Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Alda

Bis dari arah tegal bertabrakan dengan jip di km 27 lewat cirebon. polisi cirebon tidak dapat berbuat apa-apa karena sopir bis lari. pemilik bis mengelak tanggung jawab terhadap kecelakaan & biaya pengobatan.

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI adalah kisah seorang Alda, gatis 5 tahun, yang kini menjadi anak kami. Kalau nanti cerita ini kedengarannya subyektif dan emosional, mohon maaf saja. Maksud saya tidak demikian, karena sesungguhnya ini juga kisah mengenai penegakan hukum dan keadilan, perlindungan agi rakyat, dan sebagamya, yang sering kita kaitkan dengan falsafah negara tercinta ini. Pada satu hari lebaran di tahun 1982, Alda bersama kedua orangtua dan seorang adiknya, Ami, 21/2 tahun, berada dalam jip dari Jakarta menuju Semarang. Pukul 3 sore, di KM 27 lewat Cirebon, sebuah bis dari arah Tegal nyelonong ke jalur menuju Tegal. Ia menghantam jip dan mendorongnya sampai 10 meter kembali ke arah Jakarta, terperosok ke dalam parit dan dihadang sebatang pohon. Polisi berhasil menghubungi saya lewat tengah malam, dan pukul 6 pagi berikutnya saya sekeluarga telah berada di Rumah Sakit Gunung Jati, Cirebon. Saya cuma mendapati tiga jenasah dalam keadaan mengerikan. Alda sendiri dalam keadaan tidak sadar menggelepar lambat tiap sebentar. Di RS Gunung Jati tidak ada dokter dan obat untuk tingkat keparahan seperti itu. Namun dokter yang ada melarang kami membawa Alda ke rumah sakit yang lebih lengkap di kota lain, kecuali atas tanggung jawab sendiri. Kami membawanya dengan ambulan ke Bandung. Di kantor polisi ceritanya lain lagi. Semua barang terkumpul lengkap, berikut pintu belakan jip dan ban serap yang terlempar ketika tabrakan. Rapi. Uang beberapa ratus ribu rupiah, perhiasan kamera, serta oleh-oleh yang terbungkus rapi dalam kertas kado. Pak polisi menyodorkan catatan biaya angkut jenasah. Besar juga. Maklum, katanya, di sini tidak ada mobil, dan untuk angkut jenasah seperti itu kendaraan umum banyak keberatan dan minta upah yang tinggi. Saya bayar. Juga untuk Hansip, yang kata pak polisi menjaga lokasi dan barang-barang sampai terangkut semua. Di lokasi tabrakan, tiga meter di kiri jalan aspal selebar 7 meter, persis di parit, jip dan bis berpelukan hangat. Seluruh badan jip hancur, kecuali ban dan dua buah velg! Beberapa hari kemudian kedua kendaraan ditarik ke Kores 852. Jip malang itu masih di sana sampai sekarang, tapi bis sudah lama diambil yang punya. Oh ya, sopir bis melarikan diri. Biasa. Alda tidak sadarkan diri selama dua setengah bulan. Sementara itu banyak yang terjadi atas dirinya. Rambutnya yang ikal dicukur licin, dan tulang tengkoraknya sebesar tatakan gelas diambil dari atas telinga kanan. Tempat ltu sekarang lembut, dan kata dokter, mungkin dua tahun lagi perlu operasi mengganti tulang tengkorak itu dengan yang sintetis. Pada kolom 'cacat tetap' formulir Jasa Raharja, dokter menulis, "Cephalisch Syndrome hidup vegetatif otak rusak, tak/belum dapat berpikir, berbicara." Kami bersyukur keDada Tuhan dan berterima kasih kepada dokter yang telah melakukan sesuatu yang menurut banyak orang yang tahu adalah mukjizat, sehingga dua setengah bulan kemudian Alda mulai sadar. Namun kami juga lebih optimistis. Dengan bantuan dokter spesialis dan guru spesialis, dan dengan mempraktekkan teori-teori Glenn Doman (dari buku What to Do about Your Brain-Injured Child), dan dengan kasih sayang, kami melihat sendiri keajaiban terjadi di depan mata kami. Alda, mula-mula sadar, tidak dapat melihat. Pelan-pelan mulai melihat cahaya lampu senter yang disorotkan ke matanya. Lalu mulai melihat benda-benda tak bergerak. Mulai membeda-bedakan warna. Sekarang sudah dapat melihat yang kecil, bahkan yang bergerak, asal tidak terlalu cepat, misalnya, ikan lumba-lumba yang meloncat di Ancol, yang ternyata tidak terlihat olehnya. Mulai dari belajar tengkurap, duduk, berdiri, berjalan tertatih-tatih dipegangi, sekarang sudah berjalan sendiri. Mulai dari tidak bisa menggunakan tangan sama sekali, belajar memegang, membedakan air panas dan air dingin, menekan tuts piano mainan, memegang sendok untuk mengantarkan makanan ke kuping atau pipi, sekarang sudah makan sendiri. Berbicara sekarang sudah bijak sekali. Tangan kiri dan kaki kiri masih terbelakang. Postur masih belum stabil. Ada dokter yang tidak mau menerima bayaran dalam menangani Alda. Ada yang memberikan potongan harga yang luar biasa besar. Sumbangan dari famili kanan-kiri terus mengalir. Dan kami mengeluarkan uang seperti orang kaya mendadak. Semua ini memmbulkan suasana ati yang Jarang-jarang dirasakan, suatu rangkaian nilai-nilai baru mengenai arti kehidupan, mengenai arti bermasyarakat, bergotong-royong, kasih sayang, rasa terima kasih dan bersyukur, takdir, dan doa. Agak unik. Tidak biasa. Dari Cirebon ceritanya lain lagi, tidak ada uniknya. Biasa-biasa saja kebiasaan yang kadang-kadang menggemaskan, yang jika diperturutkan bisa menghilangkan kepercayaan. Polisi tidak dapat berbuat apa-apa, karena katanya sopir bis belum tertangkap. Biasa. Pemilik bis mengelakkan tanggung jawab. "Ini kecelakaan, dan kebetulan," katanya. "Seandainya adik ipar Saudara tidak keluar dari Jakarta hari itu, kecelakaan ini tidak bakal terjadi." "Kami harus bayar pengobatan anak itu? Sampai kapan, dan berapa?" Jika tulisan ini memang jadi terlalu subyektif dan emosional sekali lagi saya mohon maaf. Maksud saya tidak demikian. Namun beberapa kenyataan dan pertanyaan menusuk mata dan hati. Ada berapa banyakkah anak-anak korban kecelakaan di negeri ini? Saya tidak yakin nasib mereka sama beruntungnya dengan Alda kami: dengan anugerah Tuhan, pemeriksaan dan pengobatan serta operasi yang gratis atau setengah gratis dari dokter, dengan kasih sayang orang-orang di sekitarnya. Gampang sekali mendirikan perusahaan di negeri ini, tanpa dibarengi sanksi-sanksi dan kewajiban yang patut dan sesuai dengan falsafah negara kita. Gampang sekali orang terkena akibat perbuatan ugal-ugalan orang lain. Sedang untuk mendapat keadilan ternyata sedikit berbelit-belit, dan agak mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus