Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dokter-Pasien-Apoteker

Kemudahan izin membuka apotek, pengalihan jenis obat dari resep dokter ke "resep" apoteker harus jadi titik awal menyempurnakan hubungan dokter & apoteker dengan pasien sebagai titik temu.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI kisah yang benar-benar terjadi. Seorang penderita asma mendapat resep obat dari dokternya, berisikan bricasma inhaler, lalu puyer yang terdiri dari zaditen, ventolin, euphyllin, celestamin, ampiclox, luminal, ephedrin, dan beberapa unsur lainnya lagi sebagai "pelengkap". Untuk semua itu si pasien harus mengeluarkan uang sebesar lebih dari seratus ribu rupiah, untuk persediaan obat selama dua minggu. Kejadian ini merupakan contoh betapa dokter memang besar peranannya dalam menentukan besar kecilnya uang yang harus dikeluarkan oleh pasiennya untuk menebus obat meskipun dalam hal harga obat, bukan dokter, melainkan pabrik yang menentukan penetapan harga yang lebih didasarkan kepada perhitungan ekonomi itu. Bagi yang mengetahui obat-obatan, kejadian di atas juga menunjukkan betapa dokter tersebut telah mencampurkan bermacam jenis obat secara "irasional". Obat yang secara satu per satu memang diindikasikan untuk asma itu telah dicampurkan begitu saja tanpa memikirkan yang mana untuk mencegah, dan yang mana untuk mengatasi serangan. Tampaknya tidak pula dipikirkan kemungkinan terjadinya efek yang saling menghambat atau saling memperkuat. Harus diakui, kebiasaan menuliskan resep secara polifarmasi (berbagai obat sekali makan), masih banyak dijumpai di kalangan dokter kita. Banyak pula di antara mereka yang gemar berpolifarmasi ini yang menuliskannya tanpa memikirkan apakah indikasinya telah tepat dan apakah tidak ada efek gabungan yang mengganggu. Kebiasaan itu sebenarnya menunjukkan adanya perasaan kurang yakin pada diri dokter tersebut, yang mungkin didorong oleh keinginan pasien untuk segera memperoleh penyembuhan yang dramatis. Contoh di atas juga menunjukkan adanya dokter-dokter yang tilak terlalu peduli terhadap harga obat. Harga obat adalah urusan patien dan apotek. Apakah pasiennya akan sanggup menebusnya bukan pula menjadi concern-nya. Atau beranggapan bahwa berapa pun harganya, akan diganti oleh kantor tempat pasien itu bekerja. Ia tidak menyadari, seandainya pun demikian, penggunaan dana yang besar untuk seorang karyawan akan mengurangi cadangan dana untuk menolong karyawan lainnya karena anggaran yang disediakan majikan untuk dana pengganti pengobatan tentu ada batasnya. Memang tidak semua dokter berperilaku "tidak acuh" demikian. Tetapi peristiwa itu mengisyaratkan bahwa perlu ada mekanisme pengendali terhadap kemungkinan perilaku beberapa dokter yang tidak rasional dalam menuliskan resep. Juga dokter yang tidak peduli apakah cadangan uang pasiennya cukup atau tidak. Mekanisme kendali itu secara teoretis seharusnya dapat dilakukan oleh para apoteker yang melayani resep dokter di apoteknya. Tetapi contoh tadi menunjukkan bahwa mekanisme itu tidak berjalan. Apotek yang menerima resep tadi ternyata tanpa banyak pikir memberikan begitu saja segala yang ditulis oleh dokter. Ini pula membuat banyak orang melihat bahwa apotek adalah usaha dagang dan bukannya pelayanan profesi. Semakin banyak obat yang laku semakin baik. Apakah resep dokter itu rasional atau tidak, dan apakah gabungan berbagai obat dalam satu resep akan dapat menimbulkan efek yang merugikan atau tidak, mereka tidak peduli. Mungkin apotekernya tidak hadir di apotek ketika itu, sehingga tidak memperhatikan hal itu. Mungkin pula apotekernya hadir, tetapi menganggap tidak perlu meneliti setiap resep yang datang. Dalih yang dikemukakan biasanya adalah karena ada larangan untuk mengganti resep dokter. Mengganti atau mengubah mungkin tidak boleh, tetapi mengingatkan dokter, jika berdasarkan profesinya ia melihat kejanggalan, tentu menjadi haknya. Atau bahkan kewajibannya. Dokter toh bisa saja membuat kekeliruan dalam menulis resep. Mengingatkan jika ada kesalahan tentu akan menyelamatkan pasien dari akibat yang tidak diinginkan. Mekanisme check and recheck secara profesional itulah yang diharapkan akan terjadi dalam pengaturan yang mengharuskan obat tertentu hanya dapat dibeli di apotek. Bukan sekadar agar ada pembagian kapling rezeki antara kedua profesi tersebut. Anggapan bahwa apotek adalah usaha dagang, sementara praktek dokter dianggap pelayanan profesi yang bernafaskan sosial, ternyata cukup meluas di kalangan masyarakat. Sehingga ditabukan adanya praktek dokter yang berdekatan dengan apotek. Padahal jika apotek juga dianggap sebagai pelayanan profesi apoteker, kedekatan antara keduanya justru akan menguntungkan pasien. Selain pasien tidak perlu keluar biaya tambahan untuk pergi ke apotek, mekanisme check and recheck antara dokter dan apoteker akan berlangsung secara lebih baik. Hubungan profesional antara keduanya bisa berlangsung lebih bermutu. Begitu kerasnya anggapan bahwa apotek adalah usaha dagang sehingga penabuan praktek dokter dekat dengan apotek juga pernah disuarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Citra apotek sebagai tempat berdagang ini harus diubah. Dalam upaya merasionalkan pemberian obat, dan memperkecil beban kantung para penderita, citra itu harus diganti. Ia harus lebih ditampilkan sebagai tempat praktek profesi apoteker dan bukannya sekadar tempat berjualan. Pengubahan citra itu hanya dapat dilakukan oleh para apoteker sendiri. Bukan oleh para pengusaha atau pemilik modal. Hubungan apoteker dengan pemilik modal dapat saja terjadi jika memang diperlukan, tetapi kewenangan pelayanan tetap menjadi tanggung jawab apoteker. Ada kebebasan profesi yang dilaksanakan secara bertanggung jawab demi kemaslahatan pasien. Deregulasi perizinan pembukaan apotek yang dicanangkan pemerintah kali ini harus dijadikan momentum untuk mengubah citra tersebut. Kemudahan perizinan membuka apotek, pengalihan beberapa jenis obat dari resep dokter ke "resep" apoteker, selanjutnya harus dijadikan titik awal untuk menyempurnakan hubungan profesional antara dokter dan apoteker, dengan pasien sebagai titik temu. Bukannya lagi kuantitas obat yang terjual yang dijadikan pedoman semata-mata, tetapi juga kualitas pelayanan terhadap pasien serta komunikasi konsultatif antara dokter dan apoteker praktek harus ditingkatkan. Dengan deregulasi nanti, kedekatan praktek apoteker dengan praktek dokter tidak perlu lagi dilihat sebagai sesuatu yang aib. Tidak perlu pula terlalu dicurigai bahwa telah ada "permainan busuk". Permainan yang ada adalah permainan profesional yang indah, karena lebih didasari oleh "arts", oleh "seni", yang kepuasannya terletak pada keindahan hasil karya dalam menyembuhkan pasien, dan bukannya hanya kepada jumlah uang yang diperoleh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus