Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Biar tak laku, tapi hobi

Pameran lukisan karya masli mengawali kegiatan pondok seni yang baru dibuka. usaha penjualan karya seni harus disertai hobi & sumber penghasilan lain seperti galeri hadiprana & galeri harris. (sr)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU usaha menjual karya seni rupa dengan agak memilih mutu barangnya, adakah cukup mendatangkan untung? "Menjual kesenian itu repot. Seperti dagang perkutut, keris atau batu akik. Yang suka dan cocok tak tawar harga, tapi yang tak suka melihat pun tidak mau," kata Muljono, orang yang mengurus Pondok Seni. Meski demikian, Pondok Seni yang sldah direncanakan dua tahun lewat, akhirnya 31 Januari yang lalu mengadakan kegiatannya yang pertama: menyeponsori pameran pelukis Masli -- pelukis yang cukup dikenal, tapi belum masuk golongan Taman Ismail Marzuki. Dan di Jakarta kini tambah satu tempat orang mencari karya seni rupa yang cukup "terpilih". Di samping Galeri Hadiprana di Faletehan I Kebayoran Baru dan Galeri Harris di Cipete, ada Pondok Seni di Tanah Abang III. Tidak Untuk Dijual Padahal menurut. Muljono "Dagang lukisan di Indonesia belum bisa dijadikan mata pencaharian." Itu dibenarkan oleh Ny. Hadiprana --isteri pemilik Galeri Hadiprana. "selum tentu dalam sebulan ada sebiji atau dua biji lukisan laku," katanya. Lalu, bagaimana Galeri Hadiprana yang berdiri sejak 1962 waktu iru masih bernama Prasta Pandawa -- bisa bertahan? Sejak 1969 Galeri Hadiprana tak hanya menjual patung atau lukisan. Dibuka juga butik dan penjualan batik -- sebagai lukisan, hiasan dinding atau pakaian. "Tapi kami tak jarang malahan harus nombok," tambah nyonya itu. Jadi galerinya boleh dikata usaha sampingan saja, meski bukan berarti tidak penting. Sebab, sebelum 1962 ia sudah suka membeli karya seni rupa. Dan karena melihat karya seni rupa agaknya bisa dijadikan usaha juga, bersama temannya dibukalah satu galeri. Dia sendiri masih mempunyai koleks lukisan atau patung yang tidak untuk dijual. Memang dari hobi mengumpulkan lukisan atau patung itu agaknya lahirnya galeri. Ini juga diakui Muljono. "Kalau pak Gianto tak suka barang kesenian tak bakal ada galeri ini. Karena suka lantas ada ide sekalian menolong men jualkan karya-karya seniman kita. Kebetulan ada tempar, jadilah Pondok Seni ini," begitu ceritanya. Soegiyanto, pemrakarsa galeri Pondok Seni ini juga dikenal sebagai pembantu dekat Menteri Penerangan Ali Moertopo. Galeri Harris juga punya riwayat kelahiran yang sama. Ia bertolak dari hobi. Galeri yang berdiri pada tahun 1971 dan dibuka oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu, pemiliknya semula bergerak di bidang kepariwisataan. Berkat hubungan dengan seniman-senimanlah, ia memberanikan diri membangun galeri bermodalkan koleksi pribadi. Tanpa unsur hobi itu, agaknya galeri-galeri tersebut sulit bertahan. Unsur itu juga kiranya yang mendorong para pembeli karya seni rupa. "Kalau mengingat hasilnya, yah andai tempat ini dikontrakkan jelas pemasukannya lebih besar daripada dijadikan galeri," keluh Ny. Hadiprana. "Tapi bagaimana, ya, kita sudah terlanjur kenal beberapa pelukis yang baik, dan beberapa kenalan yang suka mengumpulkan barang kesenian. Kok, rasanya agak berat juga meninggalkan kegiatan ini." Nyonya Harris mengungkapkan cerita yang kurang lebih sama mengenai Galeri Harris yang tetap mereka pertahankan. "Belum tentu dalam sebulan ada satu barang laku. Tapi, ya, namanya senang, bagaimana? Lebih-lebih lagi putera pertama keluarga Harris juga seorang pelukis muda, dan bersama beberapa temannya pernah menggelarkan karya di Balai Budaya, Jakarta. Tentu saja pengalaman ini belum dirasakan Pondok Seni yang baru akan tampil itu. Namun pagi-pagi Muljono sudah siap "Kesenian itu diperlukan manusia juga. Jadi belum tentu hanya yang mampu yang bakal jadi pembeli," katanya. Padahal menurut pengakuannya, dia sendiri selama ini sekali pun belum pernah melihat pameran lukisan. Galeri Harris dan Hadiprana, kecuali menyediakan dagangan seni rupa sehariharinya, kadang-kadang juga menyeponsori pameran lukisan tunggal atau bersama. "Belum tentu untung. Kadangkadang ada juga pameran yang tak satu biji pun laku," kata Made, pengurus Galeri Hadiprana. sahkan ada salah seorang pengunjung Galeri Harris, pada suatu hari pernah berkata kepada nyonya Harris "Lho, masa lukisan begini harganya Rp 600 ribu. Apa ada yang beli?" Ketika dua minggu kemudian pengunjung itu kembali, dia terheranheran karena lukisan itu sudah digaet orang. Bagaimana galeri mengutip untung dari lukisan yang laku? Inilah kisahnya. Yang dijual di sana kebanyakan titipan pelukis. Harga karya seni yang dijual di situ sepenuhnya menurut permintaan senimannya sendiri. Galeri nantinya mendapat komisi sekitar 20-30%. Tentu saja galeri-galeri itu tak sembarang mau terima titipan. "Suami saya selalu memilih mana yang patut ditawarkan," cerita Ny. Hadiprana. Juga tak jarang Hadiprana menyarankan agar harga diturunkan sepantasnya -- maklum, seniman 'kan suka merasa karyanya paling hebat. Antara Galeri Hadiprana, Galeri Harris, toko-toko seni ternyata tak saling bersaing. Mungkin karena masing-masing punya pilihan. Galeri Hadiprana, misalnya, banyak menjual corak lukisan yang senada dengan karya Muljadi W dan Arif Sudarsono: dekoratif, bersih, dengan warna-warna segar. Dan menurut Ny. Hadiprana, memang kedua pelukis itulah yang mula-mula bekerja sama dengan Hadiprana. Bahkan sampai sekarang Muljadi W masih suka membuat kartu Natal atau Idul Fitri untuk dijual di Galeri Hadiprana. Galeri Harris lain lagi. Kecuali Harris memilih karya-karya yang mungkin agak susah dijual, misalnya karya pelukis wanita angkatan 30-an, Emiria Sunassa dan karya-karya Fadjar Sidik sebelum terjun ke seni abstrak, Harris juga menampung karya pelukis-pelukis muda, antara lain Men Sagan Secara bersama, toko-toko seni biasanya juga menawarkan reproduksi karya Basuki Abdullah. Soal banyak laku atau tidak, nampaknya tak terlalu jadi soal galeri-galeri itu. Mereka ternyata memang tak menggantungkan hidupnya pada penjualan lukisan atau patung. Karya-karya kerajinan tangan lebih menunjang kehidupan sehari-harinya. Toh, tak kurang Hadiprana maupun Harris harus mempunyai sumber penghasilan lain -- yang mungkin lebih pokok. Hadiprana yang arsitek itu sering mendapat borongan membangun rumah. Juga Harris. Yang mungkin lebih pintar, ialah Alex Papadimitriou. Kolektor ini meski tidak terang-terangan membuka galeri, tapi koleksinya banyak disewa perusahaan besar untuk mendekorasi gedung. Salah satu langganan tetap Alex ialah Ford Foundation.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus