DESA Tlogo belum bisa dibilang makmur. Sebagian besar rumah
penduduk masih terbuat dari papan. Tapi desa di Kecamatan
Tuntang, Semarang, itu boleh dibanggakan. Sebab Tlogo yang
berpenduduk hampir 1.500 jiwa itu tercatat sebagai desa dengan
angka kematian anak balita (di hawah lima tahun) terkecil di
Indonesia. tahun 1981, misalnya, dari 53 kelahiran di desa itu,
yang mati hanya tiga orang. Jumlah anak balita yang mati tahun
berikutnya (1982) juga tiga, dari 51 kelahiran.
Jadi angka rata-rata kematian bayi (infant mortality rate) di
situ adalah 60 per 1.000 kelahiran. Artinya jauh di bawah angka
rata-rata kematian bayi secara nasional yang menurut dr. Haryono
Suyono - Deputi KB BKKBN - tercatat 98 per 1.000. Sementara
laporan Unicef menyebutkan 99 per 1.000.
Angka 60 per 1.000 itu, kata Kepala Desa Tlogo, Nyonya Sudarmi,
sebenarnya lebih kecil lagi. Sebab dari enam anak yang meninggal
pada 1981-1982 itu, tiga orang di antaranya mati karena
kccelakaan. Satu di antaranya kecebur sumur. Artinya, bukan
karena penyakit atau kurang gizi.
Jumlah kematian bayi di bawah angka rata-rata secara nasional di
Tlogo itu, "karena kesadaran penduduk akan pentingnya gizi
sangat menggembirakan," kata seorang pejabat Departemen
Kesehatan.
Para wanita di Desa Tlogo secara tetap berduyun-duyun membawa
anak mereka menuju pos penimbangan, yang dibuka sebulan sekali.
Suara tangis, teriakan dan tawa ceria anak-anak terdengar dari
segala sudut pos penimbangan. Jumlah anak balita di Tlogo
tercatat 196 orang. Para ibu tak keberatan menimbangkan anak,
meski ditarik iuran Rp 100. Padahal di banyak desa lain, banyak
wanita yang enggan meski diberi perangsang berupa Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) yaitu bubur atau susu.
Dengan penimbangan bisa diketahui keadaan gizi anak secara umum.
Anak berusia tiga tahun, misalnya, dianggap cukup gizi bila
berat badannya mencapai 11,5 kilogram. Kalau kurang dari itu,
"anak segera saya beri makanan tambahan," kata seorang wanita.
Bahkan Sudilah, setelah melihat berat badan anaknya tak juga
naik setelah tiga kali masa penimbangan, "langsung saya bawa ke
Puskesmas, meski dia tidak sakit," kata ibu lima anak itu.
Makanan ekstra yang diberikan kepada anak-anak di Desa Tlogo,
tak susah dibeli. Telur, misalnya, cukup diambil dari kandang
ayam mereka sendiri. Sayuran dipetik dari halaman rumah. Kandang
ayam dan kebun sayur-mayur ala kadarnya memang nampak hampir di
setiap halaman rumah penduduk. Mereka melakukan itu setelah
digalakkan program UPGK (usaha perbaikan gizi keluarga) terpadu
tahun 1981.
Dokter Endang Merdekaningsih dari Puskesman Tuntang, menilai
kematian bayi di Tlogo yang di bawah angka nasional antara lain
karena gizi yang membaik. "Kalau gizinya baik, anak tumbuh sehat
dan kebal terhadap penyakit," katanya. Namun begitu, ia agak
meragukan angka kematian anak di desa itu. Barangkali angka
kematiannya memang kecil, tapi, "administrasi desa umumnya belum
berjalan baik. Bisa jadi ada kematian yang tidak dilaporkan,"
katanya.
Dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, angka rata-rata
kematian bayi di Indonesia memang masih tergolong tinggi. Di
Thailand dan Filipina tercatat 59 per 1.000 kelahiran. Di
Malaysia lebih kecil, 33 per 1.000. Dan di Singapura, menurut
data Unicef, lebih kecil lagi, yaitu 13 per 1.000. Di negara
maju, kata Dokter Haryono, angkanya sekitar 3 per seribu.
Dengan membaiknya kesadaran akan gizi, pelayanan kesehatan yang
memadai dan beberapa faktor penunjang lainnya, kata Dokter
Haryono, "kita berharap target infant mortality rate tahun 2000
sebesar 30-35 per seribu bisa tercapai."
Berdasarkan penelitian, Unicef hampir bisa memastikan bahwa
penurunan angka kematian bayi akan menurunkan angka kelahiran
secara lebih tajam. "Bila orang tua yakin anaknya bakal hidup
terus, mereka cenderung memiliki keluarga kecil," begitu laporan
Direktur Eksekutif Unicef James Grant. Karena itu agaknya yang
terjadi di Tlogo, desa yang tahun lalu menjadi juara III Lomba
Desa tingkat Provinsi Jawa Tengah, patut disambut gembira.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini