SIARAN pandangan mata pertandingan olahraga, kadangkala jauh
lebih seru dari pertandingan yang sebenarnya. Kalaupun sekarang
sudah adat, mengikuti pertandingan lewat laporan radio tetap
memiliki keunikan. Karena dengan mengikuti lewat telinga saja
imajinasi pendengar berkembang terbawa emosi penyiar. Laporan
pandangan mata olahraga lewat radio tetap diikuti di seluruh
tanah air.
Sebagai mata pencaharian, lapangan ini tak mungkin dikerjakan
sembarang orang. Paling tidak harus ada latihan yang keras di
samping bakat. Penyiar Eddy Sihombing yang nyerocos dengan
cekatan dan khas karena intonasi lokalnya, juga tidak dengan
begitu saja jadi penyiar. Ia pernah berlatih langsung di tengah
penonton di lapangan Ikada dengan tape-recorder sendiri.
Ditonton oleh banyak orang, ia tidak boleh meleng, sebab hasil
rekaman itu akan dinilai oleh pelatihnya.
"Dibilang karena gajinya besar, tidak. Dibilang karena tak ada
lapangan kerja yang lain juga salah," kata Eddy yang sudah lebih
20 tahun dinas. Ia lahir di Tapanuli 15 September 1935. Pada
1956 setelah tamat SMA Bag. B ia menjual sepedanya, untuk
menumpang kapal laut ke Jakarta. Waktu itu ia sama sekali tak
punya keinginan jadi penyiar. Ia ingin jadi ABRI, lewat Akademi
Militer Nasional, AMN di Magelang.
Ternyata AMN menolaknya. Dasar keras, ia mencoba menembus
masuk AURI. Gagal juga. Coba di ALRI. Gagal lagi. Akhirnya
mendaftar ke PTIK. Lho masih gagal terus. Akhirnya ia pasrah.
"Barangkali memang saya tak ada bakat untuk jadi militer,"
katanya. Sementara itu ia sudah mulai aktif di RRI sebagai
resepsionis. Hidupnya numpang pada seorang "bapak angkat" yang
ditemuinya secara kebetulan di gereja.
Untuk menebalkan kantongnya, Eddy ngobjek di Pasar Baru.
Akhirnya ia bekerja sebagai tenaga administrasi pada Toko Eropa.
Baru 1958 ia jadi salah satu redaktur pekabaran, berkat
perhatian dari Sjamsu Sugito -- Kepala Pusat Pekabaran RRI
Jakarta waktu itu. Setahun kemudian ia dapat kesempatan ikut
test jadi penyiar sebelum dididik Abdul Hanan Lubis. Eddy
ternyata lebih memberat ke olahraga. Bahkan 1959 ia belajar
perwasitan tinju dan menjadi anggota Pertina.
Pada 1961 di PON ke V di Bandung untuk pertama kali Eddy
menyiarkan pandangan mata pertandingan tinju. Tahun berikutnya
tatkala berlangsung Asian Games di Jakarta, ia memantapkan diri
sebagai reporter olahraga. Tahun 1963 untuk Ganefo, 1964 ke
Olimpiade Tokyo. Pada 1965 tepat saat terjadinya peristiwa
G-30-S, Eddy bersama rombongan RRI dan delegasi Indonesia sedang
berada di Peking, mengikuti Kongres Ganefo I dan PON RRC.
Pekerjaan ini telah membuatnya mondar-mandir ke Mancanegara.
Eddy tidak pernah dapat pendidikan khusus. "Petunjuk pun tak
ada," ujarnya. Sebagaimana penyiar lain, untuk laporan
sepakbola, ia mengenali pemain lewat daftar pemain. Untuk
memudahkan, ia bikin skema dengan nomor kode punggung posisi
berikut nama. Ini dihafal sebentar, kemudian ia mempercayakan
semuanya pada mata serta refleksi mulutnya. "Untuk radio, saya
lebih banyak mengandalkan pengenalan nama pemain dan posisi,
daripada nomor punggung," kata Eddy, "sebab kalau hanya nomor
punggung, pendengar radio tidak langsung tahu."
Resep Eddy sebagai penyiar adalah memberi laporan "secara
jujur". Artinya selengkap mungkin, termasuk peristiwa-peristiwa
gawat asal masih dalam batas aturan permainan. Perkelahian di
lapangan -- yang sering muncul dalam pertandingan sepakbola
termasuk di luar aturan permainan. Menurut Eddy, tidak selalu
perlu disampaikan. Cukup disapu selintas, sehingga tidak usah
menI jadi laporan tersendiri. "Harus dimanfaatkan untuk mengajak
masyarakat menjadi olahrarga-minded." kata Eddy.
Eddy sekarang Kepala Seksi Olahraga mengantongi sertifikat wasit
tinju internasional. Januari tahun lalu ia berhasil merenggut
gelar sarjana dari Untag Jakarta dengan skripsi berjudul
"Pengaruh Siaran Radio Dalam Meningkatkan Prestasi Olahraga di
Indonesia." Di sana antara lain disebut bahwa Rudy Hartono
terangsang aktif bulutangkis gara-gara siaran radio.
Beda antara penyiar berita dan pelapor pertandingan menurut Eddy
terletak pada kadar emosi. Untuk merangsang penonton emosi harus
ditonjolkan dalam siaran olahraga. Dan ide dikurangi. "Tapi
salah ucap, bisa menimbulkan salah imij," ujarnya. Ia mengakui
kesempatan ngawur dan bohong banyak tersedia. Justru karena itu
tantangannya jadi besar. Untuk bisa selamat maka Buku Peraturan
Permainan selalu ditenteng. "Jangan jadi penyiar, sebelum
mengetahui betul peraturan permainan," ujarnya.
Spekulasi
Setiap penyiar tentu saja punya ciri masing-masing. Ini rupanya
disadari oleh yang bersangkutan. Untuk pertandingan bola
misalnya, keadaan sesudah gol tercetak bagi Eddy tidak penting.
Ia sering membiarkan saat itu terisi gemuruh suara penonton.
"Saya justru berusaha melaporkan selengkap dan sejeli mungkin,
apa yang akan terjadi menjelang gol," ucapnya. Pandangan ini
sudah tentu harus juga ditunjang oleh tehnik ddl modal suara
yang afdol. "Untuk itu saya tidak merokok, jangan makan dulu dan
hanya minum air jeruk nipis," begitu resep Eddy.
Rusdi Saleh (36 tahun) yang menggumuli laporan mata sejak 1972
membenarkan faktor emosi penting di dalam laporan. Bahkan ia
tidak menyembunyikan diri kalau menjagoi salah satu pihak alam
pertandingan. Menurutnya wajar asal tidak sampai memihak. "Kalau
kita menyalahkan pemain tanpa alasan, itu yang saya namakan
memihak," ujarnya.
la mengakui dalam memberikan laporan banyak mnggantungkan
pada unsur spekulasi. Misal saja, seorang pemain sudah berdiri
di depan gawang lawan, sementara kiper berada dalam posisi yang
menguntungkan. Kendati bola belum ditendang, ia sudah berani
berteriak: goal! "Agar bisa bersamaan dengan larinya bola yang
masuk ke gawang," kata Rusdi. Sebetulnya ini bukan ngawur, tapi
karena perhitungan berdasar pengalamannya. Tapi kalau toh
ternyata tidak terjadi goal, terpaksa diralat. "Itu nasib
namanya," ujarnya.
Dalam melaporkan pertandingan bulutangkis yang temponya lebih
tinggi, spekulasi lebih banyak lagi dipakai. "Kalau lawan
melakukan smash, maka meski Rudy belum mengembalikan, secara
perhitungan saya sudah mengatakan 'lob' untuk kembalian Rudy,"
kata Rusdi. "Tapi ini hanya dapat kita lakukan setelah
berkali-kali menyaksikan permainan."
Menurut Chuk Reskadarto (50 tahun), kelahiran Surabaya,
seringkali tak dapat dihindari ada ucapan bertumpuk serta silap
mata. Ini memang mengesankan laporan sebagai ngawur. Ia
meyakinkan itu tidak benar, karena semuanya dilakukan dengan
bersungguh-sungguh. Ia sendiri sebelum bertugas sering turun
dulu ke lapangan berkenalan dengan para pemain. Terutama kalau
menghadapi pemain-pemain luar negeri.
Seringkali Chuk pergi ke hotel para pemain nginap. Melakukan
dialog, mengenali keistimewaan, data prestasi dan sebagainya.
"Itu perlu untuk variasi penyiaran," ujarnya. Pemain-pemain yang
pernah dihubunginya rata-rata menyambutnya dengan senang hati.
Pelapor pandangan mata lewat radio menurut Chuk amat berbeda
dengan pelapor pandangan mata lewat TVRI. Penyiar radio dituntut
ketrampilannya untuk merefleksikan apa yang terjadi dengan kata,
secara jelas dan cepat. "Penyiar TV tidak perlu menceritakan
bagaimana Iswadi berputar-putar di depan gawang lawan," ujarnya,
"penonton tv tidak membutuhkan komentar demikian sebab malah
dapat mengganggu."
Sekali waktu penyiar olahraga berkumpul, untuk menyeragamkan
istilah. "Dulu misalnya banyak penyiar menyebut daerah pinalti
dengan istilah kotak pinalti, padahal istilah kotak menimbulkan
asosiasi adanya sesuatu yang tiga dimensi," kata Cuk.
Sementara itu ada penyiar olahraga seperti Rachman Hakim
berusaha memberi variasi mengganti istilah " memperlambat tempo"
dengan "memperlambat irama".
Rahman Hakim (32 tahun) yamg mengaku berpenghasilan Rp 150.000
sebulan, menyatakansangat menyenangi pekerjaanya. "Karena saya
sering bisa keluar negeri, " ujarnya. Ia masukRRI Medan sejak
1965. Baru 1976 pindah ke Jakarta. Tapi dua tahun kemudian ia
sudah bertugas ke Asian Games ke IX di Bangkok.
Penyiar adalah pegawai negeri. Dan pegawai negerisudah lama
dikeluhkan gajinya sedikit. Cuma kalau ada jatahkeluar negeri
disamping untuk menghibur diri tentunya alasan untuk melipatkan
rezeki. Azwar Hamid dari TVRI (36 tahun) misalnya, adalah
pegawai golongan II B. Tapi kalau ke luar negeri ia mendapat
uang saku $ 60 per hari.
Cara melaporkan di TV diakui Azwar, yang juga pernah dinas untuk
radio berbeda. Di sana TV pelapor hanya ngomong sepatah-sepatah
waktunya banyak tersedia. Ia sering memanfaatkan itu untuk
memberikan penjelasan mengenai peraturan-peraturan permainan
baru. Sebab dirasanya banyak penonton yang langsung menyalahkan
pelapor, padahal tidak memahami betul peraturan. "Kalau bola
melesat ke arah gawang dan menyentuh tangan salah seorang pemain
belakang, sebelum masuk gawang, itu tetap goal," ujarnya. "Kalau
bola tidak masuk gawang baru disebut hand ball, "
Contoh lain apa yang disebut "advantage rule" yakni peraturan
yang menguntungkan. Kalau seorang pemain yang membawa bola
ditekel (tackle) lawannya, tapi masih dapat menguasai bola, itu
bukan pelanggaran. Disebut pelanggaran kalau si pembawa bola
terjatuh. Azwar mengakui bahwa di TVRI reporter yang ahli di
bidang olahraga masih sedikit. "Di Eropa dan negara Barat sana,
reporter kadang sudah mirip wasit dalam laporannya. Saya sendiri
terusterang selalu berusaha bersikap tak tinggal diam kalau
mengetahui ada kekeliruan wasit atau pemain," ujar Azwar yang
mengaku setiap hari minum jeruk-telor.
Satu ketika TVRI hanya bisa meminta dari TV Bangkok hasil
rekaman final bola volley puteri Asian Games 1978 antara regu
Jepang lawan Cina. Komentar rekaman memakai bahasa Thai. Tatkala
TVRI pada suatu kali ingin menyiarkannya, Azwar Hamid terpaksa
bekerja keras untuk menimpa komentar itu dengan bahasa
Indonesia. Suatu ketika komentator berkata: "Pet to'ha kap."
Azwar menutupnya dengan: "Skor sekarang delapan-lima."
Sebenarnya ia tidak tahu bahasa Thai. "Hasilnya saya
sendiri tidak tahu, memuaskan atau tidak," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini