Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Akhirnya Dia Mati

Raymond Catch Pole, warga Kanada pasien AIDS meninggal dunia. Ia menderita pneumoni diakibatkan kuman Pneumocystis Carinii. Obat untuk penyakit AIDS belum dapat ditemukan.

5 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA peti aneh di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Mirip peti kemas. Terbuat dari kayu jati kasar, peti berbentuk empat persegi panjang itu dililit pelat-pelat besi tipis. Ia teronggok diam, warnanya cokelat tua, dengan karangan bunga dukacita di atasnya. Kalau saja tak ada krisan putih dan anggrek ungu, mungkin orang tidak mengira peti itu peti mati. Sebetulnya, di dalam peti masih terdapat tiga peti lagi masing-masing terbuat dari seng, kayu mahoni, dan seng lagi. Lapisan paling luar barulah peti kayu jati. Garis-garis umur kayu jati yang melingkar-lingkar di peti itu seperti hendak menunjukkan usia penghuninya yang 46 tahun. Sang penghuni, Raymond Catch Pole, baru saja meningga Jumat pekan lalu, di RS Pertamina, Jakarta, akibal komplikasi penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang dideritanya. Menurut harian Jawa Pos (edisi 29 November 1987) "Raymond meninggalkan seorang istri, Ny. Ani, asal Kendari, yang dinikahinya secara Islam lima tahun lalu." Lelaki warga Kanada itu dinyatakan positif AIDS sejak Rabu dua pekan lalu, (TEMPO, 28 November 1987). Peti mati empat lapis memang diminta keluarganya -- melalui perusahaan jasa Yayasan Bunga Kamboja. Ini erat kaitannya dengan rencana pengiriman jenazah ke Kanada sesegera mungkin. Tapi, sampai Senin malam kemarin, tubuh Raymond masih berada di kamar mayat RSCM. Tak jelas bagaimana kondisi Raymond dirawat di RS Pertamina sejak 3 November silam -- pada detik-detik terakhir, namun tak syak lagi, penyakitnya semakin memburuk. Dan menurut Kepala Medis RS Pertamina, dr. Amal Sutopo -- sebagaimana ditulis Jawa Pos -- "Selama dirawat, radang paru-paru yang dideritanya pernah membaik. Tapi kemudian memburuk kembali, sampai akhirnya meninggal dunia." Radang paru yang diderita Raymond itulah, mungkin, yang menjadi penyebab kematiannya. Dan radang paru itu tak lain adalah pneumoni yang diakibatkan kuman Pneumocystis carinii. Kuman ini memang jadi pembunuh utama penderita AIDS di banyak negara maju, termasuk Amerika. Kematian akibat pneumoni oleh pneumcystis carinii di AS tahun lalu melejit melebihi jumlah gabungan semua kematian akibat radang selaput otak, semua jenis hepatitis virus, radang otak, gonore, sipilis, difteri, tetanus, polio, tifus, malaria, rabies kolera, dan sederet infeksi lain. Bahkan lebih banyak penderita meninggal akibat penyakit ini di AS, ketimbang semua jenis tuberkulosis. Dan pada 1991 nanti, diperkirakan jumlah penderitanya di AS akan mencapai 100 ribu orang. Jauh sebelumnya,pneumoni jenis ini lebih sering timbul akibat komplikasi penurunan daya tahan (imunitas) tubuh, yang timbul akibat penggunaan obat antitumor ataupun akibat penggunaan obat kortikosteroid pada pascatransplantasi organ tubuh. Sampai tahun 70-an, pneumoni ini sering menyerang orang dengan gizi sangat buruk dan berbagai jenis anemi. Tapi entah bagaimana, kini ia lebih sering muncul akibat penurunan imunitas penderita AIDS -- dan 6 tahun terakhir ini jumlahnya mencapai 30 ribu orang. Singkatnya, pneumoni itu dapat mengancam tiap orang dalam kondisi daya tahan yang sangat menurun, baik karena obat, kurang darah, penyakit bawaan tertentu, maupun akibat serangan virus Human Immunodeficiency Virus, penyebab AIDS. Adapun penyebab radang paru ini adalah sejenis jasad renik dari kelompok protozoa yang berukuran 1 sampai 2 mikron. Bentuk mudanya sering bergerombol, 2 sampai 8 protozoa -- membentuk sejenis kantung berongga yang disebut Cysta. Nah, bila sang Cysta pecah, Pneumocystis carinii pun menjadi matang -- dan segera menyerbu ke dalam gelembung udara paru-paru. Maka, seperti banyak penyakit infeksi lain, radang paru akibat kuman bermasa inkubasi 1 sampai 2 bulan ini pun dapat menular, misalnya melalui percikan ludah atau ciuman. Gejalanya: batuk kering dan muka yang kebiru-biruan, yang semakin berat bila penderitanya bergerak-gerak. Tapi demam hampir tak ada. Anehnya, menurut buku Harrison's Principles of Internal Medicine, "Pemeriksaan fisik paru penderita biasanya tak seberapa parah dibanding keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam." Keadaan di dalam paru tentu mesti dilihat dengan alat bantu semacam rontgen. "Dengan pemotretan tampak betapa hebatnya kerusakan jaringan paru," tulis buku tadi. Beberapa gambar bahkan menunjukkan bercak-bercak infiltrasi yang berbentuk bulat -- sehingga sering dikelirukan dengan gambaran proses tumor atau infeksi lain di organ pernapasan itu. Proses pemusnahan sel-sel jaringan paru itulah agaknya yang menyebabkan sang penderita sering sesak napas, bahkan seperti orang haus udara. Megap-megap. Itulah sebabnya, ketika dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) RS Pertamina, Raymond selalu dibantu oksigen yang dimasukkan lewat selang ke hidungnya. Gejala-gejala yang muncul tadi, menurut jurnal kedokteran The New England Medical Journal edisi Oktober, sering bervariasi. "Pada orang yang menderita AIDS, gejala itu rata-rata muncul selama 28 hari, sementara pada yang non-AIDS, rata-rata bertahan hanya lima hari," tulis jurnal itu. Kendati demikian, pemastian adanya kuman ini hanya dapat dilihat melalui pemeriksaan biopsi jaringan paru. Toh keterbatasan pengetahuan tentang makhluk supermini ini masih saja jadi masalah yang menyulitkan. Hingga orang salah menduga, disangka kelainan karena virus, khususnya Cytomegalovirus. Adapun mereka yang diserang radang paru akut hampir bisa dipastikan bernasib buruk. Pada beberapa literatur disebutkan, kematian terjadi pada 40 sampai 50 persen penderita. Mereka itu mungkin sekali meninggal akibat komplikasi gagalnya pernapasan. Atau akibat serangan jantung -- yang datang belakangan. Dan semua proses yang melepas nyawa itu memang tak lama -- "kira-kira cuma perlu waktu satu sampai sepuluh minggu, jika pasien tak diobati." Obat untuk radang paru ini pun masih terus dikembangkan, sebagaimana orang terus mencari obat AIDS. Tapi, syukurlah, meski obat untuk AIDS belum menampakkan hasil bagus, obat pneumoni ini sedikit banyak telah terbukti positif. "Kami menyimpulkan bahwa kombinasi trimetrexate dan leucovorin cukup efektif dan aman untuk penderita pneumoni akibat Pneumocystis carinii ...," tulis New England Medical Journal tadi. Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus