BANJIR kali hi memusatkan kekuatannya di Jakarta Barat dan
Jakarta Utara. Jakarta Timur dan Jakarta Selatan -- terutama
daerah rawan banjir seperti Pondok Karya dan Pondok Duren,
memang tidak luput. Tetapi disamping tipis, rakyat di sana sudah
menyiapkan diri. Karena itu mereka tidak kaget. Ah, mana ada
rakyat yang kaget oleh banjir, itu sudah jadi sarapan mereka.
Lihatlah Sadnan, 35 tahun. Dengan jumlah anggota keluarga 6
orang, ia menempati bilik 6 x 2 meter di bilangan Pondok Karya.
Dalam rumah yang sama, di bilik lain tinggal keluarga lain
dengan 7 anggota keluarga. Sejak 1959 ketika pertama kali
memasuki Jakarta, ia sudah dilatih oleh alam untuk tidak gentar
ditimpa banjir. Jadi tatkala Jum'a, pukul tiga sore, air
melonjak ke rumah dan menyapu seluruh keluarganya, ia tetap
tenang. Tidak mengeluh, tidak takut dan terutama tidak
mengeritik siapa-siapa.
Sadnan, tukang beca itu menyuruh anaknya yang paling sulung (9
tahun) untuk bertahan di balai-balai saja. Isterinya asal Tegal
yang biasa jualan jagung rebus, tidak diperkenankannya cari
makan hari itu. Mereka berjaga-jaga memandang air yang sudah
menggenang setinggi 40 Cm. Sadnan memperkirakan banjir tidak
akan separah di tahun 77 yang mencapai ketinggian 90 Cm. Karena
itu ia tidak mengungsikan anaknya. "Untunglah dari Jum'at sore
sampai Sabtu nggak ada yang pingin buang air besar, padahal
makan terus juga," kata Sadnan bersyukur. "Anak saya patuh di
balai-balai saja, lihat air dari jendela juga seneng."
Rumah yang ditempati keluarga Sadnan, rumah titipan. Kalau rumah
itu terjual, Sadnan harus angkat kaki tanpa pesangon. Rumah itu
sudah tua dan buruk. "Tapi meskipun sudah tua, kalau ditempati
orang, tidak akan ambruk," kata Sadnan seperti seorang insinyur,
sejak kecil sampai sekarang saya belum pernah dengar ada rumah
ambruk ketika ditempati orang."
Memang kalau ada banjir, penghuni rumah seperti itu harus
menghadapi kemungkinan adanya kelabang, ular, atau binatang
lain. Tapi Sadnan dan keluarganya tidak takut lagi.
Karena dihajar banjir tiap tahun terutama 1977, Sadnan sudah
siap dengan pagu-pagu untuk menaruh barang, letaknya setengah
meter dari lantai, sehingga kecil kemungkinan dijilat air.
Tahun lalu, setelah banjir, pak RT menjenguk rumah Sadnan, tapi
kali ini belum. "Mungkin pak RT sibuk," kata Sadnan memaklumi.
Tapi syukurlah Minggu dan Senen air mulai surut. Selasa air
sudah permisi. Hanya saja keluarga Sadnan jadi sibuk, mumpung
belum kering. Karena kalau sudah kering kotoran sulit dihapus.
Tahun 1977 Sadnan menghabiskan 3 botol karbol untuk
bersih-bersih. "Tahun ini saya tidak punya uang," ujarnya
memelas.
Dengan Tertawa
Di Tanjung Duren, Jakarta Barat, Haji Ramli (59 tahun) dapat
banjir kiriman dari Tanggerang. Maklumlah Jakarta terletak di
pantai, jadi sering dapat kiriman dari kota yang lebih ke udik.
Sejak 1964 menempati rumahnya, Ramli belum pernah diserang air
yang setinggi 1 meter. "Ini terbesar yang pernah saya alami,"
ujarnya kepada Widi Yarmanto dari TEMPO.
Subuh 19 Januari, waktu haji ini sedang solat, air sudah merayap
di lantai. "Tahu-tahu air sudah masuk sangat cepat. Betul-betul
cepat," ujarnya. Ia langsung mengganjal tempat tidur dan bufet
dibantu ke 4 puteranya yang sudah besar. Anak-anaknya yang lebih
kecil langsung dikirim ke rumah neneknya di Tanjung Duren, yang
tidak dijamah air. "Selamatkan pakaian dan buku sekolah!" teriak
Haji Ramli.
Begitu anak-anak pak haji berangkat, air jadi gila. Ganjal
yang diusahakan tidak bisa menolong. Untungnya rumah ini punya
loteng. Kasur diangkut ke loteng. Sabtu air mencapai ketinggian
1 meter. Rumah salah seorang anaknya yang agak rendah dijilat
sampai 20 cm di bawah atap. Tapi anaknya juga punya loteng, jadi
tinggal naik saja. Dan kalau lapar tinggal cari nasi bungkus.
"Kita hadapi banjir ini masih dengan tertawa," kata pak haji,
"tapi kalau si jago merah, wah . . ."
Sabtu itu juga kemudian keluarga haji ini mengungsi. Di depan
rumahnya banyak penduduk yang kebanjiran berjaga-jaga, jadi ia
tidak was-was terhadap barang yang ditinggal. Apalagi pak RT
dengan sebuah getek, -- itu lho rakit -- mondar-mandir selama
banjir untuk mengawasi wilayahnya. Akibat dari banjir ini,
selama 2 minggu mesin "obrasnya" akan stop. Mesin itu sehari
bisa menyedot Rp 2 ribu. Jadi haji ini bakal rugi Rp 28 ribu.
"Kita memang kesal juga, tapi tak apa, kan bukan hanya kita saja
yang kena. Seluruhnya. Dibagi rata," ujarnya.
Haji ini tidak melihat terlalu jauh kepada nasibnya. Ia malah
melihat para tetangganya yang mata pencahariannya seperti ayam.
Sekali dipatok, habis, tak ada persediaan. "Tapi banjir kayak
apa asal kita sehat itu sudah menggembirakan, orang kaya tak
sehat juga tak bisa menikmati kekayaannya," nasehat Ramli.
"Sifat air itu merata, sifat tanah diam, sifat api itu sombong
dan sifat angin itu besar," ujarnya lebih lanjut sibuk dengan
fikirannya sendiri. Tetapi cara berpikir itu membuatnya sedikit
tenang.
Menurut Haji Ramli yang asli Betawi ini, banjir sekarang baru
fase II. Jadi akan segera menyusul fase III. "Yah kita siap-siap
saja," ujarnya. Penduduk membenarkan ramalan Ramli. Karena tahun
baru Imlek selalu diiringi dengan rezeki hujan. "Habis perang
sama dengan habis banjir," kata pak haji mengakhiri teori-teori
banjirnya. Tapi di zaman Belanda kalau ngungsi bawa barang kita
semua, sekarang kalau banjir hanya bawa buku dan baju saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini