Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Merintis Desa Wisata dari Sudut Ibu Kota

Berawal dari ingin punya tempat berkumpul, sekelompok warga Jagakarsa merintis pembangunan Desa Wisata Kedung Gede di pinggir Sungai Ciliwung. Menjadi perhatian setelah masuk nominasi desa wisata Kementerian Pariwisata.

11 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas warga di Desa Wisata Kedung Gede, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 2 Desember 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA gemercik air diyakini bisa menjadi salah satu obat penenang pikiran. Ditambah sepoi-sepoi embusan angin dan suara gesekan dedaunan pohon bambu, jadilah kombinasi ampuh yang bisa menyihir tubuh menjadi lebih rileks.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana itu terasa mendominasi saat Tempo menginjakkan kaki di Kedung Gede, semacam padepokan mungil di sudut Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu. Beberapa bulan lalu, lokasi ini masuk daftar desa wisata baru versi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Provinsi DKI Jakarta.

Sekilas, suasana Kedung Gede seperti di pelosok desa. Namun faktanya, jarak lokasi tersebut dengan Jalan Raya Lenteng Agung yang selalu ramai hanya beberapa ratus meter. Namun uniknya, hiruk pikuk kendaraan bermotor tak terdengar saat kita berada di Kedung Gede. 

Kawasan Kedung Gede berada pada lahan seluas 3.200 meter persegi di tepi Sungai Ciliwung. Namun saat ini baru 800 meter persegi lahan yang sudah dimanfaatkan menjadi bangunan saung, panggung, musala, dan kamar kecil. "Ini lahan milik keluarga besar saya," kata Firmansyah, pengelola Kedung Gede, kepada Tempo.

Pria berusia 37 tahun itu mengatakan nama Kedung Gede sudah ada sejak lama. Bukan nama baru yang dibuat-buat. Kedung Gede berasal dari kata "kedung" atau kolam, dan "gede" yang berarti besar. Lokasi tersebut memang berada di belokan Sungai Ciliwung yang membentuk cekungan besar, kira-kira seluas 1.000 meter persegi. "Sekilas mirip danau kecil. Di situ arus airnya besar bahkan ada pusaran air, maklum ada di tikungan sungai," kata Firmansyah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivitas warga di Desa Wisata Kedung Gede, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 2 Desember 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Keasrian Kedung Gede tercipta berkat adanya pepohonan tinggi dan semak belukar. Menurut Firmansyah, lahan di seberang kali itu memang dibiarkan bak hutan. Lahan tersebut merupakan bagian dari Markas Batalyon Kavaleri 7 Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

Namun, jika melihat kondisi Kedung Gede dan predikatnya sebagai desa wisata, ibarat masih jauh panggang dari api. Ketika Tempo berkunjung, kondisi Kedung Gede tampak sepi. Baru ada fasilitas saung berukuran 100 meter persegi dengan pilar semen tanpa dinding. Saung beratap lembaran baja ringan dan asbes itu berlantai paving block. Di dalamnya terdapat kursi-kursi kayu dan bambu. Menurut Firmansyah, bangunan saung itu baru kelar dibangun dua bulan lalu. Sebelumnya, saung hanya berbahan bambu dengan ukuran yang lebih kecil. Namun saung bambu itu ambruk lantaran tak kuat menahan hujan dan angin kencang.

Firmansyah pun mengaku Kedung Gede belum siap menerima wisatawan, terlebih jika mereka datang secara dadakan. Menurut dia, sejauh ini Kedung Gede lebih sering menerima tamu yang sengaja menyewa lokasi untuk berbagai keperluan, seperti pesta pernikahan, reuni sekolah, dan acara keluarga. "Kalau ada yang sewa, baru kami siapkan saungnya dengan segala keperluan."

Meski begitu, ia punya mimpi membangun Kedung Gede menjadi lokasi wisata yang bisa disambangi wisatawan saban hari. Namun ketersediaan dana menjadi kendala utama. Maklum, Kedung Gede sejak awal lahir atas inisiatif komunitas warga sekitar. 

Aktivitas warga di Desa Wisata Kedung Gede, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 2 Desember 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Awal Mula Kedung Gede

Firmansyah bercerita, Kedung Gede dibangun pada akhir 2019. Saat itu, ia dan warga sekitar kepingin punya tempat kongko di pinggir kali. Lantas belasan warga melakukan kerja bakti membuat saung kecil sebagai markas baru mereka. Saungnya tak terlalu besar, cuma 2 x 2 meter persegi. Dampak pandemi Covid-19 terasa di Kedung Gede pada Maret 2020. Pembatasan kegiatan membuat warga sekitar bingung. "Terlebih sebagian besar dari warga sini adalah tukang bangunan. Jadi, ya banyak yang dirumahkan," kata Firmansyah. 

Karena tak bisa diam di rumah, warga Kedung Gede justru punya inisiatif membangun saung yang lebih besar lagi. Lalu muncul ide untuk membangun musala dan kamar kecil guna memudahkan warga beribadah di Kedung Gede. Karena keterbatasan modal, Firmansyah cs membuat proposal bantuan yang akan dikirim ke masyarakat sekitar dan warga yang mampu secara ekonomi. "Sambutan warga Lenteng Agung sangat baik. Dari perkiraan kebutuhan Rp 16 juta, kami memperolah Rp 27 juta. Ya sudah langsung kami kerjakan," kata Firmansyah. 

Kabar pembangunan saung dan musala membuat beberapa kawan Firmansyah menyarankan agar Kedung Gede didaftarkan sebagai desa wisata di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kebetulan, pada awal 2022, Kementerian membuka nominasi desa wisata. Firmansyah lantas melengkapi sejumlah persyaratan, seperti keanggotaan berbasis komunitas sampai contoh program kerja yang pernah dilakukan.

Setelah mengikuti rangkaian penilaian, Kedung Gede lolos sampai tahap 300 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia 2022 (ADWI 2022). Meski gagal melaju sampai nominasi lebih tinggi, Firmansyah sudah sangat puas. Kini, Kedung Gede sudah masuk dalam daftar desa wisata kategori rintisan. Adapun dalam aplikasi Kemenparekraf, terdapat 3.632 desa wisata yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. 

Masuk daftar 300 besar desa wisata, seketika Kedung Gede mendapat perhatian dari pemerintah provinsi dan kota. Sejumlah pejabat mulai berdatangan untuk menengok Kedung Gede. Di situlah tantangan Firmansyah dan rekan-rekannya dimulai. Maklum, kelompok masyarakat pengelola Kedung Gede yang berjumlah 20-30 orang itu mayoritas laki-laki paruh baya. "Mereka tidak biasa berbicara resmi dengan pejabat. Tentu banyak yang kaget," kata dia. 

Bantuan dari pemerintah DKI Jakarta mulai mengalir dalam bentuk barang. Misalnya, dari Kecamatan Jagakarsa yang mengirim paving block dan dua unit lampu penerangan jalan. Selanjutnya, Dinas Pemuda dan Olahraga DKI memberikan bantuan peralatan tenis meja, sedangkan dari Dinas Kebudayaan DKI memberikan bantuan satu set alat musik hadrah. 

Kabar kedatangan para pejabat membuat masyarakat sekitar salah paham. Menurut Firmansyah, tak sedikit warga yang mengira kelompok Kedung Gede mendapat bantuan dana. "Tidak ada bantuan dana. Kebutuhan dana tetap kami cari sendiri," kata dia. 

Pengelola menunjukkan makam Syekh Datu Lanang di Desa Wisata Kedung Gede, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 2 Desember 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Kepedulian terhadap Lingkungan Meningkat

Di tengah keterbatasan dana, Firmansyah masih punya mimpi untuk menjadikan Kedung Gede sebagai tempat permainan anak dan outbond. "Dalam waktu dekat, kami ingin bikin warung kopi, biar yang datang ke sini bisa menikmati kopi dan camilan sembari menikmati suasana," kata Firmansyah.

Salah satu anggota pengurus Kedung Gede, Rohib, berharap desa wisata yang ia rintis secara gotong royong tersebut bisa makin maju. Terlebih, tujuan utama masyarakat membentuk Desa Wisata Kedung Gede agar warga Jakarta bisa ikut merasakan hijaunya alam yang tersisa di Ibu Kota. Selain berdampingan dengan sungai, Kedung Gede bersebelahan dengan makam Syekh Datu Lanang yang sering diziarahi. Terdapat tiga makam kuno di samping Kedung Gede, yakni makam Syekh Datu Lanang, sang istri, dan anaknya.

Makam tersebut hanya terdiri atas tumpukan batu bata lama yang tersusun rapi. Rumput di sekitar makam rutin dibersihkan. Menurut cerita Rohib, Syekh Datu Lanang merupakan salah satu ulama yang menyebarkan agama Islam di Batavia. "Pada hari tertentu ramai peziarah dari berbagai daerah datang, seperti dari Cirebon dan Serang," kata pria paruh baya tersebut. 

Keberadaan komunitas warga di sana pun membuat perhatian terhadap Sungai Ciliwung meningkat. Warga sekitar berkomitmen menjaga kelestarian sungai. Rohib, Firmansyah, dan warga lain punya jadwal rutin bersih-bersih sungai. Menurut mereka, Ciliwung adalah jantung Kedung Gede. Jika Ciliwung bersih, Kedung Gede ikut menikmati dampaknya.

Menurut Firmansyah, kondisi Ciliwung di sekitar Kedung Gede cukup baik. Buktinya, beberapa hewan, seperti ular, biawak, dan ikan sepat, masih sering dijumpai. "Ibarat kata, Ciliwung ini bagian dari rumah kami, pasti kami ingin rumah kami selalu bersih."

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus