NYANYIAN itu mirip tangis. Mengalun. Juga tersendat-sendat. Sembilan orang itu duduk melingkari bongkahan-bongkahan batu. Mereka seperti menatap sisa-sisa kebakaran. Lampu merah seolah menegaskan itu. Lalu muncul paling tidak lima belas penari wanita dan pria. Dengan gerak jalan, merentang-rentangkan tangan seperti burung yang mengepak-ngepakkan sayapnya, mereka berderet satu per satu. Suatu prosesi. Melenggang dalam irama yang sama dengan mengentakkan kaki, para penari itu mengitari bongkahan batu. Dan itu pertanda. Satu perubahan cepat, dan tak selamanya orang bisa melindungi hutan. Bahkan masyarakat yang hidup menyatu dengan hutan tak mampu menanggulanginya. Bongkahan-bongkahan batu itu seperti pusat penggerogotan: suatu padang pasir di tengah rimba raya. Dan nyanyian mengumandangkan apa saja. Tentang peri kehidupan mereka, juga masa depan -- yang kritis. Itulah pementasan teater tari Kerudung Asap di Kalimantan, salah satu mata acara malam kesenian masyarakat Dayak, disutradarai Sardono. Pada 24 November hingga 2 Desember 1987, di TIM, Jakarta -- digelar pementasan, pameran foto, diskusi ilmiah, dan baca puisi-puisi hutan. Kanjet Julut merupakan tarian bersama. Sejumlah penari wanita merentang gerak di antara bongkahan batu dan orang-orang yang duduk melingkarinya. Ini tarian upacara dalam masyarakat mereka. Kanjet, tari, merupakan gerak hidup yang kempal dalam masyarakat mereka, hingga untuk menarikannya mereka tak boleh terganggu. Bahkan oleh suara yang paling halus, hutan yang hening. Muncul Kanjet Tengen, tarian tunggal seorang wanita dengan untaian bulu burung di kedua jari tangannya. Inilah tarian yang mengandalkan improvisasi. Tari yang terasa begitu gemulai ini diiringi kedirek (instrumen asli, seperti organ bamboo). Di samping bebas menafsirkan, mereka juga bebas memilih lagu sebagai pengiringnya. Kanjet Tengen salah satu tangan yang unik. Menyusul Kanjet Pepatai, tari perang yang dibawakan dua lelaki. Mereka bersenjatakan pedang dan perisai. Dengan topi berjambul bulu yang panjang, gerakan tarian ini gemulai dan mengentak. Mereka mula-mula mengambil ancang-ancang dengan gerakan yang lembut. Pedang pun diayun-ayunkan seirama dengan gerakan tubuh dan tangan. Gerakan merunduk dengan sabetan pedang dan tangkisan perisai terjadi. Lalu masing-masing berteriak. Kemudian membuat gerakan cepat, bak belalang mencutat, dan undur merunduk, seperti membuat persiapan lagi untuk menyerang. Tarian ini diiringi sampek (sejenis gitar). Sedang Kanjet Gong merupakan tarian tunggal seorang wanita yang meliuk-liuk di atas gong yang ditaruh dl tanah. Gong, yang di Jawa tabu untuk disentuh dengan kaki dalam masyarakat Dayak punya tujuan yang berbeda. Seperti terlihat kekuatan manusia dalam menjaga keselarasan alam. Begitu sulit kedua kaki itu mengedari bundaran gong yang sempit, dengan tetap menjaga keluwesan gerakan tubuhnya. Sebagai penutup, muncullah Kanjet Hudo. Sebuah tarian upacara sebelum panen dengan harapan agar hasil panen baik. Para penari memakai kostum seluwiran daun pisang yang amat tebal dengan topeng kayu yang sangat eksotis. Topeng-topeng mi bertampang buaya, babi hutan, tikus, burung, dan sejumlah binatang hama tanaman lainnya. Diiringi tewung (beduk) dan gong, Hudo bergerak lamban. Harapannya adalah munculnya dewa melenyapkan hama itu. Ada sembilan orang Dayak suku Kenyah dan suku Modan yang diboyong ke Jakarta sebagai motor pertunjukan. Mereka dibantu penari Institut Kesenian Jakarta. Sardono sendiri, tanpa topeng, muncul pada tarian Hudo. Ia menyabetkan pedang bak Hudo Punan mengusir hama-hama tanaman itu. Haruslah dicatat peran nyanyian dan slide (rimba, sungai, satwa, dan kebakaran) karya Gotot Prakosa dan Rio Helmi dalam menopang pertunjukan ini. Kedua elemen ini menyatu, dan daya cekamnya pada tiga layar yang melatari para penari sebagal kekuatan yang paling utuh. Nyanyian yang mengiris-iris itu sudah ada sebelum kebakaran hutan yang beruntun terjadi. Ini tentulah suatu kewaskitaan orang Dayak. Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini