DIBANDING kelompok kebatinan, aliran Islam yang "agak aneh"
kurang beruntung nasibnya. Yang kebatinan, asal dinilai tak
membahayakan, sekarang berlindung aman di bawah payung
'kepercayaan'. Yang Islam sebaliknya akan terus diuji, benarkah
mereka tidak 'menyeleweng'.
Kanwil Departemen Agama dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
sekarang ini sedang meneliti aliran yang dikenal sebagai
'Islamiyah Baru'. Ini kelompok yang diduga muncul sejak Februari
kemarin dan berpusat di Desa SimPang Dolok, Air Batu, serta
Lubuk Besar, kedua-duanya di Asahan.
Sementara itu Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Aceh 28 Januari
kemarin melaran Tarekat Saufiyah Samaniyah yang tumbuh di
Takengon, Aceh Tengah. Ini konon berasal dari ajaran Syekh
Ibrahim Bonjol, Medan. Sebelumnya, tanggal 7 bulan itu juga,
Kejati tersebut melarang ajaran Abdul Madjid Abdullah di Kuala
Simpang, Aceh Timur. Sedang akhir tahun kemarin, 24 November
1982, melarang ajaran Ilman Lubis di Pulau Simeulu, Aceh Barat.
Semuanya dengan rekomendasi Majelis Ulama Dista Aceh.
Dan dari MU pula diketahui, seperti dituturkan ketuanya, H. Ali
Hasjmy, di bulan Juli 1978 komisi hukum dan fatwa majelis
tersebut sudah menyatakan dua aliran lain - ajaran Ahmad Arifin
di Aceh Tenggara dan ajaran Ma'rifatullah di Banda Aceh -
sebagai "sesat dan menyesatkan". Jadi cukup banyak.
Aliran-aliran itu sebagian besar berwarna tarekat atau kesufian.
Saufiyah Samaniyah di Aceh Tengah itu menampakkan ciri
'antisyariat' yang umum pada golongan kebatinan: menyatakan
tidak waijibnya di adat haji ke Mekah, melainkan cukup
"menyucikan diri" kepada khalifah di Medan atau, kalau orang
takdpunya ongkos bis ke Medan, dimandi dan di rumah sendiri
dengan membayar uang tunai.
Seperti itu juga Ilman Lubis. Ia mengajarkan istilah-istilah
seperti Kiblatul Iman, yang konon terdiri atas kiblat tubuh,
kiblat hati, kiblat nyaqla, dan kiblat sirr. Juga memberi makna
la-ilaha illal-lah menurut pengertian sendiri - tak diterangkan
bagaimana. Tantangan kepada syari'at lebih eksplisit pada
Kelompok Ma'rifatullah: menjalankan syari'at dinyatakan tak
wajib bagi mereka yang telah mencapai ma'rifat "pengetahuan
sempurna tentang Allah". Sementara itu Arifin mengajarkan antara
lain, alam raya ini ada sebelum adanya Allah. Sedang roh adalah
Allah sendiri.
Kemudian tampak, seperti sering terlihat pada kelompok sempalan
Islam, semangat menutup diri. Tarekat Samaniyah melarang
pengikutnya salat berimamkan orang luar. Juga makan daging
binatang sembelihan orang luar. Aliran 'Islamiyah Baru', yang
sedang "diteliti" itu, konon juga mengkafirkan umat Islam di
luar. Setidak-tidaknya mereka punya masjid sendiri. Sedang
ajaran Abdul Madjid Abdullah terang-terangan mengkafirkan semua
orang Islam yang bermazhab.
Tapi yang "paling panas" memang ajaranAbdul Madjid itu. Ia, yang
mengajar terutama di masjid Pertamina Rantau, Kuala Simpan,
malah berhasil mengarang buku Shalat dan Hukmahnya (baru jilid
I) yang kemudian dipakai di SD-SD setidaknya di Kecamatan
Tamiang Hulu, Aceh Timur. Itu berkat bantuan Kakandep P&K Kuala
Simpang yang terpengaruh menjadi murid kiai tersebut, menurut
harian Mercu Suar Medan. DepartemenAgama Aceh Timur kemudian
menyuruh menarik kembali "buku liar" itu.
Tak dijelaskan apa saja yang 'aneh' dalam buku tersebut. Tapi
yang terutama dicatat orang ialah ini: Abdul Madjid merasa
perlu, entah untuk apa, mengkafir-kafirkan ayah dan ibu Nabi
Muhammad dalam pengajiannya. Bahkan menyebut mereka "kerak
neraka". "Sebuah penghinaan dan kebodohan luar biasa," kata para
ulama di sana. Itulah pula antara lain yang menyebabkan banyak
pihak mencurigai motif pengajarannya. Apalagi karena ia berasal
dari Madiun, kota pemerontakan PKI 1948 itu - dan pergi dari
sana di tahun itu pula. Dan sekarang ini pun ia menghilang
diduga pulang ke Jawa.
Berlainan dengan aliran-aliran yang sudah disebut, ajaran Abdul
Madjid ini jenis nontarekat. Dan sebagai ganti tarekat, masalah
fiqh, hukum, menonjol. Misal: ia mengharamkan membaca Surah
Yasin dan lain-lain sebagai wirid. Jua memfatwakan bolehnya
salat Jumat sendirian di rumah.
Seperti itu juga 'Islamiah baru', yang juga bukan kelompok
tarekat, menyodorkan kontroversi fiqh. Misalnya ajaran bahwa
persentuhan laki-wanita yang bukan mahram tak membatalkan wudhu.
Juga, dikatakan, mereka menghalalkan daging anjing. Dan juga,
dikabarkan, membolehkan salat "beralaskan sajadah dari kulit
babi".
Dan itu aneh, kalau benar. Tapi yang lebih aneh, mereka
dikabarkan punya kitab suci sendiri, Subulus Salam namanya.
Padahal Subulus Salam adalah kitab fiqh terpandang, meski
layaknya tak dikenal para awam. Tapi seluk-beluk ajaran Muhammad
N.S. ini, 50-an tahun, memang belum jelas betul. MU Sum-Ut
sendiri belum mau memberi komentar.
Tapi daerah segi fiqh, pertentangan itu menunjukkan bahwa kaum
muslimin di situ boleh disebut ketinggalan - umatnya maupun
gurunya. Soal makan daging anjing misalnya. Bukan hanya
'Islamiyah Baru'. Tapi juga Imam Malik, atau kelompok Persatuan
Islam (Persis) di Indonesia yang membolehkan. Dalam soal salat
Jumat pun ada lebih dari hanya satu-dua pendapat, meski yang
dinilai terkuat memang yang seperti dipraktekkan di Indonesia.
Sedang soal wirid Yasin dan lain-lain, atau persentuhan
laki-wanita, itu memang pernah termasuk bahan perdebatan - tapi
dulu.
Kesan ketertinggalan dalam fiqh itu boleh diperkuat dengan
perkiraan bahwa sejarah Islam di Sumatera bagian utara, termasuk
Aceh, menunjukkan warna tasauf yang lebih tebal dari warna fiqh.
Itu bila dibanding misalnya dengan Sumatera Barat atau Jawa,
tempat tumbuhnya NU, Muhammadiyah, kaum Padri dan para pemburu
lain yang dahulu sudah menyebarkan kontroversi fiqh ke
mana-mana.
Padahal tasauf saja - tarekat, sebagai "jalan" - di mana-mana
sudah tak lebih dari perkumpulan praktek zikir, tanpa ajaran
metafisik yang "khas". Tak ada pula kini tarekat yang melakukan
zikir dengan lebih dulu mengisap hasyisy (sekarang: ganja)
sambil menari-nari, seperti di abad-abad lampau.
Di Jawa, sebagian kecenderungan mistik yang kemudian terlepas
sudah mendapat penampungan dalam wadah 'kepercayaan'. Dan itu
pula bedanya dengan di Aceh di sini pelarangan kepada tarekat
'aneh' kedengaran sering. Tak lain karena kelompok-kelompok yang
tercecer itu (dan yang pengikutnya tak pernah berhasil jadi
banyak) tetap mau dianggap 'aliran Islam'. Sedang Islam, yang
bisa sangat toleran kepada agama-agama lain itu, dikenal "keras
pada diri sendiri".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini