Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Antara Reflek Dan Ngawur

Penyiar acara pandangan mata pertandingan olah raga harus membekali dirinya dengan peraturan permainan & suara yang afdol. Suasana suatu pertandingan tinju di laporkan dengan cara berbeda lewat TV atau radio. (sd)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIARAN pandangan mata pertandingan olahraga, kadangkala jauh lebih seru dari pertandingan yang sebenarnya. Kalaupun sekarang sudah adat, mengikuti pertandingan lewat laporan radio tetap memiliki keunikan. Karena dengan mengikuti lewat telinga saja imajinasi pendengar berkembang terbawa emosi penyiar. Laporan pandangan mata olahraga lewat radio tetap diikuti di seluruh tanah air. Sebagai mata pencaharian, lapangan ini tak mungkin dikerjakan sembarang orang. Paling tidak harus ada latihan yang keras di samping bakat. Penyiar Eddy Sihombing yang nyerocos dengan cekatan dan khas karena intonasi lokalnya, juga tidak dengan begitu saja jadi penyiar. Ia pernah berlatih langsung di tengah penonton di lapangan Ikada dengan tape-recorder sendiri. Ditonton oleh banyak orang, ia tidak boleh meleng, sebab hasil rekaman itu akan dinilai oleh pelatihnya. "Dibilang karena gajinya besar, tidak. Dibilang karena tak ada lapangan kerja yang lain juga salah," kata Eddy yang sudah lebih 20 tahun dinas. Ia lahir di Tapanuli 15 September 1935. Pada 1956 setelah tamat SMA Bag. B ia menjual sepedanya, untuk menumpang kapal laut ke Jakarta. Waktu itu ia sama sekali tak punya keinginan jadi penyiar. Ia ingin jadi ABRI, lewat Akademi Militer Nasional, AMN di Magelang. Ternyata AMN menolaknya. Dasar keras, ia mencoba menembus masuk AURI. Gagal juga. Coba di ALRI. Gagal lagi. Akhirnya mendaftar ke PTIK. Lho masih gagal terus. Akhirnya ia pasrah. "Barangkali memang saya tak ada bakat untuk jadi militer," katanya. Sementara itu ia sudah mulai aktif di RRI sebagai resepsionis. Hidupnya numpang pada seorang "bapak angkat" yang ditemuinya secara kebetulan di gereja. Untuk menebalkan kantongnya, Eddy ngobjek di Pasar Baru. Akhirnya ia bekerja sebagai tenaga administrasi pada Toko Eropa. Baru 1958 ia jadi salah satu redaktur pekabaran, berkat perhatian dari Sjamsu Sugito -- Kepala Pusat Pekabaran RRI Jakarta waktu itu. Setahun kemudian ia dapat kesempatan ikut test jadi penyiar sebelum dididik Abdul Hanan Lubis. Eddy ternyata lebih memberat ke olahraga. Bahkan 1959 ia belajar perwasitan tinju dan menjadi anggota Pertina. Pada 1961 di PON ke V di Bandung untuk pertama kali Eddy menyiarkan pandangan mata pertandingan tinju. Tahun berikutnya tatkala berlangsung Asian Games di Jakarta, ia memantapkan diri sebagai reporter olahraga. Tahun 1963 untuk Ganefo, 1964 ke Olimpiade Tokyo. Pada 1965 tepat saat terjadinya peristiwa G-30-S, Eddy bersama rombongan RRI dan delegasi Indonesia sedang berada di Peking, mengikuti Kongres Ganefo I dan PON RRC. Pekerjaan ini telah membuatnya mondar-mandir ke Mancanegara. Eddy tidak pernah dapat pendidikan khusus. "Petunjuk pun tak ada," ujarnya. Sebagaimana penyiar lain, untuk laporan sepakbola, ia mengenali pemain lewat daftar pemain. Untuk memudahkan, ia bikin skema dengan nomor kode punggung posisi berikut nama. Ini dihafal sebentar, kemudian ia mempercayakan semuanya pada mata serta refleksi mulutnya. "Untuk radio, saya lebih banyak mengandalkan pengenalan nama pemain dan posisi, daripada nomor punggung," kata Eddy, "sebab kalau hanya nomor punggung, pendengar radio tidak langsung tahu." Resep Eddy sebagai penyiar adalah memberi laporan "secara jujur". Artinya selengkap mungkin, termasuk peristiwa-peristiwa gawat asal masih dalam batas aturan permainan. Perkelahian di lapangan -- yang sering muncul dalam pertandingan sepakbola termasuk di luar aturan permainan. Menurut Eddy, tidak selalu perlu disampaikan. Cukup disapu selintas, sehingga tidak usah menI jadi laporan tersendiri. "Harus dimanfaatkan untuk mengajak masyarakat menjadi olahrarga-minded." kata Eddy. Eddy sekarang Kepala Seksi Olahraga mengantongi sertifikat wasit tinju internasional. Januari tahun lalu ia berhasil merenggut gelar sarjana dari Untag Jakarta dengan skripsi berjudul "Pengaruh Siaran Radio Dalam Meningkatkan Prestasi Olahraga di Indonesia." Di sana antara lain disebut bahwa Rudy Hartono terangsang aktif bulutangkis gara-gara siaran radio. Beda antara penyiar berita dan pelapor pertandingan menurut Eddy terletak pada kadar emosi. Untuk merangsang penonton emosi harus ditonjolkan dalam siaran olahraga. Dan ide dikurangi. "Tapi salah ucap, bisa menimbulkan salah imij," ujarnya. Ia mengakui kesempatan ngawur dan bohong banyak tersedia. Justru karena itu tantangannya jadi besar. Untuk bisa selamat maka Buku Peraturan Permainan selalu ditenteng. "Jangan jadi penyiar, sebelum mengetahui betul peraturan permainan," ujarnya. Spekulasi Setiap penyiar tentu saja punya ciri masing-masing. Ini rupanya disadari oleh yang bersangkutan. Untuk pertandingan bola misalnya, keadaan sesudah gol tercetak bagi Eddy tidak penting. Ia sering membiarkan saat itu terisi gemuruh suara penonton. "Saya justru berusaha melaporkan selengkap dan sejeli mungkin, apa yang akan terjadi menjelang gol," ucapnya. Pandangan ini sudah tentu harus juga ditunjang oleh tehnik ddl modal suara yang afdol. "Untuk itu saya tidak merokok, jangan makan dulu dan hanya minum air jeruk nipis," begitu resep Eddy. Rusdi Saleh (36 tahun) yang menggumuli laporan mata sejak 1972 membenarkan faktor emosi penting di dalam laporan. Bahkan ia tidak menyembunyikan diri kalau menjagoi salah satu pihak alam pertandingan. Menurutnya wajar asal tidak sampai memihak. "Kalau kita menyalahkan pemain tanpa alasan, itu yang saya namakan memihak," ujarnya. la mengakui dalam memberikan laporan banyak mnggantungkan pada unsur spekulasi. Misal saja, seorang pemain sudah berdiri di depan gawang lawan, sementara kiper berada dalam posisi yang menguntungkan. Kendati bola belum ditendang, ia sudah berani berteriak: goal! "Agar bisa bersamaan dengan larinya bola yang masuk ke gawang," kata Rusdi. Sebetulnya ini bukan ngawur, tapi karena perhitungan berdasar pengalamannya. Tapi kalau toh ternyata tidak terjadi goal, terpaksa diralat. "Itu nasib namanya," ujarnya. Dalam melaporkan pertandingan bulutangkis yang temponya lebih tinggi, spekulasi lebih banyak lagi dipakai. "Kalau lawan melakukan smash, maka meski Rudy belum mengembalikan, secara perhitungan saya sudah mengatakan 'lob' untuk kembalian Rudy," kata Rusdi. "Tapi ini hanya dapat kita lakukan setelah berkali-kali menyaksikan permainan." Menurut Chuk Reskadarto (50 tahun), kelahiran Surabaya, seringkali tak dapat dihindari ada ucapan bertumpuk serta silap mata. Ini memang mengesankan laporan sebagai ngawur. Ia meyakinkan itu tidak benar, karena semuanya dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Ia sendiri sebelum bertugas sering turun dulu ke lapangan berkenalan dengan para pemain. Terutama kalau menghadapi pemain-pemain luar negeri. Seringkali Chuk pergi ke hotel para pemain nginap. Melakukan dialog, mengenali keistimewaan, data prestasi dan sebagainya. "Itu perlu untuk variasi penyiaran," ujarnya. Pemain-pemain yang pernah dihubunginya rata-rata menyambutnya dengan senang hati. Pelapor pandangan mata lewat radio menurut Chuk amat berbeda dengan pelapor pandangan mata lewat TVRI. Penyiar radio dituntut ketrampilannya untuk merefleksikan apa yang terjadi dengan kata, secara jelas dan cepat. "Penyiar TV tidak perlu menceritakan bagaimana Iswadi berputar-putar di depan gawang lawan," ujarnya, "penonton tv tidak membutuhkan komentar demikian sebab malah dapat mengganggu." Sekali waktu penyiar olahraga berkumpul, untuk menyeragamkan istilah. "Dulu misalnya banyak penyiar menyebut daerah pinalti dengan istilah kotak pinalti, padahal istilah kotak menimbulkan asosiasi adanya sesuatu yang tiga dimensi," kata Cuk. Sementara itu ada penyiar olahraga seperti Rachman Hakim berusaha memberi variasi mengganti istilah " memperlambat tempo" dengan "memperlambat irama". Rahman Hakim (32 tahun) yamg mengaku berpenghasilan Rp 150.000 sebulan, menyatakansangat menyenangi pekerjaanya. "Karena saya sering bisa keluar negeri, " ujarnya. Ia masukRRI Medan sejak 1965. Baru 1976 pindah ke Jakarta. Tapi dua tahun kemudian ia sudah bertugas ke Asian Games ke IX di Bangkok. Penyiar adalah pegawai negeri. Dan pegawai negerisudah lama dikeluhkan gajinya sedikit. Cuma kalau ada jatahkeluar negeri disamping untuk menghibur diri tentunya alasan untuk melipatkan rezeki. Azwar Hamid dari TVRI (36 tahun) misalnya, adalah pegawai golongan II B. Tapi kalau ke luar negeri ia mendapat uang saku $ 60 per hari. Cara melaporkan di TV diakui Azwar, yang juga pernah dinas untuk radio berbeda. Di sana TV pelapor hanya ngomong sepatah-sepatah waktunya banyak tersedia. Ia sering memanfaatkan itu untuk memberikan penjelasan mengenai peraturan-peraturan permainan baru. Sebab dirasanya banyak penonton yang langsung menyalahkan pelapor, padahal tidak memahami betul peraturan. "Kalau bola melesat ke arah gawang dan menyentuh tangan salah seorang pemain belakang, sebelum masuk gawang, itu tetap goal," ujarnya. "Kalau bola tidak masuk gawang baru disebut hand ball, " Contoh lain apa yang disebut "advantage rule" yakni peraturan yang menguntungkan. Kalau seorang pemain yang membawa bola ditekel (tackle) lawannya, tapi masih dapat menguasai bola, itu bukan pelanggaran. Disebut pelanggaran kalau si pembawa bola terjatuh. Azwar mengakui bahwa di TVRI reporter yang ahli di bidang olahraga masih sedikit. "Di Eropa dan negara Barat sana, reporter kadang sudah mirip wasit dalam laporannya. Saya sendiri terusterang selalu berusaha bersikap tak tinggal diam kalau mengetahui ada kekeliruan wasit atau pemain," ujar Azwar yang mengaku setiap hari minum jeruk-telor. Satu ketika TVRI hanya bisa meminta dari TV Bangkok hasil rekaman final bola volley puteri Asian Games 1978 antara regu Jepang lawan Cina. Komentar rekaman memakai bahasa Thai. Tatkala TVRI pada suatu kali ingin menyiarkannya, Azwar Hamid terpaksa bekerja keras untuk menimpa komentar itu dengan bahasa Indonesia. Suatu ketika komentator berkata: "Pet to'ha kap." Azwar menutupnya dengan: "Skor sekarang delapan-lima." Sebenarnya ia tidak tahu bahasa Thai. "Hasilnya saya sendiri tidak tahu, memuaskan atau tidak," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus