Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pornografi

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Muis
Guru besar ilmu hukum dan komunikasi pascasarjana Universitas Hassanudin dan UI

KASUS vonis porno majalah Matra meramaikan kembali debat tentang batasan pornografi. Batasan yang baku itu diperlukan untuk menjadi dasar peninjauan kembali pasal- pasal pornografi dalam Buku II dan Buku III KUHP.

Yurisprudensi yang ada jika dikaitkan dengan komunikasi massa mendefinisikan pornografi sebagai cara berkomunikasi yang bertentangan dengan kesusilaan (ucapan, tulisan, gambar). Pengertian itu terdapat pula dalam pasal-pasal pornografi. Setiap gambar, ucapan, atau bentuk lain tentang tubuh perempuan yang membangkitkan selera seksual laki-laki normal adalah pornografi.

Secara etimologis, pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne, perempuan penghibur. Grafi dari kata grafos, gambar. Secara definisi terminologis, pornografi berarti gambar perempuan penghibur. Dari sudut yurisprudensi, makna pornografi adalah gambar, tulisan, benda (patung), gerak-gerik tubuh manusia yang membangkitkan gairah seksual orang-orang dewasa yang normal. Adapun menurut Pasal 532 KUHP, semua ucapan, pidato, lagu, dan tulisan yang melanggar kesusilaan tergolong pornografi atau menyamai pornografi. Sedangkan menurut Pasal 533, benda atau gambar yang mampu membangkitkan nafsu berahi pemuda adalah pelanggaran kesusilaan.

Pasal 282 KUHP merupakan kejahatan (Buku II) yang rumusannya luas. Pasal "pornografi" tersebut termasuk delik pers dan delik penyebaran (verspreidingsdelict). Tetapi persdelict dan verspreidingsdelict sebetulnya tak terlalu beda,karena media cetak biasanya juga tersebar. Hanya ukuran hukumannya berbeda, yakni 1 tahun 6 bulan (ayat 1) dan 2 tahun 8 bulan (ayat 2). Ternyata, delik penyebaran pornografi lebih berat ancaman hukumannya. Padahal, Pasal 282 ayat 1 adalah delik dolus (kesengajaan), sedangkan Pasal 262 ayat 2 cuma mirip delik culpa (kelalaian) karena si pelaku (komunikator massa) cuma dapat menduga bahwa apa yang disiarkannya itu "porno".

Makna pornografi dan foto jurnalistik yang "diperindah" atau dimontase tentang tubuh wanita memang tak mudah membedakannya. Bagi kebanyakan hakim, termasuk T.H.D. Pardede, agaknya definisi Pasal 282 KUHP dan beberapa yurisprudensi adalah rujukan yang paling baku.

Tentu tak begitu mudah menyalahkan sikap Hakim T.H.D. Pardede dalam kasus majalah Matra ini karena pegangannya mengenai batasan pornografi memang cukup luas, seperti ditentukan oleh undang-undang tersebut. Pihak pers pun tidak salah jika memprotes putusan tersebut. Kedua pihak memiliki interpretasi masing-masing mengenai makna pornografi karena belum ada definisi atau batasan yang dianggap baku.

Karena itu, memang sudah tiba waktunya dibuat batasan baku yang dapat dipahami semua pihak. Bagaimana caranya? Perlu ada temu bicara atau seminar yang merujuk banyak segi, terutama budaya komunikasi bangsa Indonesia yang beragama ini. Semua paham agama tidak membolehkan "keterbukaan" aurat wanita. Sedangkan batasan mengenai "letak" aurat wanita tentu saja ada dalam ayat-ayat suci Alquran, hadis Nabi Muhammad, dan agama-agama lain. Di Pakistan dan di beberapa negara yang menganut teori komunikasi (pers) teokrasi atau nonliberal, perempuan yang sedang mandi di kolam renang dan bermain voli atau basket tidak boleh dipublikasikan dan tidak boleh dihadiri laki-laki.

Jika dihubungkan dengan fungsi media massa (fungsi mendidik), UU No. 24/1997 dan UU No. 40/1999, pornografi dilarang bagi media cetak dan elektronik. UU No. 40/1999 memang lebih menekankan larangan itu bagi iklan niaga, tapi secara implisit termasuk pula berita, tulisan, gambar, atau foto jurnalistik.

Tak keliru pula argumentasi Pemimpin Redaksi Matra, Robertus Nano Riantiarno, mengenai banyaknya gambar cover majalah hiburan dan tabloid yang memamerkan tubuh perempuan yang menggairahkan bagi laki-laki normal. Tetapi kenapa tidak ditindak oleh polisi?

Sejumlah tabloid baru dan majalah hiburan di Indonesia sejak 1998 diterpa euforia kebebasan informasi. Sedikit banyaknya perkembangan pornografi berkorelasi dengan euforia kebebasan tadi. Sedangkan pengontrolan atau pegakan hukum kurang kuat. Misalnya, Lembaga Sensor Film tidak bekerja baik sehingga banyak adegan dalam berbagai film dan sinetron yang berbau porno lolos lewat tayangan TV maupun pertunjukan di bioskop. Beberapa tahun yang lalu pernah muncul protes dari organisasi mahasiswa, misalnya HMI. Juga pernah ada protes dari Majelis Ulama Indonesia. Tetapi semua protes itu seakan-akan hanya teriakan di padang pasir.

Karena itu, mestinya lembaga pengawas media (media watch) termasuk Tim Pengawas Media yang dibentuk Kepolisian di Jakarta, lebih banyak mengarahkan perhatian pada pornografi daripada berkutat pada berita politik dan keamanan negara. Pasal-pasal KUHP yang mengatur pornografi media cetak dan elektronik sudah relatif lengkap. Untuk sementara, pasal-pasal tersebut masih relevan, sambil menunggu perubahan KUHP secara menyeluruh.

Pada sisi lain, maraknya pornografi belakangan ini merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia karena pornografi jelas berbahaya bagi moral generasi muda. Masyarakat perlu mengaktifkan lembaga pengawas media, di samping lembaga agama dan organisasi mahasiswa. Saat ini, pemahaman masyarakat terhadap arti pornografi cenderung disesatkan oleh arti "seni fotografi". Pornografi menyamar sebagai "seni fotografi". Masyarakat juga bisa disesatkan oleh soal "khilafiyah" mengenai kualitas moral. Mana yang bermoral dan mana yang tidak kadang-kadang dianggap bersifat relatif, tergantung dari sudut mana orang memandangnya. Padahal, agama sudah menentukan tolok ukurnya, misalnya tentang batas aurat wanita.

Lalu siapa yang salah? Yang "salah" adalah keberadaan cyberspace atau dunia maya budaya komunikasi global yang sangat bebas menyebarkan pornografi di seluruh dunia tanpa bisa dilawan oleh kekuasaan dan undang-undang di kebanyakan negara. Yang diperlukan sekarang adalah teknologi baru yang mampu menghadang penyebaran pornografi yang bersumber dari global cyber-communication system.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum