SATU usaha menjual karya seni rupa dengan agak memilih mutu
barangnya, adakah cukup mendatangkan untung? "Menjual kesenian
itu repot. Seperti dagang perkutut, keris atau batu akik. Yang
suka dan cocok tak tawar harga, tapi yang tak suka melihat pun
tidak mau," kata Muljono, orang yang mengurus Pondok Seni.
Meski demikian, Pondok Seni yang sldah direncanakan dua tahun
lewat, akhirnya 31 Januari yang lalu mengadakan kegiatannya yang
pertama: menyeponsori pameran pelukis Masli -- pelukis yang
cukup dikenal, tapi belum masuk golongan Taman Ismail Marzuki.
Dan di Jakarta kini tambah satu tempat orang mencari karya seni
rupa yang cukup "terpilih". Di samping Galeri Hadiprana di
Faletehan I Kebayoran Baru dan Galeri Harris di Cipete, ada
Pondok Seni di Tanah Abang III.
Tidak Untuk Dijual
Padahal menurut. Muljono "Dagang lukisan di Indonesia belum bisa
dijadikan mata pencaharian." Itu dibenarkan oleh Ny. Hadiprana
--isteri pemilik Galeri Hadiprana. "selum tentu dalam sebulan
ada sebiji atau dua biji lukisan laku," katanya. Lalu, bagaimana
Galeri Hadiprana yang berdiri sejak 1962 waktu iru masih bernama
Prasta Pandawa -- bisa bertahan? Sejak 1969 Galeri Hadiprana tak
hanya menjual patung atau lukisan. Dibuka juga butik dan
penjualan batik -- sebagai lukisan, hiasan dinding atau pakaian.
"Tapi kami tak jarang malahan harus nombok," tambah nyonya itu.
Jadi galerinya boleh dikata usaha sampingan saja, meski bukan
berarti tidak penting. Sebab, sebelum 1962 ia sudah suka membeli
karya seni rupa. Dan karena melihat karya seni rupa agaknya
bisa dijadikan usaha juga, bersama temannya dibukalah satu
galeri. Dia sendiri masih mempunyai koleks lukisan atau patung
yang tidak untuk dijual.
Memang dari hobi mengumpulkan lukisan atau patung itu agaknya
lahirnya galeri. Ini juga diakui Muljono. "Kalau pak Gianto tak
suka barang kesenian tak bakal ada galeri ini. Karena suka
lantas ada ide sekalian menolong men jualkan karya-karya seniman
kita. Kebetulan ada tempar, jadilah Pondok Seni ini," begitu
ceritanya. Soegiyanto, pemrakarsa galeri Pondok Seni ini juga
dikenal sebagai pembantu dekat Menteri Penerangan Ali Moertopo.
Galeri Harris juga punya riwayat kelahiran yang sama. Ia
bertolak dari hobi. Galeri yang berdiri pada tahun 1971 dan
dibuka oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu, pemiliknya
semula bergerak di bidang kepariwisataan. Berkat hubungan dengan
seniman-senimanlah, ia memberanikan diri membangun galeri
bermodalkan koleksi pribadi.
Tanpa unsur hobi itu, agaknya galeri-galeri tersebut sulit
bertahan. Unsur itu juga kiranya yang mendorong para pembeli
karya seni rupa. "Kalau mengingat hasilnya, yah andai tempat ini
dikontrakkan jelas pemasukannya lebih besar daripada dijadikan
galeri," keluh Ny. Hadiprana. "Tapi bagaimana, ya, kita sudah
terlanjur kenal beberapa pelukis yang baik, dan beberapa kenalan
yang suka mengumpulkan barang kesenian. Kok, rasanya agak berat
juga meninggalkan kegiatan ini."
Nyonya Harris mengungkapkan cerita yang kurang lebih sama
mengenai Galeri Harris yang tetap mereka pertahankan. "Belum
tentu dalam sebulan ada satu barang laku. Tapi, ya, namanya
senang, bagaimana? Lebih-lebih lagi putera pertama keluarga
Harris juga seorang pelukis muda, dan bersama beberapa temannya
pernah menggelarkan karya di Balai Budaya, Jakarta.
Tentu saja pengalaman ini belum dirasakan Pondok Seni yang baru
akan tampil itu. Namun pagi-pagi Muljono sudah siap "Kesenian
itu diperlukan manusia juga. Jadi belum tentu hanya yang mampu
yang bakal jadi pembeli," katanya. Padahal menurut pengakuannya,
dia sendiri selama ini sekali pun belum pernah melihat pameran
lukisan.
Galeri Harris dan Hadiprana, kecuali menyediakan dagangan seni
rupa sehariharinya, kadang-kadang juga menyeponsori pameran
lukisan tunggal atau bersama. "Belum tentu untung. Kadangkadang
ada juga pameran yang tak satu biji pun laku," kata Made,
pengurus Galeri Hadiprana. sahkan ada salah seorang pengunjung
Galeri Harris, pada suatu hari pernah berkata kepada nyonya
Harris "Lho, masa lukisan begini harganya Rp 600 ribu. Apa ada
yang beli?" Ketika dua minggu kemudian pengunjung itu kembali,
dia terheranheran karena lukisan itu sudah digaet orang.
Bagaimana galeri mengutip untung dari lukisan yang laku? Inilah
kisahnya. Yang dijual di sana kebanyakan titipan pelukis. Harga
karya seni yang dijual di situ sepenuhnya menurut permintaan
senimannya sendiri. Galeri nantinya mendapat komisi sekitar
20-30%. Tentu saja galeri-galeri itu tak sembarang mau terima
titipan. "Suami saya selalu memilih mana yang patut ditawarkan,"
cerita Ny. Hadiprana. Juga tak jarang Hadiprana menyarankan agar
harga diturunkan sepantasnya -- maklum, seniman 'kan suka merasa
karyanya paling hebat.
Antara Galeri Hadiprana, Galeri Harris, toko-toko seni ternyata
tak saling bersaing. Mungkin karena masing-masing punya pilihan.
Galeri Hadiprana, misalnya, banyak menjual corak lukisan yang
senada dengan karya Muljadi W dan Arif Sudarsono: dekoratif,
bersih, dengan warna-warna segar. Dan menurut Ny. Hadiprana,
memang kedua pelukis itulah yang mula-mula bekerja sama dengan
Hadiprana. Bahkan sampai sekarang Muljadi W masih suka membuat
kartu Natal atau Idul Fitri untuk dijual di Galeri Hadiprana.
Galeri Harris lain lagi. Kecuali Harris memilih karya-karya yang
mungkin agak susah dijual, misalnya karya pelukis wanita
angkatan 30-an, Emiria Sunassa dan karya-karya Fadjar Sidik
sebelum terjun ke seni abstrak, Harris juga menampung karya
pelukis-pelukis muda, antara lain Men Sagan Secara bersama,
toko-toko seni biasanya juga menawarkan reproduksi karya Basuki
Abdullah.
Soal banyak laku atau tidak, nampaknya tak terlalu jadi soal
galeri-galeri itu. Mereka ternyata memang tak menggantungkan
hidupnya pada penjualan lukisan atau patung. Karya-karya
kerajinan tangan lebih menunjang kehidupan sehari-harinya. Toh,
tak kurang Hadiprana maupun Harris harus mempunyai sumber
penghasilan lain -- yang mungkin lebih pokok. Hadiprana yang
arsitek itu sering mendapat borongan membangun rumah. Juga
Harris.
Yang mungkin lebih pintar, ialah Alex Papadimitriou. Kolektor
ini meski tidak terang-terangan membuka galeri, tapi koleksinya
banyak disewa perusahaan besar untuk mendekorasi gedung. Salah
satu langganan tetap Alex ialah Ford Foundation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini