Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bahaya Menjadi ’Anak Sapi’

6 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYI berusia sebulan dengan berat 2,2 kilogram datang bersama ibunya ke klinik layanan kesehatan cuma-cuma dalam keadaan mencret berat, dehidrasi, dan kulit berjamur. Di tangan sang ibu tampak botol dekil berisi cairan putih encer. ”Bayi itu saat lahir beratnya 3,3 kilogram,” kata dokter spesialis anak yang menanganinya, Asti Praborini.

Menurut dokter yang aktif di Perkumpulan Perinatologi Indonesia atau ahli kesehatan janin dalam kandungan itu, sakit paling fatal yang terjadi pada bayi pengkonsumsi susu formula adalah diare. ”Diare 25 kali lebih sering, dan paling banyak menyebabkan kematian pada bayi,” ujar Asti. Data terakhir, di seluruh dunia ada 10 bayi meninggal tiap jam, atau sehari 240 bayi. ”Itu sama saja dengan dua pesawat Boeing berisi bayi di bawah usia satu tahun jatuh tiap hari,” kata dokter Asti.

Selama sepuluh tahun bekerja di unit perawatan intensif untuk bayi di sebuah rumah sakit swasta, Asti mengaku banyak melihat bayi yang terkena radang otak, kejang, necroenterocolitis atau penyakit infeksi pencernaan penting yang paling umum pada bayi baru lahir. ”Itu semua bayi yang tidak mendapat air susu ibu. Kebanyakan korban susu formula,” katanya geram.

Menurut penelitian badan makanan dunia (FAO) dan badan kesehatan sejagat (WHO) pada 2004, enterobacteriaceae yang menyusup pada susu formula bubuk menyebabkan sakit pada bayi, terutama infeksi sistemik seperti batuk-pilek, radang paru, necroenterocolitis, dan diare parah.

Gangguan sistem kekebalan tubuh akibat mengkonsumsi susu formula tersebut, menurut dokter spesialis anak Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, Utami Roesli, dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak serta mempengaruhi dan memperberat gangguan perilakunya. Ketidakcocokan terhadap susu formula bisa disebabkan adanya reaksi simpang dalam tubuh. ”Banyak gangguan organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap susu sapi,” katanya. Menurut dia, susu sapi untuk anak sapi, bukan untuk bayi manusia.

Reaksi hipersensitif terhadap protein susu sapi melibatkan mekanisme sistem imun. Sistem kekebalan tubuh bayi akan melawan protein yang terdapat dalam susu sapi sehingga gejala reaksi alergi pun akan muncul. Reaksi itu bisa terjadi akibat ketidakcocokan terhadap bahan dalam susu formula seperti kasein (protein susu sapi), laktosa, gluten, atau jenis lemak tertentu. Bahkan terhadap bahan unggulan yang biasa disebut dalam iklan susu formula seperti kandungan DHA, minyak jagung, minyak kelapa sawit, serta aroma rasa (vanila, cokelat, stroberi, madu, dan sebagainya).

Gejala akibat ketidakcocokan terhadap susu formula bisa muncul dalam tempo cepat atau lambat: bisa kurang dari delapan jam, atau lebih, bahkan sampai lima hingga tujuh hari setelah mengkonsumsi susu formula. Tanda dan gejala ketidakcocokan susu formula atau alergi susu hampir sama dengan alergi makanan. Gangguan tersebut dapat mempengaruhi semua organ tubuh, terutama pencernaan, kulit, dan saluran napas.

Dalam susu formula tak ada sel-sel pembunuh kuman seperti pada air susu ibu. ”Kalau bayi kemasukan kuman, kuman itu akan cepat dibunuh oleh sel-sel air susu ibu, sehingga bayi tidak jadi sakit,” ujar dokter Asti. Belum lagi zat laktoferin dalam air susu ibu, yang tugasnya mengikat zat besi. Bayi yang tidak mendapat air susu ibu zat besinya bebas, dan kuman membutuhkan zat besi yang bebas. ”Karena itu, kuman seperti mendapat pupuk, tumbuh subur dalam tubuh bayi,” ujar lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Banyaknya kuman dalam tubuh memperbesar risiko munculnya leukemia pada anak dan kanker kelenjar yang disebabkan oleh virus.

Selain menimbulkan penyakit infeksi, menurut dokter Asti, kandungan natrium pada susu formula yang tinggi, 58, berbahaya—natrium di air susu ibu hanya 15. ”Kalau masih bayi sudah dapat mineral yang tinggi, risiko hipertensi dan stroke setelah dewasa menjadi lebih besar,” ujar dokter yang juga berpraktek di Kemang Medical Care, Jakarta Selatan, itu.

Sedangkan kandungan protein kasein pada susu formula, menurut Asti maupun Utami, menimbulkan gangguan kejiwaan. ”Tak semua bayi bisa mencerna kasein, yang berat atomnya. Itu menimbulkan gangguan perilaku,” ujar Asti. Menurut dia, ada penelitian selama 14 tahun terhadap gangguan emosi kejiwaan bayi yang mendapat susu formula. ”Violence behavior-nya lebih tinggi,” katanya.

Merujuk pada ungkapan di Jawa dan Bali, bayi yang mendapat susu formula disebut ”anak sapi”, karena perilakunya lebih kasar. ”Kalau ada pasien datang, saya sudah tahu, ini anak sapi atau bukan. Karena anak dengan air susu ibu lebih tenang,” ujar dokter Asti.

Ahmad Taufik, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus