Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ngaji Filsafat di Yogyakarta menjadi sarana anak muda belajar filsafat.
Media sosial dan buku menyuguhkan kemudahan pilihan anak muda mempelajari filsafat.
Hati-hati mencerna kalimat mutiara dari kreator tak berkompeten.
MASJID Jenderal Sudirman di Jalan Rajawali Nomor 10 Demangan Baru, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta, sering disambangi Kurnia setiap Rabu malam saban pekan. Bagi pria 26 tahun itu, masjid yang dibangun sejak 1974 tersebut menjadi lokasi tepat untuk menyegarkan hati dan pikirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap Rabu malam, masjid itu menggelar Ngaji Filsafat, kegiatan pengajian yang membahas tema-tema filsafat. Doktor ilmu filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fahruddin Faiz, menjadi pemateri tunggal Ngaji Filsafat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu malam, 16 Oktober 2024, Faiz membawakan ceramah tentang ekologi gelap, teori kritik ekologi yang dicetuskan filsuf Inggris, Timothy Morton. Duduk lesehan menghadap meja selama dua jam, Faiz menjelaskan pemikiran Morton yang membongkar secara kritis konsep alam yang identik dengan harmoni dan romantisme.
Di hadapan sekitar 500 peserta Ngaji Filsafat yang meriung di dalam dan beranda masjid, Kepala Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN itu mencontohkan konsep ekologi gelap secara sederhana. Misalnya gunung meletus yang mempunyai dua sisi atau ambiguitas. Erupsi bisa mendatangkan kerusakan sekaligus keuntungan.
Disebut bencana, kata dia, bila menghancurkan makhluk hidup. Tapi erupsi juga bisa mendatangkan keuntungan, misalnya menghasilkan pasir yang bisa dijual. “Kamu juga suka berbondong-bondong bila pasca-erupsi, jadi tempat wisata,” ujar Faiz dalam ceramahnya.
Dia juga menjelaskan contoh dekonstruksi atau membongkar sesuatu. Misalnya definisi kacamata yang tidak tunggal. Kacamata bagi seseorang yang bermasalah dalam penglihatan bisa menjadi alat bantu. Tapi, bagi penjual kacamata, barang itu dagangan. Lain lagi bagi bocah yang menjadikan kacamata sebagai mainan dan alat bergaya bagi artis.
Melalui definisi yang beragam itu, konsep ekologi gelap mengajak orang secara terbuka membongkar kesimpulan tentang alam yang bisa ditundukkan dengan alat-alat canggih, contohnya perubahan iklim dan berbagai krisis ekologi lain. Perlu tindakan kolektif untuk mengatasi perubahan iklim dan berbagai kreativitas manusia, misalnya mempertahankan hutan.
Bagi Kurnia, ceramah Faiz itu bagaikan oasis di tengah kehidupan modern yang kering dan tandus. Materi-materi yang disampaikan dalam Ngaji Filsafat rupanya mampu memberikan ketenangan sekaligus membuka pikiran seluas samudra.
Doktor Ilmu Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fahruddin Faiz, seusai berceramah dalam acara Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman, Yogyakarta, 16 Oktober 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Kurnia mengaku mengikuti majelis Ngaji Filsafat sejak 2018. Saat itu ia menghadiri pengajian Fahruddin Faiz secara daring. Minat Kurnia pada materi filsafat yang disampaikan Faiz bermula dari tekanan psikologis yang ia hadapi. Saat itu Kurnia sering sedih, tak bisa tidur nyenyak, dan merasa jauh dari Tuhan.
Kurnia mengingat kesedihannya berkurang setelah menonton kajian filsafat tentang Al-Ghazali yang dibawakan Faiz. “Aku jadi lebih tenang dan rileks setelah nonton YouTube itu,” kata mahasiswa Center for Religious and Cross Culture-Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada itu kepada Tempo.
Tak cuma itu, materi ekologi yang disampaikan Faiz juga menginspirasi Kurnia dalam program tesisnya tentang lingkungan dan masyarakat adat. Karena itu, mahasiswa asal Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut merasa beruntung bisa mengenal dan menyelam lebih dalam tentang Ngaji Filsafat.
Selain Kurnia, ada Kamila Zahin Shabirina, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang menjadi peserta tetap majelis Ngaji Filsafat. Perempuan 22 tahun itu tak pernah absen mengikuti Ngaji Filsafat secara luring ataupun daring.
Kamila lebih tertarik pada kajian filsafat yang berhubungan dengan gaya hidup. Dia menyukai penjelasan Faiz karena menggunakan bahasa sehari-hari dan sederhana sehingga gampang ia pahami. “Saya jadi enggak bingung lagi soal tujuan hidup,” ucap mahasiswi asal Kediri, Jawa Timur, itu.
Menariknya, ketertarikan anak muda pada kajian filsafat rupanya juga terjadi di media sosial. Mereka mengikuti sejumlah akun media sosial yang kerap mengunggah konten tentang filsafat, seperti cuplikan kalimat dari filsuf kondang. Bahkan tak sedikit kreator konten yang mengunggah diskusi atau podcast yang membahas beragam tema tentang ilmu filsafat.
Misalnya Amelia Wardani, 21 tahun, mahasiswi di salah satu universitas swasta di Jakarta, yang menyukai konten-konten filsafat di media sosial. Sejak satu tahun lalu, perempuan yang kerap disapa Amel ini gemar membaca dan menonton konten pembahasan filsafat. Dari konten yang berisi teks kutipan filsuf, video pendek, cuplikan kajian filsafat, sampai siniar filsafat ia tonton.
Terutama tentang stoikisme atau salah satu aliran filsafat yang banyak mengajarkan tentang kendali diri. Ajaran ini dapat mengubah perspektif tentang hidup serta membuat lebih mampu menghadapi tantangan dengan sikap yang lebih bijaksana dan tenang.
Amel menemukan konten tentang stoikisme saat ia sedang galau tentang tuntutan kehidupan yang berputar-putar di kepalanya. Perempuan asli Jakarta itu overthinking memikirkan masa depannya, seperti kapan ia menyelesaikan kuliahnya dan rencana bekerja di kemudian hari. “Saya takut hidup saya diwarnai kegagalan dan kekecewaan,” tutur Amel.
Jamaah Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman, Yogyakarta, 16 Oktober 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Setelah menonton beberapa konten tentang stoikisme, Amel memutuskan membaca beberapa buku mengenai aliran filsafat itu. Perlahan, ia bisa menghapus sedikit demi sedikit kekhawatiran dan ekspektasi hidup. “Kesederhanaan pikiran membuat pikiran dan hati saya lebih tenang,” katanya.
Konten tentang stoikisme juga digemari Akbar, pekerja lepas di bidang digital berusia 31 tahun. Sejak enam bulan lalu ia mendalami stoikisme lewat beragam buku serta podcast di YouTube.
Akbar sering resah dengan jalan hidupnya saat ini. Kesuksesan yang belum diraih, jodoh, sampai keluarga menjadi beban pikirannya. Hati dan pikiran Akbar bisa makin gelap ketika ia melihat kehidupan teman bahkan orang lain seumurannya yang lebih lancar.
“Bukan iri, ya. Cuma saya merasa tertekan untuk bisa mencapai standar mereka.”
Setelah membaca-baca materi filsafat stoikisme, setidaknya Akbar bisa mengerem keresahannya. Kini dia merasa sanggup mengendalikan diri dan lebih bijak menyikapi berbagai kondisi dalam hidupnya.
Sejumlah pengelola akun media sosial filsafat mengakui adanya penambahan jumlah pengikut dan ketertarikan warganet, khususnya anak muda, tentang konten bertema filsafat. Salah satunya akun Filsafat Rindu Official yang berdiri sejak 2018.
Pendiri akun Filsafat Rindu Official, Fawaz al-Farabi, mengatakan tak sedikit anak muda yang menjadikan filsafat sebagai obat untuk mengatasi kegelisahan dan penderitaan hidup. Dia memaklumi hal tersebut karena filsafat memang menyediakan beragam solusi bagi orang-orang yang mempertanyakan penderitaan dalam hidupnya.
Meski begitu, Fawaz berharap para penikmat konten filsafat tak sekadar terpuaskan oleh segelintir konten. Dia menganjurkan anak-anak muda tidak tanggung-tanggung dalam belajar filsafat. “Pelajari lebih dalam, baca buku, dan lainnya,” ujarnya.
Fawaz juga mewanti-wanti anak muda untuk selektif memilih konten. Jangan sampai salah memilih kreator konten filsafat. Maklum, saat ini cukup banyak kreator konten yang dikenal dengan kalimat-kalimat berisi petuah bijak.
Alasannya, Fawaz khawatir para kreator itu setengah-setengah dalam mempelajari filsafat. Walhasil, ada kemungkinan kalimat motivasi dan solusi yang ditawarkan kurang tepat secara keilmuan. Jika itu terjadi, akan berisiko memunculkan pendangkalan pola pikir di kalangan warganet.
“Filsafat itu ibarat belajar menyelam. Kalau hanya di pantai, cuma dapat ombak. Sementara kalau menyelam lebih dalam, bisa dapat mutiara,” kata Fawaz.
Satu suara dengan Fawaz, pendiri Antinomi Institute, Risalatul Hukmi, menyebutkan sepenggal ilmu filsafat yang digunakan sebagai justifikasi persoalan anak muda tak lebih dari sekadar obat antinyeri. Sebab, ketenangan yang didapat sejatinya hanya bersifat semu. Walhasil, diperlukan proses penggalian ilmu filsafat yang lebih dalam demi memperoleh pengetahuan yang lebih luas lagi.
Risalatul juga menyoroti stoikisme yang saat ini menjadi andalan tema bacaan anak muda. Karena itu, pria yang berprofesi sebagai staf pengajar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada tersebut menyarankan anak muda mempelajari tema lain dalam filsafat. “Jangan sampai orang Indonesia tahunya filsafat itu cuma stoikisme dan obrolan anak senja di media sosial.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani (Yogyakarta) berkontribusi dalam penulisan artikel ini.