INI adalah kisah seorang Alda, gatis 5 tahun, yang kini menjadi
anak kami. Kalau nanti cerita ini kedengarannya subyektif dan
emosional, mohon maaf saja. Maksud saya tidak demikian, karena
sesungguhnya ini juga kisah mengenai penegakan hukum dan
keadilan, perlindungan agi rakyat, dan sebagamya, yang sering
kita kaitkan dengan falsafah negara tercinta ini.
Pada satu hari lebaran di tahun 1982, Alda bersama kedua
orangtua dan seorang adiknya, Ami, 21/2 tahun, berada dalam jip
dari Jakarta menuju Semarang. Pukul 3 sore, di KM 27 lewat
Cirebon, sebuah bis dari arah Tegal nyelonong ke jalur menuju
Tegal. Ia menghantam jip dan mendorongnya sampai 10 meter
kembali ke arah Jakarta, terperosok ke dalam parit dan dihadang
sebatang pohon.
Polisi berhasil menghubungi saya lewat tengah malam, dan pukul 6
pagi berikutnya saya sekeluarga telah berada di Rumah Sakit
Gunung Jati, Cirebon. Saya cuma mendapati tiga jenasah dalam
keadaan mengerikan. Alda sendiri dalam keadaan tidak sadar
menggelepar lambat tiap sebentar. Di RS Gunung Jati tidak ada
dokter dan obat untuk tingkat keparahan seperti itu. Namun
dokter yang ada melarang kami membawa Alda ke rumah sakit yang
lebih lengkap di kota lain, kecuali atas tanggung jawab sendiri.
Kami membawanya dengan ambulan ke Bandung.
Di kantor polisi ceritanya lain lagi. Semua barang terkumpul
lengkap, berikut pintu belakan jip dan ban serap yang terlempar
ketika tabrakan. Rapi. Uang beberapa ratus ribu rupiah,
perhiasan kamera, serta oleh-oleh yang terbungkus rapi dalam
kertas kado. Pak polisi menyodorkan catatan biaya angkut
jenasah. Besar juga. Maklum, katanya, di sini tidak ada mobil,
dan untuk angkut jenasah seperti itu kendaraan umum banyak
keberatan dan minta upah yang tinggi. Saya bayar. Juga untuk
Hansip, yang kata pak polisi menjaga lokasi dan barang-barang
sampai terangkut semua.
Di lokasi tabrakan, tiga meter di kiri jalan aspal selebar 7
meter, persis di parit, jip dan bis berpelukan hangat. Seluruh
badan jip hancur, kecuali ban dan dua buah velg! Beberapa hari
kemudian kedua kendaraan ditarik ke Kores 852. Jip malang itu
masih di sana sampai sekarang, tapi bis sudah lama diambil yang
punya. Oh ya, sopir bis melarikan diri. Biasa.
Alda tidak sadarkan diri selama dua setengah bulan. Sementara
itu banyak yang terjadi atas dirinya. Rambutnya yang ikal
dicukur licin, dan tulang tengkoraknya sebesar tatakan gelas
diambil dari atas telinga kanan. Tempat ltu sekarang lembut, dan
kata dokter, mungkin dua tahun lagi perlu operasi mengganti
tulang tengkorak itu dengan yang sintetis. Pada kolom 'cacat
tetap' formulir Jasa Raharja, dokter menulis, "Cephalisch
Syndrome hidup vegetatif otak rusak, tak/belum dapat berpikir,
berbicara."
Kami bersyukur keDada Tuhan dan berterima kasih kepada dokter
yang telah melakukan sesuatu yang menurut banyak orang yang tahu
adalah mukjizat, sehingga dua setengah bulan kemudian Alda mulai
sadar. Namun kami juga lebih optimistis. Dengan bantuan dokter
spesialis dan guru spesialis, dan dengan mempraktekkan
teori-teori Glenn Doman (dari buku What to Do about Your
Brain-Injured Child), dan dengan kasih sayang, kami melihat
sendiri keajaiban terjadi di depan mata kami.
Alda, mula-mula sadar, tidak dapat melihat. Pelan-pelan mulai
melihat cahaya lampu senter yang disorotkan ke matanya. Lalu
mulai melihat benda-benda tak bergerak. Mulai membeda-bedakan
warna. Sekarang sudah dapat melihat yang kecil, bahkan yang
bergerak, asal tidak terlalu cepat, misalnya, ikan lumba-lumba
yang meloncat di Ancol, yang ternyata tidak terlihat olehnya.
Mulai dari belajar tengkurap, duduk, berdiri, berjalan
tertatih-tatih dipegangi, sekarang sudah berjalan sendiri. Mulai
dari tidak bisa menggunakan tangan sama sekali, belajar
memegang, membedakan air panas dan air dingin, menekan tuts
piano mainan, memegang sendok untuk mengantarkan makanan ke
kuping atau pipi, sekarang sudah makan sendiri. Berbicara
sekarang sudah bijak sekali. Tangan kiri dan kaki kiri masih
terbelakang. Postur masih belum stabil.
Ada dokter yang tidak mau menerima bayaran dalam menangani Alda.
Ada yang memberikan potongan harga yang luar biasa besar.
Sumbangan dari famili kanan-kiri terus mengalir. Dan kami
mengeluarkan uang seperti orang kaya mendadak. Semua ini
memmbulkan suasana ati yang Jarang-jarang dirasakan, suatu
rangkaian nilai-nilai baru mengenai arti kehidupan, mengenai
arti bermasyarakat, bergotong-royong, kasih sayang, rasa terima
kasih dan bersyukur, takdir, dan doa. Agak unik. Tidak biasa.
Dari Cirebon ceritanya lain lagi, tidak ada uniknya. Biasa-biasa
saja kebiasaan yang kadang-kadang menggemaskan, yang jika
diperturutkan bisa menghilangkan kepercayaan. Polisi tidak dapat
berbuat apa-apa, karena katanya sopir bis belum tertangkap.
Biasa. Pemilik bis mengelakkan tanggung jawab. "Ini kecelakaan,
dan kebetulan," katanya. "Seandainya adik ipar Saudara tidak
keluar dari Jakarta hari itu, kecelakaan ini tidak bakal
terjadi."
"Kami harus bayar pengobatan anak itu? Sampai kapan, dan
berapa?"
Jika tulisan ini memang jadi terlalu subyektif dan emosional
sekali lagi saya mohon maaf. Maksud saya tidak demikian. Namun
beberapa kenyataan dan pertanyaan menusuk mata dan hati.
Ada berapa banyakkah anak-anak korban kecelakaan di negeri ini?
Saya tidak yakin nasib mereka sama beruntungnya dengan Alda
kami: dengan anugerah Tuhan, pemeriksaan dan pengobatan serta
operasi yang gratis atau setengah gratis dari dokter, dengan
kasih sayang orang-orang di sekitarnya.
Gampang sekali mendirikan perusahaan di negeri ini, tanpa
dibarengi sanksi-sanksi dan kewajiban yang patut dan sesuai
dengan falsafah negara kita. Gampang sekali orang terkena akibat
perbuatan ugal-ugalan orang lain. Sedang untuk mendapat keadilan
ternyata sedikit berbelit-belit, dan agak mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini