TIDAK kurang dari 110 milyar rupiah dikeluarkan masyarakat untuk "membeli" kesehatan tanpa bantuan pemerintah. Ada kesan, itulah sumbangan masyarakat pada pelayanan kesehatan nasional. Angka inilah yang membuat Musyawarah Kerja Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke-11 di Medan, dua pekan lalu, dengan tema Ekonomi Kesehatan, jadi menarik. Kontribusi masyarakat pada 1986/1987 yang, berdasarkan penelitian IDI, dua kali lebih besar dari angka 1985/1986 itu adalah dana yang dikeluarkan masyarakat melalui sektor praktek dokter swasta, umum maupun spesialis. Wajarkah angka itu ? Sayang, Musyawarah Kerja IDI tak mengkaji lebih dalam kategori pengeluaran biaya kesehatan yang milyaran itu, untuk menentukan prinsip paling dasar. Dalam ekonomi kesehatan, biaya tersebut terkategori angka pembayaran jasa dokter yang dikeluarkan pasien dalam hubungan perorangan -- yang sifat pengeluarannya mengikuti prinsip "jual-beli" di pasar bebas. Transaksi ini ditentukan oleh kesediaan, bahkan permintaan pasien, untuk mendapatkan pelayanan medis yang sesuai dengan harapan dan keinginannya -- suatu hal yang mempunyai ruang tersendiri dalam pelayanan kesehatan dan perhitungan ekonomi kesehatan. Dalam kaitan pasar bebas, keputusan memilih dan menentukan pelayanan medis ada pada pasien sebagai pribadi. Ini adalah "hak tunggal" yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Adalah tidak penting mengukur wajar atau tidaknya cara seseorang mengeluarkan uangnya sendiri untuk keperluan sendiri pula. Yang lebih relevan dijadikan bahan pemikiran dalam kaitan pelayanan kesehatan nasional: mungkinkah membangun wadah yang bisa menyalurkan potensi finansial di sebagian masyarakat itu untuk sebuah pemerataan? Kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan finansial itu patut dijadikan mitra pemerintah dalam menanggulangi berbagai masalah pembinaan kesehatan masyarakat, tanpa menggerogoti pengadaan pelayanan medis yang berkualitas. Tak bisa diingkari bahwa kualitas dalam pelayanan kesehatan kadang-kadang memang menuntut harga. Dengan demikian, tidak mustahil bisa terjadi surplus pada anggaran kesehatan pemerintah, sehingga Departemen Kesehatan bisa merealokasi dana, misalnya, dari usaha kuratif (pengobatan) ke preventif (pencegahan) -- atau memindahkan sebagian subsidi kesehatan di kota-kota besar untuk program pembinaan kesehatan di daerah. Ajakan itu mestinya tidak akan ditolak asalkan pengelolaan dana dijamin "keberesannya". Negara-negara maju, yang umumnya menganut cara hidup liberal dengan sistem ekonomi kapitalistisi dapat menggugah solidaritas sosial ini. Pelayanan medis yang diperhitungkan dengan rapi dan dikelola secara profesional ternyata bisa mencapai tingkat pemerataan mengagumkan. Pelayanan kesehatan bisa sampai pada mereka yang kurang mampu dan paling membutuhkannya. Di sebagian besar negara Eropa, yang sudah sangat maju dalam pelayanan kesehatan, tunjangan kesehatan berarti pula pembayaran upah penuh selama sakit bagi pekerja upahan (wage earners) dan pengusaha kecil -- mereka yang tak punya majikan sebagai penanggung risiko kesehatannya. Tujuannya melindungi sesama warga dari beban finansial sebagai akibat penyakit berkepanjangan, yang dapat memporakporandakan keadaan rumah tangga. Tindakan pengamanan sosial yang ideal ini dicetuskan untuk pertama kalinya oleh Otto Von Bismarck, dan masuk ke undang-undang Jerman pada 1883. Seusai Perang Dunia II menyebar ke negara-negara lain setelah diperkuat oleh Atlantic Charter, yang memuat the four freedoms of mankind. Salah satu pasalnya adalah freedom from want -- terbebas dari kebutuhan paling pokok, di antaranya kesehatan. Sejak itu, pelayanan kesehatan, yang memang mahal, mulai dihitung sistem pelaksanaan dan pembiayaannya. Dari penghitungan demi penghitungan, dari perdebatan teoretis sampai ke percobaan pelaksanaan, akhirnya ditemukan sistem pendanaan paling cocok untuk pengamanan sosial, yaitu Asuransi Kesehatan (Askes) bagi kelompok masyarakat terbesar. Maka, risiko sosial akibat penyakit dapat dibagi merata: antara mereka yang mampu dan yang kurang mampu serta antara mereka yang sehat dan yang kurang sehat. Dalam perkembangannya, kesuksesan pelaksanaan Askes bukan lagi bagaimana mencapai masyarakat tak mampu, melainkan bagaimana memanfaatkan dana yang terhimpun -- akibat keberhasilan memasyarakatkan Askes -- untuk pengembangan fasilitas bagi pelayanan medis yang merata, dalam arti memberikan pelayanan yang sama di mana-mana. Targetnya akhirnya: satu kategori pasien dalam pelayanan medis, baik dari dokter maupun perawatan di rumah sakit. Segala macam dualisme, seperti timbulnya "kartu miskin", pasien kelas II, bisa dihilangkan. Status pengelolanya pun bukan masalah: pemerintah atau swasta. Yang penting ialah integritas dan kualitas kerja. Di Negeri Belanda, misalnya, perusahaan asuransi swasta yang dipercayai mengelola Askes pegawai negeri. Dan pelayanan kesehatan berjalan mulus sampai sekarang -- sudah selama setengah abad lebih. Pelaksanaan askes, dalam arti memiliki dan memasyarakat, bukan soal sepele. Kita, yang lagi merintis, perlu mengkaji banyak hal. Askes adalah kerja besar yang membutuhkan kerja sama lima sektor: peserta asuransi, pengelola, dokter, rumah sakit, dan pemerintah sebagai penanggung jawab utama. Dimensi kegiatannya dan jumlah uang yang dipercayakan tidak kecil. Di negara-negara maju, angka yang dikelola Askes mencapai 10% dari GNP. Tak bisa lain Askes adalah sektor pokok dalam pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) negara bersangkutan. Dalam perkembangan Askes terlihat bahwa tata administrasi yang efisien dan pelaksanaan yang efektif adalah kemutlakan. Sistem yang dipilih malah tidak mutlak, misalnya apakah melalui pengobatan di rumah sakit atau pengobatan berjalan ambulance treatment. Hasilnya tak jauh berbeda, seperti terlihat di Swedia dan Finlandia -- dua negara yang memiliki banyak kesamaan tingkat ekonomi maupun kehidupannya. Swedia memusatkan pelayanan kesehatannya di rumah sakit, unit gawat darurat, dan poliklinik di bawah pengawasan dokter, sementara Finlandia menerapkan sistem pelayanan pertama di pos kesehatan dengan menitikberatkan kerja sama penilik kesehatan (public health nurse) dan para medis di rumah sakit, tanpa campur tangan dokter. Pelayanan dokter disalurkan melalui praktek swasta. Ternyata, kedua SKN itu tidak menunjukkan perbedaan hasil. Angka infant mortality rate (angka kematian bayi) dan maternal mortality rate (angka kematian ibu hamil) -- indikasi penting mengukur pelayanan kesehatan -- di kedua negara itu tak berbeda jauh. Pemilihan sistem pelayanan kesehatan pada akhirnya sangat ditentukan bagaimana sistem itu mampu menyusup ke kebudayaan masyarakat bersangkutan. Pada ekonomi kesehatan disebutkan: a medical care as an intrinsic part of the cultre to which it belongs).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini