Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ada tiga faktor yang mempengaruhi risiko kerusakan paru-paru pada pasien setelah terinfeksi COVID-19. Pertama, tingkat keparahan penyakit. Apakah pasien mengalami gejala ringan, sedang, atau berat ketika terinfeksi. Pasien dengan gejala ringan cenderung lebih jarang memiliki cedera/parut yang bertahan lama di jaringan paru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua, kondisi kesehatan. Apakah pasien memiliki komorbid seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau penyakit jantung yang dapat meningkatkan risiko penyakit bertambah parah. Orang yang berusia lanjut juga lebih rentan mengalami kasus COVID-19 yang parah. Hal ini terkait dengan jaringan paru yang sudah mengalami penuaan (degeneratif) sehingga kondisinya lebih tidak fleksibel jika dibandingkan dengan jaringan paru pada yang berusia lebih muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga, tindakan pengobatan. Pemulihan pasien dan kesehatan paru-paru jangka panjang akan bergantung pada jenis perawatan apa yang didapatkan dan seberapa cepat pengobatan dilakukan. Pada pasien dengan gejala berat, perawatan yang tepat selama di rumah sakit dapat meminimalkan kerusakan paru-paru.
"Ada enam kelompok yang rentan terhadap postCOVID-19 syndrome, yaitu jenis kelamin perempuan, usia di atas 50 tahun, memiliki lebih dari lima gejala ketika terinfeksi, etnis kulit putih, mempunyai komorbid, dan obesitas," tutur Spesialis paru dan pernapasan, dr. Amira Anwar, Sp.P.
Biasanya, pasien dengan sindrom pernapasan pascaCOVID-19 diberi dua jenis terapi, yakni terapi farmakologis lewat obat-obatan yang diberikan sesuai gejala untuk mengurangi batuk dan sesak, juga diberi vitamin. Terapi kedua adalah nonfarmakologis, seperti rehabilitasi paru, terapi oksigen, psikoterapi, olahraga sesuai kemampuan, dan nutrisi.
"Karenanya, pasien sangat disarankan untuk berkonsultasi ke dokter dan melakukan evaluasi pada satu, tiga, dan enam bulan selepas dinyatakan sembuh dari COVID-19," katanya.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kerusakan paru-paru. Pertama, hindari kemungkinan terpapar virus dengan menerapkan 5M, yakni menjaga kebersihan tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Apalagi jika memiliki komorbid.
Pemilik komorbid sebaiknya sebisa mungkin mengelola dengan baik masalah kesehatan. Jaga kadar gula darah agar tetap terkontrol, rutin meminum obat apabila ada masalah jantung, dan lain sebagainya.
Kedua, jalani gaya hidup sehat dengan pola makan tepat dan konsumsi air yang cukup. Tetap konsumsi makanan bergizi seimbang untuk menjaga kesehatan tubuh dan imunitas secara keseluruhan. Hidrasi yang tepat dapat mempertahankan volume darah dan selaput lendir yang sehat dalam sistem pernapasan. Hal ini dapat membantu tubuh melawan infeksi dan kerusakan jaringan dengan lebih baik.
Selain itu, hindari merokok, rokok elektrik, atau paparan terhadap asap rokok dan polusi udara. Lakukan vaksinasi COVID-19 dan lengkapi hingga vaksin penguat untuk semakin memperkuat imunitas.
COVID-19 lebih banyak menyebabkan kelainan di paru. Bahkan, gejala yang dirasakan dapat menetap pada masa pascaCOVID-19. Virus penyebab COVID-19 juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ lain, yaitu jantung, ginjal, sistem saraf, dan kelainan pada darah. Pemulihannya bisa jadi tidak sebentar.
"Oleh karena itu, konsultasi setelah terinfeksi COVID-19 sangat diperlukan, terutama pada pasien-pasien yang memiliki komorbid, agar para penyintas COVID-19 dapat kembali pulih sepenuhnya dan melakukan aktivitasnya kembali seperti semula," imbaunya.