Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Teori Banjir Haji Ramli

Banjir terpusat di Jak-Bar dan Jak-Ut. Ada penduduk yang mengungsi dan ada yang tetap berjaga mengawasi wilayahnya. Suka duka beberapa penduduk setiap ada banjir. (sd)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR kali hi memusatkan kekuatannya di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Jakarta Timur dan Jakarta Selatan -- terutama daerah rawan banjir seperti Pondok Karya dan Pondok Duren, memang tidak luput. Tetapi disamping tipis, rakyat di sana sudah menyiapkan diri. Karena itu mereka tidak kaget. Ah, mana ada rakyat yang kaget oleh banjir, itu sudah jadi sarapan mereka. Lihatlah Sadnan, 35 tahun. Dengan jumlah anggota keluarga 6 orang, ia menempati bilik 6 x 2 meter di bilangan Pondok Karya. Dalam rumah yang sama, di bilik lain tinggal keluarga lain dengan 7 anggota keluarga. Sejak 1959 ketika pertama kali memasuki Jakarta, ia sudah dilatih oleh alam untuk tidak gentar ditimpa banjir. Jadi tatkala Jum'a, pukul tiga sore, air melonjak ke rumah dan menyapu seluruh keluarganya, ia tetap tenang. Tidak mengeluh, tidak takut dan terutama tidak mengeritik siapa-siapa. Sadnan, tukang beca itu menyuruh anaknya yang paling sulung (9 tahun) untuk bertahan di balai-balai saja. Isterinya asal Tegal yang biasa jualan jagung rebus, tidak diperkenankannya cari makan hari itu. Mereka berjaga-jaga memandang air yang sudah menggenang setinggi 40 Cm. Sadnan memperkirakan banjir tidak akan separah di tahun 77 yang mencapai ketinggian 90 Cm. Karena itu ia tidak mengungsikan anaknya. "Untunglah dari Jum'at sore sampai Sabtu nggak ada yang pingin buang air besar, padahal makan terus juga," kata Sadnan bersyukur. "Anak saya patuh di balai-balai saja, lihat air dari jendela juga seneng." Rumah yang ditempati keluarga Sadnan, rumah titipan. Kalau rumah itu terjual, Sadnan harus angkat kaki tanpa pesangon. Rumah itu sudah tua dan buruk. "Tapi meskipun sudah tua, kalau ditempati orang, tidak akan ambruk," kata Sadnan seperti seorang insinyur, sejak kecil sampai sekarang saya belum pernah dengar ada rumah ambruk ketika ditempati orang." Memang kalau ada banjir, penghuni rumah seperti itu harus menghadapi kemungkinan adanya kelabang, ular, atau binatang lain. Tapi Sadnan dan keluarganya tidak takut lagi. Karena dihajar banjir tiap tahun terutama 1977, Sadnan sudah siap dengan pagu-pagu untuk menaruh barang, letaknya setengah meter dari lantai, sehingga kecil kemungkinan dijilat air. Tahun lalu, setelah banjir, pak RT menjenguk rumah Sadnan, tapi kali ini belum. "Mungkin pak RT sibuk," kata Sadnan memaklumi. Tapi syukurlah Minggu dan Senen air mulai surut. Selasa air sudah permisi. Hanya saja keluarga Sadnan jadi sibuk, mumpung belum kering. Karena kalau sudah kering kotoran sulit dihapus. Tahun 1977 Sadnan menghabiskan 3 botol karbol untuk bersih-bersih. "Tahun ini saya tidak punya uang," ujarnya memelas. Dengan Tertawa Di Tanjung Duren, Jakarta Barat, Haji Ramli (59 tahun) dapat banjir kiriman dari Tanggerang. Maklumlah Jakarta terletak di pantai, jadi sering dapat kiriman dari kota yang lebih ke udik. Sejak 1964 menempati rumahnya, Ramli belum pernah diserang air yang setinggi 1 meter. "Ini terbesar yang pernah saya alami," ujarnya kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Subuh 19 Januari, waktu haji ini sedang solat, air sudah merayap di lantai. "Tahu-tahu air sudah masuk sangat cepat. Betul-betul cepat," ujarnya. Ia langsung mengganjal tempat tidur dan bufet dibantu ke 4 puteranya yang sudah besar. Anak-anaknya yang lebih kecil langsung dikirim ke rumah neneknya di Tanjung Duren, yang tidak dijamah air. "Selamatkan pakaian dan buku sekolah!" teriak Haji Ramli. Begitu anak-anak pak haji berangkat, air jadi gila. Ganjal yang diusahakan tidak bisa menolong. Untungnya rumah ini punya loteng. Kasur diangkut ke loteng. Sabtu air mencapai ketinggian 1 meter. Rumah salah seorang anaknya yang agak rendah dijilat sampai 20 cm di bawah atap. Tapi anaknya juga punya loteng, jadi tinggal naik saja. Dan kalau lapar tinggal cari nasi bungkus. "Kita hadapi banjir ini masih dengan tertawa," kata pak haji, "tapi kalau si jago merah, wah . . ." Sabtu itu juga kemudian keluarga haji ini mengungsi. Di depan rumahnya banyak penduduk yang kebanjiran berjaga-jaga, jadi ia tidak was-was terhadap barang yang ditinggal. Apalagi pak RT dengan sebuah getek, -- itu lho rakit -- mondar-mandir selama banjir untuk mengawasi wilayahnya. Akibat dari banjir ini, selama 2 minggu mesin "obrasnya" akan stop. Mesin itu sehari bisa menyedot Rp 2 ribu. Jadi haji ini bakal rugi Rp 28 ribu. "Kita memang kesal juga, tapi tak apa, kan bukan hanya kita saja yang kena. Seluruhnya. Dibagi rata," ujarnya. Haji ini tidak melihat terlalu jauh kepada nasibnya. Ia malah melihat para tetangganya yang mata pencahariannya seperti ayam. Sekali dipatok, habis, tak ada persediaan. "Tapi banjir kayak apa asal kita sehat itu sudah menggembirakan, orang kaya tak sehat juga tak bisa menikmati kekayaannya," nasehat Ramli. "Sifat air itu merata, sifat tanah diam, sifat api itu sombong dan sifat angin itu besar," ujarnya lebih lanjut sibuk dengan fikirannya sendiri. Tetapi cara berpikir itu membuatnya sedikit tenang. Menurut Haji Ramli yang asli Betawi ini, banjir sekarang baru fase II. Jadi akan segera menyusul fase III. "Yah kita siap-siap saja," ujarnya. Penduduk membenarkan ramalan Ramli. Karena tahun baru Imlek selalu diiringi dengan rezeki hujan. "Habis perang sama dengan habis banjir," kata pak haji mengakhiri teori-teori banjirnya. Tapi di zaman Belanda kalau ngungsi bawa barang kita semua, sekarang kalau banjir hanya bawa buku dan baju saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus