Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Aliran-aliran tercecer

Aliran islamiah baru (di sumatra utara), sedang di teliti oleh kanwil departemen agama dan kejaksaan tinggi sumatra utara, sedang di aceh timur berkembang tarekat saufiyah samaniyah.(ag)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBANDING kelompok kebatinan, aliran Islam yang "agak aneh" kurang beruntung nasibnya. Yang kebatinan, asal dinilai tak membahayakan, sekarang berlindung aman di bawah payung 'kepercayaan'. Yang Islam sebaliknya akan terus diuji, benarkah mereka tidak 'menyeleweng'. Kanwil Departemen Agama dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sekarang ini sedang meneliti aliran yang dikenal sebagai 'Islamiyah Baru'. Ini kelompok yang diduga muncul sejak Februari kemarin dan berpusat di Desa SimPang Dolok, Air Batu, serta Lubuk Besar, kedua-duanya di Asahan. Sementara itu Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Aceh 28 Januari kemarin melaran Tarekat Saufiyah Samaniyah yang tumbuh di Takengon, Aceh Tengah. Ini konon berasal dari ajaran Syekh Ibrahim Bonjol, Medan. Sebelumnya, tanggal 7 bulan itu juga, Kejati tersebut melarang ajaran Abdul Madjid Abdullah di Kuala Simpang, Aceh Timur. Sedang akhir tahun kemarin, 24 November 1982, melarang ajaran Ilman Lubis di Pulau Simeulu, Aceh Barat. Semuanya dengan rekomendasi Majelis Ulama Dista Aceh. Dan dari MU pula diketahui, seperti dituturkan ketuanya, H. Ali Hasjmy, di bulan Juli 1978 komisi hukum dan fatwa majelis tersebut sudah menyatakan dua aliran lain - ajaran Ahmad Arifin di Aceh Tenggara dan ajaran Ma'rifatullah di Banda Aceh - sebagai "sesat dan menyesatkan". Jadi cukup banyak. Aliran-aliran itu sebagian besar berwarna tarekat atau kesufian. Saufiyah Samaniyah di Aceh Tengah itu menampakkan ciri 'antisyariat' yang umum pada golongan kebatinan: menyatakan tidak waijibnya di adat haji ke Mekah, melainkan cukup "menyucikan diri" kepada khalifah di Medan atau, kalau orang takdpunya ongkos bis ke Medan, dimandi dan di rumah sendiri dengan membayar uang tunai. Seperti itu juga Ilman Lubis. Ia mengajarkan istilah-istilah seperti Kiblatul Iman, yang konon terdiri atas kiblat tubuh, kiblat hati, kiblat nyaqla, dan kiblat sirr. Juga memberi makna la-ilaha illal-lah menurut pengertian sendiri - tak diterangkan bagaimana. Tantangan kepada syari'at lebih eksplisit pada Kelompok Ma'rifatullah: menjalankan syari'at dinyatakan tak wajib bagi mereka yang telah mencapai ma'rifat "pengetahuan sempurna tentang Allah". Sementara itu Arifin mengajarkan antara lain, alam raya ini ada sebelum adanya Allah. Sedang roh adalah Allah sendiri. Kemudian tampak, seperti sering terlihat pada kelompok sempalan Islam, semangat menutup diri. Tarekat Samaniyah melarang pengikutnya salat berimamkan orang luar. Juga makan daging binatang sembelihan orang luar. Aliran 'Islamiyah Baru', yang sedang "diteliti" itu, konon juga mengkafirkan umat Islam di luar. Setidak-tidaknya mereka punya masjid sendiri. Sedang ajaran Abdul Madjid Abdullah terang-terangan mengkafirkan semua orang Islam yang bermazhab. Tapi yang "paling panas" memang ajaranAbdul Madjid itu. Ia, yang mengajar terutama di masjid Pertamina Rantau, Kuala Simpan, malah berhasil mengarang buku Shalat dan Hukmahnya (baru jilid I) yang kemudian dipakai di SD-SD setidaknya di Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Timur. Itu berkat bantuan Kakandep P&K Kuala Simpang yang terpengaruh menjadi murid kiai tersebut, menurut harian Mercu Suar Medan. DepartemenAgama Aceh Timur kemudian menyuruh menarik kembali "buku liar" itu. Tak dijelaskan apa saja yang 'aneh' dalam buku tersebut. Tapi yang terutama dicatat orang ialah ini: Abdul Madjid merasa perlu, entah untuk apa, mengkafir-kafirkan ayah dan ibu Nabi Muhammad dalam pengajiannya. Bahkan menyebut mereka "kerak neraka". "Sebuah penghinaan dan kebodohan luar biasa," kata para ulama di sana. Itulah pula antara lain yang menyebabkan banyak pihak mencurigai motif pengajarannya. Apalagi karena ia berasal dari Madiun, kota pemerontakan PKI 1948 itu - dan pergi dari sana di tahun itu pula. Dan sekarang ini pun ia menghilang diduga pulang ke Jawa. Berlainan dengan aliran-aliran yang sudah disebut, ajaran Abdul Madjid ini jenis nontarekat. Dan sebagai ganti tarekat, masalah fiqh, hukum, menonjol. Misal: ia mengharamkan membaca Surah Yasin dan lain-lain sebagai wirid. Jua memfatwakan bolehnya salat Jumat sendirian di rumah. Seperti itu juga 'Islamiah baru', yang juga bukan kelompok tarekat, menyodorkan kontroversi fiqh. Misalnya ajaran bahwa persentuhan laki-wanita yang bukan mahram tak membatalkan wudhu. Juga, dikatakan, mereka menghalalkan daging anjing. Dan juga, dikabarkan, membolehkan salat "beralaskan sajadah dari kulit babi". Dan itu aneh, kalau benar. Tapi yang lebih aneh, mereka dikabarkan punya kitab suci sendiri, Subulus Salam namanya. Padahal Subulus Salam adalah kitab fiqh terpandang, meski layaknya tak dikenal para awam. Tapi seluk-beluk ajaran Muhammad N.S. ini, 50-an tahun, memang belum jelas betul. MU Sum-Ut sendiri belum mau memberi komentar. Tapi daerah segi fiqh, pertentangan itu menunjukkan bahwa kaum muslimin di situ boleh disebut ketinggalan - umatnya maupun gurunya. Soal makan daging anjing misalnya. Bukan hanya 'Islamiyah Baru'. Tapi juga Imam Malik, atau kelompok Persatuan Islam (Persis) di Indonesia yang membolehkan. Dalam soal salat Jumat pun ada lebih dari hanya satu-dua pendapat, meski yang dinilai terkuat memang yang seperti dipraktekkan di Indonesia. Sedang soal wirid Yasin dan lain-lain, atau persentuhan laki-wanita, itu memang pernah termasuk bahan perdebatan - tapi dulu. Kesan ketertinggalan dalam fiqh itu boleh diperkuat dengan perkiraan bahwa sejarah Islam di Sumatera bagian utara, termasuk Aceh, menunjukkan warna tasauf yang lebih tebal dari warna fiqh. Itu bila dibanding misalnya dengan Sumatera Barat atau Jawa, tempat tumbuhnya NU, Muhammadiyah, kaum Padri dan para pemburu lain yang dahulu sudah menyebarkan kontroversi fiqh ke mana-mana. Padahal tasauf saja - tarekat, sebagai "jalan" - di mana-mana sudah tak lebih dari perkumpulan praktek zikir, tanpa ajaran metafisik yang "khas". Tak ada pula kini tarekat yang melakukan zikir dengan lebih dulu mengisap hasyisy (sekarang: ganja) sambil menari-nari, seperti di abad-abad lampau. Di Jawa, sebagian kecenderungan mistik yang kemudian terlepas sudah mendapat penampungan dalam wadah 'kepercayaan'. Dan itu pula bedanya dengan di Aceh di sini pelarangan kepada tarekat 'aneh' kedengaran sering. Tak lain karena kelompok-kelompok yang tercecer itu (dan yang pengikutnya tak pernah berhasil jadi banyak) tetap mau dianggap 'aliran Islam'. Sedang Islam, yang bisa sangat toleran kepada agama-agama lain itu, dikenal "keras pada diri sendiri".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus