Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAUT Situmorang geram bukan kepalang saat mendapat laporan dari anak buahnya bahwa mereka hendak mencokok Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada Selasa pekan lalu. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu baru dua bulan lalu bertemu dengan Irwandi dalam acara pembentukan Komite Advokasi Daerah Antikorupsi Provinsi Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembentukan Komite Advokasi Daerah Antikorupsi merupakan upaya KPK dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia membangun bisnis yang berintegritas. Pada acara tersebut, kata Saut, Irwandi berkomitmen dalam pencegahan korupsi. "Waktu itu Irwandi bilang pemerintah Aceh memakai prinsip 'Hana Fee'," ujar Saut sembari mengingat ucapan Irwandi, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu Saut bertanya kepada Irwandi maksud dari "Hana Fee" tersebut. Menurut Irwandi, hana dalam bahasa Aceh artinya tidak, sedangkan fee merupakan uang sogok. "Jadi tidak pakai uang sogok," kata Saut menirukan ucapan Irwandi saat itu.
Dua bulan kemudian, Irwandi mengingkari ucapannya sendiri. Tim satuan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dia bersama delapan orang lain di beberapa tempat sepanjang sore hingga malam, Selasa pekan lalu. Irwandi diduga menerima suap dari Bupati Bener Meriah, Aceh, Ahmadi, terkait dengan pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018.
Ahmadi diduga memberikan uang Rp 500 juta kepada Irwandi. Fulus tersebut merupakan bagian dari Rp 1,5 miliar yang diminta Irwandi terkait dengan fee ijon proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan dana otonomi khusus.
Saut pun meminta penyidik dan penuntut memasukkan kegiatan pertemuan penyusunan Komite Advokasi Daerah di Aceh dijadikan unsur pemberatan untuk Irwandi. Dengan adanya pemberatan itu, penyidik bakal meminta keterangan Saut dalam berita acara pemeriksaan. "Saya katakan siap. Ada pimpinan KPK hadir, tapi kesannya sia-sia. Karena negara mengeluarkan uang untuk kunjungan pimpinan KPK ke daerah tapi tidak berefek," ujar mantan anggota staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara itu.
Bukan hanya kepada Saut, jargon Hana Fee kerap disampaikan Irwandi saat berpidato di berbagai acara. Ketika melantik 51 pejabat eselon IIa dan IIb pada awal Mei lalu, misalnya, ia mengingatkan para pejabatnya harus menerapkan prinsip Hana Fee dalam proses lelang proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2018. Lelang harus berjalan transparan, akuntabel, jujur, dan tanpa intervensi. "Semuanya memiliki peluang yang sama dalam proses lelang ini," ucap Ketua Umum Partai Nanggroe Aceh itu.
Irwandi menjabat Gubernur Aceh sejak 2007. Periode pertama berakhir pada 2012. Pria yang dikenal dengan nama Tengku Agam ini kemudian mencalonkan sebagai gubernur lagi untuk periode 2017-2022. Baru enam bulan menjabat, Irwandi berurusan dengan komisi antikorupsi.
Saat ditanya soal program Hana Fee yang berbalik dengan perilakunya seusai pemeriksaan Kamis pekan lalu, Irwandi irit bicara. Ia membantah telah menerima suap. "Saya enggak tahu," kata mantan pejabat Gerakan Aceh Merdeka itu setelah menjalani pemeriksaan di gedung KPK.
DUA tim satuan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi tersebar di Kota Banda Aceh dan Bener Meriah, Selasa sore pekan lalu. Mereka mendapat informasi adanya dugaan korupsi dana otonomi khusus di Aceh sejak tiga bulan lalu. "Laporan mengenai penyalahgunaan dana otonomi khusus ini sudah lama disuarakan banyak pihak," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Kamis pekan lalu.
Provinsi ini menerima dana otonomi khusus sejak 2008 dan akan berakhir pada 2027. Total dana yang diterima sejak 2008 hingga 2018 senilai Rp 65,019 triliun. Tahun ini Aceh mendapatkan suntikan dana otonomi khusus sebesar Rp 8,029 triliun. Dana itu dipecah menjadi Rp 1 triliun untuk program bersama, 40 persen dari sisanya untuk kabupaten atau kota, serta 60 persennya buat usul satuan kerja pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat provinsi itu.
Kabupaten Bener Meriah mendapatkan alokasi Rp 200 miliar. Dari dana itu, 20 persennya untuk pendidikan; 10 persen untuk kesehatan; serta 70 persen untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan pengentasan angka kemiskinan. Duit suap untuk Irwandi Yusuf berasal dari proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA).
Baru tahun ini berlaku ketentuan Qanun Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh yang menyebutkan kewenangan program yang dibiayai dana ini ditetapkan oleh peraturan gubernur. Celah inilah yang diduga dipakai Irwandi untuk menekan bupati atau wali kota dalam pencairan dana otonomi khusus. Informasi bakal adanya penyuapan oleh Bupati Bener Meriah Ahmadi kemudian masuk radar KPK.
Setelah melakukan verifikasi dengan beberapa informan dan pelapor, KPK menerbitkan surat perintah penyelidikan pada 29 Juni lalu. Empat hari berselang, tim mengantongi informasi ihwal penyerahan uang sebesar Rp 500 juta dari orang kepercayaan Ahmadi, Muyassir, kepada anggota staf ahli Irwandi, Fadli, di teras Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.
Dari hasil pemantauan, tim KPK mengantongi komunikasi tentang permintaan uang oleh Irwandi melalui orang kepercayaannya kepada Ahmadi. "Minta satu meter saja dulu," kata salah seorang penegak hukum menirukan hasil penyadapan. Satu meter adalah kode untuk Rp 1 miliar.
Terkait dengan proyek infrastruktur yang menggunakan dana otonomi khusus di Kabupaten Bener Meriah, Irwandi meminta fee Rp 1,5 miliar. Namun Ahmadi belum mempunyai uang sejumlah tersebut. Melalui Muyassir, Ahmadi akhirnya baru menyanggupi pemberian Rp 500 juta.
Muyassir membawa tas berisi uang dari dalam hotel menuju mobil. Kemudian dia turun di suatu tempat dan meninggalkan tas itu di dalam mobil. Duit itu kemudian diambil Fadli. Setelah menerima duit itu, Fadli menyetorkan ke beberapa rekening BCA dan Bank Mandiri masing-masing senilai Rp 50 juta, Rp 190 juta, dan Rp 173 juta. "Ini bukan pemberian yang pertama," ujar Laode Muhammad Syarif. Pengakuan Fadli ke penyidik, uang yang disetor ke beberapa rekening tersebut sebagian digunakan untuk pembayaran medali dan pakaian buat kegiatan Aceh Marathon, yang digelar 29 Juli mendatang.
Menurut Syarif, Irwandi memang kerap menggunakan rekening perantara atau orang kepercayaannya untuk menampung uang dari berbagai sumber. "Tapi ada komunikasi-komunikasi yang mengindikasikan semua itu atas perintah dan persetujuan Irwandi. Layering-nya banyak," kata Syarif.
Pada sore sekitar pukul 17.00, tim satuan tugas menciduk Fadli bersama beberapa temannya di Solong Coffee, Banda Aceh. Setelah menangkap anggota staf ahli Gubernur Irwandi yang paling junior itu, tim KPK mengorek keterangan. Berbekal info dari Fadli dan hasil penyadapan sebelumnya, satu jam berikutnya tim KPK menangkap orang kepercayaan Irwandi sekaligus Direktur PT Tamitana, Teuku Syaiful Bahri, di sebuah kantor advokat dan menyita uang Rp 50 juta.
Setengah jam kemudian, petugas KPK menciduk anggota staf ahli Irwandi lainnya, Hendri Yusal, bersama teman-temannya di Quantum Coffee & Brasserie, Syiah Kuala, Aceh. Hendri sempat menerima uang transfer sebesar Rp 20 juta dari orang kepercayaan Ahmadi menjelang Lebaran lalu.
Setelah anak buah Irwandi tertangkap semua, tim KPK yang menunggang satu mobil Mitsubishi Pajero masuk dari pintu belakang pendapa gubernur, Kampung Baru, Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Sedangkan ajudan dan para pengawal Irwandi berada di bagian depan pendapa.
Saat itu Irwandi baru saja tiba dari kunjungan ke Sabang bersama Wakil Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Yanto Tarah. Di Sabang, Irwandi menggelar rapat acara Aceh Marathon. Mereka berangkat pagi dan balik sore menunggang helikopter milik Polda Aceh. Ia ditangkap tanpa perlawanan.
Kepada petugas keamanan di pintu belakang pendapa, Irwandi sempat berpamitan saat digiring petugas KPK. "Bapak bilang mau ngopi bersama temannya," ucap salah seorang penjaga pendapa. Menurut dia, Irwandi memang terbiasa keluar malam untuk ngopi bersama teman-temannya. Tim KPK lantas membawa Irwandi ke kantor Polda Aceh di Jalan Cut Meutia Nomor 25, Banda Aceh, untuk menjalani pemeriksaan awal. Tiga orang terdekatnya juga digelandang ke kantor Polda.
Secara paralel, tim satuan tugas KPK di Bener Meriah menangkap Bupati Ahmadi di Jalan Takengon. Kala itu Ahmadi baru saja menghadiri acara Partai Golkar di Hotel Linge Land, Takengon, Aceh Tengah. Tiga jam kemudian, petugas komisi antikorupsi menciduk orang kepercayaan Ahmadi, Dailam, di kediamannya di Bener Meriah. Tim membawa Ahmadi dan Dailam untuk menjalani pemeriksaan di kantor Kepolisian Resor Aceh Tengah, Takengon.
Pemberian tersebut diduga merupakan bagian dari commitment fee 8 persen untuk pejabat Provinsi Aceh dari setiap proyek yang menggunakan dana otonomi khusus. "Kalau dihitung dari total dana otonomi khusus itu, dia (Irwandi) mendapat jatah fee 3-4 persen. Itu gede dan terjadi setiap tahun," ujar Laode Muhammad Syarif.
Sedangkan pejabat kabupaten juga mendapat jatah 2 persen dari penggunaan dana itu. Karena itu, tim KPK akan mengembangkan penanganan kasus ini dengan menelusuri praktik yang sama di kabupaten lain. KPK menduga dana ini sudah lama menjadi bancakan pejabat di Aceh. "Apakah formatnya sama dengan Bener Meriah, masih kami cari," kata Syarif.
Setelah melakukan pemeriksaan selama 24 jam, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Irwandi Yusuf, Syaiful Bahri, dan Hendri Yusal disangka sebagai penerima suap. Ketiganya dianggap melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan Ahmadi ditetapkan sebagai pemberi suap. Ia dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Irwandi membantah telah menerima fee terkait dengan dana otonomi khusus ini. "Saya tidak terima uang," ujarnya. Adapun Hendri melalui kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution, membenarkan telah menerima Rp 20 juta dari orang kepercayaan Ahmadi. "Tapi Pak Hendri tidak meminta uang itu. Ditransfer begitu saja," kata Razman.
Linda Trianita, Rusman Paraqbueq, Adi Warsidi (Aceh)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo