuildco. Yasidi Hambali atas nama Direksi BPGS pun mengundang Pontjo untuk membicarakan perjanjian tanah pada Agustus 2004. Pontjo tak menanggapi. Revisi atas hak guna bangunan itu pun tak pernah terjadi.
Menurut Ali Mazi, ketentuan yang mengharuskan kerja sama itu bukanlah undang-undang. ”Itu hanya keputusan penguasa atau freis ermessen,” katanya. Sehingga tak ada pelanggaran yang dilakukan Indobuildco dan dirinya. ”Kalaupun ada sanksi, bukan pidana, tapi sanksi administrasi biasa,” ujarnya. Lagi pula tanah di lokasi hotel tetap milik negara. ”Kita kan hanya meminta izin untuk membuat bangunan,” ujarnya.
Namun jaksa berkukuh bahwa penerbitan hak Indobuildco telah merampas tanah negara. Mereka menghitung kerugian negara mencapai Rp 1,9 triliun berdasarkan nilai jual obyek pajak pada 2003 sebesar Rp 14,095 juta dikalikan 137.375 meter persegi tanah yang dikuasai Indobuilco.
Menurut majelis hakim, jaksa sama sekali tak mengungkapkan apa yang menyebabkan Ronny dan Robert, yang kini juga diadili, menerbitkan hak Indobuildco. ”Dalam dakwaan tak disebut. Di persidangan juga tak diungkap,” kata Heru Pramono, salah seorang anggota majelis. Karena tak menemukan alasan itu, hakim membebaskan Pontjo dan Ali Mazi.
Partai Golkar menyambut gembira bebasnya Pontjo dan Ali Mazi. ”Kita wajib membantu kader dari sisi hukum,” kata Syamsul Muarif, Ketua Bidang Organisasi, Kader, dan Keanggotaan Golkar. Pontjo adalah mantan wakil bendahara Partai Golkar, sedangkan Ali Mazi adalah ketua dewan pimpinan daerah di Sulawesi Tenggara. Bentuk bantuan itu, antara lain, dengan menunjuk pengacara. ”Secara politik, kita akan meminta Menteri Dalam Negeri agar mengaktifkan kembali Ali Mazi,” ucap Syamsul.
Adapun Aksa—yang juga kakak ipar Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla—mengaku ikut membantu Ali dan Pontjo. ”Saya bantu karena kasus mereka bikin takut para investor. Masak, orang sudah investasi bisa dicabut haknya,” kata Aksa. Tapi bantuannya, menurut Aksa, sebatas bicara di radio. Menurut para koleganya di Partai Golkar, kasus itu tak adil. ”Masak, Golkar cuma jadi kayu bakar. Jadi pendukung pemerintah tapi kadernya ditangkapi,” tuturnya.
Sumber Tempo di Kejaksaan Agung menyatakan, Partai Golkar telah campur tangan jauh di luar hukum. ”Buktinya, kedua orang itu tak pernah ditahan. Anda simpulkan sendiri,” ujarnya. Padahal dalam perkara lain yang ditangani Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, semua tersangka ditahan, seperti kasus mantan Menteri Agama Said Husin al-Munawar atau Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe.
Menurut Ali Mukartono, jaksa penuntut kasus Pontjo, ia cuma mendapat perintah pelimpahan berkas dan barang bukti dari penyidik pada Juli 2006. Tanpa tersangka. ”Saya hanya melaksanakan sesuai dengan perintah,” ujarnya.
Arif A. Kuswardono, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo