Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yudianto Yosgiarso gemas melihat peternak ayam broiler di kampungnya di Yogyakarta mencekoki ayam mereka dengan antibiotik sembarangan. Tanpa resep dokter hewan, mereka rutin memberikan obat murah itu untuk mengobati ayam yang mengalami gangguan saluran pernapasan, mencret, perdarahan, atau masalah produksi. "Banyak yang tidak tahu bahaya penggunaan antibiotik," kataKetua Asosiasi Peternak Petelur Indonesia ini, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggunaan antibiotik secara serampangan marak di kalangan peternak. Dulu, mereka menggunakannya untuk memacu pertumbuhan agar ayam lebih cepat dipanen. Sejak pemerintah melarang penggunaan antibiotik yang ditambahkan ke dalam pakan untuk memacu pertumbuhan pada 1 Januari 2018, penggunaannya mulai menurun. Peternak hanya boleh memakai antibiotik dengan resep dokter hewan. Tapi masih banyak di antara mereka yang serampangan menggunakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahaya penggunaan antibiotik pada ternak ini dibahas dalamInternational One Health Congress yang diadakan Badan Pangan dan Pertanian (FAO) di Saskatoon, Kanada, 22-25 Juni lalu. Mereka khawatir lantaran penggunaan antibiotik menjadi salah satu penyebab resistansi antimikroba pada manusia.
Resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri,virus, jamur, dan parasit berubah sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan mikroorganisme tersebut menjadi tidak efektif. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan antibiotik secara sembarangan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 memperkirakan ada 700 ribu kematian akibat resistansi antimikroba per tahun. Dengan makin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada 2050 angka kematian akibat resistansi antimikroba lebih besar dibanding kematian yang disebabkan kanker, yang mencapai 10 juta.
Di Indonesia, penggunaan antibiotik pada ternak yang tak terkendali terekam dalam penelitianAsia Partnership on Emerging Infectious Disease Research (Apeir), jaringan riset yang melibatkan peneliti, praktisi, dan pejabat pemerintah senior dari Kamboja, Cina, Laos, Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Apeir, bersama Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies dan dokter hewan serta ahli kesehatan, meneliti tiga kabupaten di Jawa Tengah, yakni Sukoharjo, Klaten, dan Karanganyar, sejak September 2013 hingga Agustus 2016. Mereka mengambil sampel air limbah peternakan ayam dan babi, juga spesimen feses ayam, babi, serta manusia yang tinggal di sekitar peternakan.
Para periset mengisolasi bakteriEscherichiacolialias E. coli yang didapat dari kotoran ayam dan babi, juga penduduk yang tinggal di sekitar peternakan. E. coli adalah bakteri yang hidup di usus manusia dan hewan. Bakteri E. coli yang diisolasi, baik dari ayam, babi, maupun manusia, itu menunjukkan karakter yang sama.
Hasil uji pun menunjukkan bakteri-bakteri tersebut resistan terhadap beberapa antibiotik. "Penggunaan antibiotik pada ternak yang tak bijak akan membuat feses melepaskan kuman yang resistan terhadap antibiotik," kata Ketua Steering Committee Apeir Amin Soebandrio di sela kongres One Health.
Selain berpengaruh terhadap orang yang tinggal di sekitar peternakan, pemakaian antibiotik akan berakibat langsung pada orang yang mengkonsumsi ayam dan ternak lain. Antibiotik yang diberikan pada ternak akan tertinggal dalam daging hewan itu. Kalau kita memakan daging tersebut, residu antibiotik yang ada di dalamnya ikut tertelan.
Konsumsi daging dengan sisa-sisa antibiotik secara terus-menerus lambat-laun akan membuat kuman yang bersemayam di saluran pencernaan kita kebal. Ditambah dengan antibiotik yang dikonsumsi saat kita sakit, kuman-kuman tersebut akan makin terlatih dan berkembang.
Awalnya, tubuh bisa mengatasi kuman yang makin kebal ini. Tapi, begitu saluran pencernaan kita bermasalah, kuman bisa dengan leluasa menyeberang ke organ lain, termasuk paru-paru dan otak. Jika tak bisa dikendalikan, hal itu akan menyebabkan kematian. "Atau efek lainnya, kecacatan," ujar Amin.
Amin mengungkapkan, peternak ikan dan udang juga asal-asalan menggunakan antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri salmonela. "Mereka sembarangan membeli antibiotik kiloan di toko yang menjual makanan ayam, lalu memasukkan antibiotik ke kolam dengan dosis tinggi," katanya.
Efek pemakaian antibiotik yang sembarangan itu berbuntut panjang.Ragam bakteri yang resistan akan bertumbuh dengan cepat, tak sebanding dengan lamanya waktu untuk menemukan antibiotik yang baru. Walhasil, banyak penyakit yang tak bisa disembuhkan. "Pakai apa pun sudah tak mempan," ucap Kepala Subdirektorat Pengawasan Obat dan Hewan Kementerian Pertanian Ni Made Ria Isriyanthi.
Menurut Amin Soebandrio, 90 persen pasien yang masuk ke unit perawatan intensifdi rumah sakit di Indonesia mengalami resistansi antimikroba. Organ tubuh yangpaling sering diserang adalah paru-paru, saluran pencernaan, dan saluran kemih. Adapun bakteri yang sudah resistan di Indonesia antara lain E. coli, yang biasa terdapat pada ayam dan babi.
Karena makin beragamnya bakteri yang kian kuat tersebut, kata Amin, antibiotik yang mempan sekarang hanya yang mahal, dengan harga mencapai Rp 600 ribu per tablet. Tak jarangrumah sakitmestimendatangkan obat dari luar negeri,seperti Singapura. Proses administrasi yang tak mudah sering kali membuat pasien sudah meninggal sebelum obat datang.
Koordinator staf ahli FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases Indonesia, Luuk Schoonman, memperkirakan tingkat kematian akibat resistansi antimikroba akan mencapai 10 juta pada 2050 bila tidak dikendalikan. Karena itu, FAOmemintasemua negara memainkan perannya untuk mengatasi resistansi antimikroba, misalnya dengan mendorong peternak melakukan vaksinasi dan menerapkanbiosecurityuntuk melawan berbagai serangan penyakit pada hewan. Jika tidak demikian, 10-20 tahun lagi diperkirakan antimikroba yang diproduksi tak berdaya melawan kuman yang sudah menjadi supertangguh.
Seperti yang dilakukan Bambang Sutrisno, salah satu peternak dari Semarang. Ketimbang menggunakan antibiotik, ia lebih suka memakai ekstrak bawang putih, temulawak, dan kunyit untuk campuran pakan ternaknya. Campuran rempah-rempah itu berkhasiat menambah nafsu makan ayam, menstabilkan produksi, dan membuat ayam lebih tahan terhadap penyakit."Tanpa antibiotik pun tidak banyak gangguan produksi dan kesehatan ayam," kata Koh Ilung-sapaan akrab Bambang.
Peneliti dari Utrecth University, Belanda, Jaap Wagenaar, mengapresiasi keberanian pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan penggunaan antibiotik untuk pertumbuhan ternak. "Aturan dan sanksi harus diberlakukan secara tegas karena mengubah perilaku peternak pasti sulit," ucap Wagenaar, yang pernah bertahun-tahun menjadi konsultan vaksinasi dan resistansi antimikroba di Indonesia.
Adapun menurut Amin Soebandrio,pemerintah harus mengawasi semua peternak skala kecil dan besar untuk memastikan mereka tidak menyalahgunakan antibiotik pada ternak. Misalnya perusahaan diwajibkan mengirim sampel ke Badan Pengawas Obat dan Makanan serta dinas peternakan. "Petugas dinas peternakan harus rajin melakukan inspeksi mendadak ke peternakan-peternakan," katanya.
Tempo | Shinta Maharani (Kanada)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo