Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan data demografi yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pemain judi online berusia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen atau 80 ribu dari total keseluruhan penjudi yang mencapai lebih kurang 4.000.000 orang. Dari 4.000.000 penjudi online, PPATK merinci demografi pengelompokannya berdasarkan kategori usia di bawah 10 tahun sebesar 2 persen, usia 10-20 tahun 11 persen, usia 21-30 tahun 13 persen, usia 30-50 tahun 40 persen, dan di atas 50 tahun 34 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan penanganan anak yang terlibat judi online utamakan sisi psikologis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penanganan anak yang terlibat judi online itu lebih banyak kita melakukan penguatan-penguatan psikologis karena judi online sebenarnya bukan hanya tindakan kriminal buat anak-anak tetapi dampak kebiasaan bermain gawai dan itu bicaranya kesehatan mental,” kata Woro di Kantor Kemenko PMK di Jakarta, Senin, 15 Juli 2024.
Ia menjelaskan Kemenko PMK terus melakukan koordinasi, termasuk dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) terkait penguatan regulasi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
“Kita belum koordinasi untuk anak terjerat judi online ini. Namun dari KPPPA, anak-anak yang mengalami judi online ini tidak akan diperlakukan sama seperti orang dewasa. Kita ada regulasi-regulasi yang mengatur tentang itu, juga regulasi bagaimana menangani anak yang berhadapan dengan hukum,” ucapnya.
Kerja sama dengan kementerian lain
Woro menegaskan Kemenko PMK bekerja sama dengan Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), juga kementerian dan lembaga lain untuk menggunakan regulasi-regulasi tersebut dalam mengatasi dampak judi online terhadap anak.
“Jadi tidak disamakan dengan orang dewasa, isu-isu terkait psikologis itu yang kita utamakan. Jadi, tidak pada aspek penindakan hukum tetapi lebih ke rehabilitasi dan integrasi sosial,” ujarnya.
Merespons isu judi online yang berpengaruh terhadap perceraian, ia mengatakan hal tersebut masih memerlukan studi lebih lanjut. “Kebetulan kita belum melakukan studi apakah judi online ini termasuk mempengaruhi perceraian. Tetapi kalau saya malah banyak bacanya dari media bagaimana judi online itu mempengaruhi kebutuhan rumah tangga, sudah ada contohnya tetapi masih perlu studi kasus,” paparnya.