Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mungkinkah Presiden Dipidanakan?

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Widjojanto
Ketua Dewan Pengurus YLBHI

KEHEBOHAN serasa terus-menerus terjadi, di tengah ketidakjelasan dan ketidakpastian proses penegakan hukum yang muncul di seantero negeri. Itulah yang terasa dan jelas terlihat dalam hiruk-pikuk kehidupan kemasyarakatan terakhir ini. Katanya, atau mungkin juga memang sudah ada beberapa fakta, kekuasaan menampakkan gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pernyataan itu menusuk kesadaran kita. Bukankah salah satu kebersamaan yang menjadi dasar pengikat untuk mendorong era reformasi adalah karena rakyat sudah muak dengan arogansi kekuasaan dan segala perilaku KKN-nya?

Tapi, dalam perspektif lain, kita perlu juga mensyukurinya. Paling tidak, kini ada keberanian untuk mengungkapkan hal itu. Dan keberanian itu tidak hanya ada pada rakyat dan media massa, tapi juga pada mereka yang kini berposisi sebagai pejabat negara. Telah terjadi suatu proses di mana banyak pihak berani membuka dan mempersoalkan segala kecenderungan dan dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan kekuasaan. Lihat saja dalam kasus Buloggate, perseteruan antara Syahril Sabirin dan Gus Dur, serta tipu muslihat dalam penerbitan SP3 Texmaco.

Selain kecenderungan tadi, ada trend lainnya. Kendati banyak soal kejahatan diungkap serta menjadi perhatian masyarakat melalui berbagai media, jarang sekali masalah itu diselesaikan dengan baik sehingga jelas betul salah-tidaknya seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan. Dengan begitu, mereka bisa dituntut lebih jauh dengan dikenai sanksi yang tegas. Begitu pula bagi mereka yang tak terbukti, seharusnya, segera saja direhabilitasi nama baiknya.

Proses pembiaran suatu masalah bukan hanya bisa dipersepsikan sebagai justifikasi suatu kejahatan, tapi juga memunculkan gejala grey collar crime. Maksudnya, tak lagi bisa ditentukan dan dipastikan apakah suatu tindakan yang mempunyai indikasi kuat sebagai suatu kejahatan dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan. Semuanya terlihat abu-abu, tak jelas dan tak pasti. Segala tindakan itu, kelak, akan berujung pada sandiwara penegakan hukum, dan itulah ketidakadilan.

Salah satu soal yang menjadi penyebab tak tuntasnya proses penegakan hukum dalam berbagai kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pejabat publik adalah tidak adanya mekanisme prosedural dalam mendorong proses penyidikan atas masalah tersebut. Tindakan kepolisian guna kepentingan penyidikan atas dugaan kejahatan yang diduga dilakukan kalangan anggota majelis atau dewan telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970. Kecuali terhadap kejahatan yang tertangkap tangan atau tuduhan terhadap kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, tindakan kepolisian dilakukan atas persetujuan presiden. Pelaksanaannya dilakukan atas perintah Jaksa Agung, sementara bagi anggota majelis dan dewan dari kalangan militer oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.

Begitu pula bagi kalangan yudikatif. Ada ketentuan formal yang mengaturnya. Ketua Mahkamah Agung hingga hakim agung hanya dapat ditangkap dan ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari presiden. Bahkan, apabila perintah penangkapan itu diikuti penahanan, hakim agung itu harus diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 17 jo Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985). Pemberhentian itu dilakukan oleh presiden selaku kepala negara atas usul Mahkamah Agung. Sedangkan hakim di peradilan lainnya dapat ditangkap dan ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua MA dan Menteri Kehakiman (Pasal 26 UU No. 2/1986). Para hakim tersebut dapat diberhentikan oleh presiden atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua MA.

Walaupun begitu, masih tetap ada soal: bagaimana kalau MA atau Ketua MA tidak memberikan usulan atau persetujuan terhadap para hakim tersebut? Jadi, tidak benar sikap Sekretaris Jenderal MA yang menghambat proses pemeriksaan terhadap beberapa hakim agung yang diduga terlibat dalam kasus vonis palsu di MA. Kalau hakim agung itu hanya dijadikan saksi oleh pihak kepolisian, tidak perlu prosedur persetujuan dari presiden, kecuali kalau mereka dijadikan tersangka dan akan dikenai upaya paksa.

Lalu, bagaimana dengan prosedur dugaan kejahatan pidana yang dilakukan oleh eksekutif? Serta implikasi sanksi politik bila kejahatan itu bisa dibuktikan? Hingga kini, belum ada ketentuan hukum yang mengatur prosedur pemeriksaan atas tindak kejahatan yang diduga dilakukan presiden ataupun pembantunya. Sebab, memang belum ada perundangan lembaga kepresidenan. Pokok soalnya: apakah kalau tidak ada peraturan perundangannya, itu berarti dugaan kejahatan tersebut tak bisa diproses secara hukum?

Bisa saja langsung digunakan KUHAP, sembari digunakan proses yang menganalogikan prosedur di lembaga yudikatif. Karena para hakim itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden, diperlukan persetujuan presiden untuk memeriksa mereka. Dengan begitu, pemeriksaan terhadap presiden juga memerlukan persetujuan dari institusi lainnya, lembaga yang mengangkatnya, yaitu MPR. Pertanyaannya: apakah persetujuan itu dari Ketua MPR saja atau dari semua unsur pimpinan MPR atau semua anggota majelis? Dan mengaitkannya dengan prinsip pemeriksaan yang sederhana, cepat, dan murah, juga perlu dikualifikasikan jenis kejahatan yang memang memerlukan persetujuan dari anggota atau hanya ketua majelis. Kalau begitu, sepertinya tak ada kesulitan prosedural untuk memeriksa seorang presiden. Dari titik inilah, kelak, kita baru bisa berbicara mengenai proses impeachment.

Gagasan ini diajukan agar segala kehendak untuk mewujudkan supremasi hukum tidak kandas hanya karena belum ada perundangan yang mengatur prosedur pemeriksaan dugaan kejahatan oleh kalangan eksekutif, khususnya presiden. Atau, hanya karena kesalahan presiden yang tak substantif, terjadi proses akrobatik politik, dan kekuasaan diobok-obok oleh kepentingan yang tak jelas. Sebab, semuanya itu, kelak, hanya merugikan kepentingan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum