Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bayi tabung "buatan" indonesia

Pasangan suami istri bakri dan bunga mendapatkan bayi tabung, atas hasil kerja tim dokter pimpinan dr. enud suryana dengan metode in-vitro fertilization (ivf) di rscm jakarta. (ksh)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir 10 tahun pasangan Bakri menikah, tapi anak yang didambakan tak juga kunjung datang. Usaha telah dilakukan ke mana-mana, toh kehamilan tak pernah jadi. Sesudah lima dokter dihubungi di Jakarta dan Bandung tanpa hasil, pasangan itu nyaris putus asa dan mencoba menerima kenyataan, mungkin mereka harus menempuh hidup tanpa keturunan. Toh usaha terus juga dilakukan. Tahun 1982 suami istri Bakri (bukan nama sebenarnya) bertemu dengan dr. Enud Suryana. Setelah mengutarakan kesulitan, Bunga, sang istri mendengar sebuah usul yang pada awalnya seperti bergurau: bayi tabung. Bunga pernah mendengar perihal ikhtiar kehamilan semacam itu, bahkan seorang bayi Indonesia lahir dengan cara itu di Australia. "Lama-lama saya sadar, itulah peluang bagi saya untuk memperoleh anak," ujar Bunga -- dan ia menerima usul dr. Suryana, termasuk menjalani proses pembuahan di Australia. Dan, ikhtiar itu berhasil. Diam-diam, 10 Maret lalu Bunga melahirkan putrinya. Kini, bayi yang sudah berusia 4 bulan itu sehat dan lucu. Tak ada pemberitaan soal itu karena Bunga memang agak merahasiakannya. Ia belum sepenuhnya siap menghadapi pendapat masyarakat. "Ada saja orang yang mengatakan ini bukan anak saya," katanya, "padahal ini anak saya dan suami saya." Di sisi lain, dr. Enud Suryana pun menghindari publikasi, walau tak bisa disangkal andilnya dalam kelahiran putri keluarga Bakri sangat besar. Bukan sekadar mengusulkan proses bayi tabung, dan mengirim pasangan Bakri ke Australia. Ahli endokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu berperan khususnya mempersiapkan Bunga sebelum pembuahan tabung, juga menjaga kondisi hasil pembuahan sampai akhirnya melahirkan sang bayi. Proses yang tak lain manajemen hormonal atau menjaga kestabilan hormon-hormon sang ibu adalah bagian penting dalam keberhasilan bayi tabung. Peran inilah yang tak ada pada proses bayi tabung Indonesia yang pertama, Yuki Fithriyah. Cucu bekas Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara ini lahir tahun 1982 di Melbourne, Australia. Seluruh proses dilakukan di Australia. Yang selalu menarik dalam kasus bayi tabung memang proses pembuahannya. Pada awalnya memang inilah bagian paling utama. Pembuahan sel telur di luar rahim itu sebenarnya sudah terdengar di tahun 1940. Namun, percobaan yang dilakukan ahli kandungan John Rock dari Amerika Serikat itu, ternyata, tak mendapat pengakuan karena pertumbuhan sel telur dalam tabung itu diragukan akibat pembuahan. Setelah percobaan 20 tahun lebih dengan berbagai kegagalan, baru di tahun 1960 tampak ada kepastian perihal pembuahan sel telur di luar rahim. Percobaan yang dilakukan dua ilmuwan Amerika itu, M.C. Chang dan C.R. Austin, adalah membuahi sel telur binatang menyusui dengan sperma di tabung percobaan. Dari percobaan itulah metode pembuahan ditemukan. Khususnya menciptakan kondisi tabung yang persis dengan kondisi peranakan. Masih diperlukan hampir sepuluh tahun untuk menerapkan metode itu pada manusia. Baru tahun 1969 dua ilmuwan Inggris, Steptoc dan Edwards, berhasil menemukan metode pembuahan di luar rahim bagi manusia. Lalu diperlukan sembilan tahun lagi untuk mencobakan metode ini ke dalam praktek. Tahun 1978, bayi tabung pertama lahir di dunia. Steptoe dan Edwards berhasil membuahi sel telur Lesley Brown dengan sperma suaminya. Mula-mula mengambil sel telur, memeliharanya dalam tabung yang berisi berbagai macam asam amino dan makanan lainnya, lalu membuahinya dengan sperma. Setelah pembuahan terjadi, calon janin ditunggu perkembangannya di tabung lain. Setelah ada kepastian menjadi zygote, pemindahan ke rahim ibu dilakukan. Percobaan yang melibatkan penelitian hampir 30 tahun itu berhasil. Tepatnya 25 Juli 1978, Louise Brown, si bayi tabung pertama, lahir di sebuah kota kecil Oldham, Inggris. Berita besar itu pun pecah. Seluruh dunia memberitakan kelahiran Louise, juga proses pembuahannya di dalam tabung. Padahal, ada kesulitan yang mengintip, yang kala itu tenggelam di tengah berita pembuahan dalam tabung. Kesulitan itu, Louise ternyata lahir terlampau cepat karena ibunya mengalami kekurangan hormon tertentu. Steptoe sendiri mengakui, ini kesulitan yang serius. Berkala kedokteran Inggris yang memonitor percobaan Steptoe-Edwards mengungkapkan terjadi kegagalan yang bertubi-tubi dalam usaha mencangkokkan zygote ke rahim ibu. Dari 60 pencangkokan, hanya 3 yang berhasil mencapai masa perkembangan 9 minggu. Dengan kata lain, Louise secara kebetulan berhasil lahir. Terhitung hampir sepuluh tahun sejak Louise, bayi tabung pertama itu dilahirkan, kesulitan pencangkokan calon janin itu semakin menonjol ke permukaan. Ternyata, keberhasilan pembuahan dalam tabung, yang dikenal pula sebagai in-vitro fertilization tidak senantiasa diikuti kehamilan, apalagi kelahiran bayi. Maka, persiapan sel telur sebelum proses pembuahan dalam tabung, juga pemeliharaan zygote yang ditransplantasikan ke rahim semakin menarik perhatian para peneliti -- sementara pembuahan dalam tabungnya sendiri semakin tidak aneh. Dua proses sulit itulah, pra dan pasca-invitrofertilization (IVF), yang telah diselesaikan dengan baik oleh tim dr. Enud Suryana atas bayi Bunga, hingga bayi tabung pasangan Bakri dan Bunga itu lahir dengan selamat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Karena itu, walau pembuahan tabung dilakukan di Australia, peran tim dr. Enud tak bisa diabaikan. Dengan kata lain, putri Bunga adalah juga bayi tabung "buatan" Indonesia -- dalam suatu produksi bersama. Keberhasilan yang barangkali cukup monumental. Dalam jangka waktu hampir sepuluh tahun sejak kelahiran Louise baru sekitar 1.000 bayi tabung yang lahir dengan selamat. Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan pasangan mandul. Khususnya di negara maju yang tingkat kelahirannya terhitung nol. Di Amerika Serikat, misalnya, satu dari enam pasangan suami-istri terancam kemandulan. Andil terbesar dari keberhasilan itu masih dipegang oleh Steptoe dan Edwards di Oldham, Inggris. Sekitar 700 bayi tabung lahir di sana. Sisanya, sekitar 200 bayi, lahir di Amerika Serikat dan Australia. Negara-negara lain, kendati tercatat melakukan percobaan, belum memiliki angka keberhasilan yang berarti. Jepang, yang ilmu kedokterannya dikenal cukup maju, belum pula mencatat hasil yang meyakinkan. November tahun lalu, terdengar berita, bayi tabung pertama negara sakura itu meninggal karena radang paru-paru. Sementara itu, 13 bayi tabung lainnya dirahasiakan perkembangannya. Teknik IVF sendiri tak banyak menampakkan kemajuan. Steptoe dan Edwards masih juga melakukan cara yang digunakan pada pembuahan Louise Brown. Mula-mula, menunggu sang ibu menghasilkan sel telur. Secara periodik, sebulan sekali, indung telur atau ovarium menghasilkan satu buah sel telur (ovum). Sel telur ini hanya bisa bertahan selama 24 jam. Bila tak dibuahi pada masa itu, ovum akan mati. Karena itu, pada teknik Steptoe- Edwards, masa matang sel tclur ini dikejar. Ovum dikeluarkan dengan alat yang disebut laparascope, dipindahkan ke tabung petri (pisin laboratorium) dan pembuahan cepat-cepat dilakukan. Proses selanjutnya menunggu hasil pembuahan itu, berupa sel, melakukan pembelahan. Mula-mula membelah diri menjadi dua, empat, lalu delapan. Hasilnya, zygote, yang kemudian disemprotkan ke rahim ibu -- dan ditunggu perkembangannya menjadi janin. Tercatat cukup banyak kegagalan dalam pembuatan zygote ini, seperti yang diakui Steptoe dan Edwards sendiri -- dan pasangan mandul yang menganggap IVF sebagai harapan terakhir harus pulang dengan sangat kecewa. Hingga kini, belum bisa dipastikan mengapa kegagalan itu terjadi. Georgeanna Seegar Jones, seorang ahli endokrinologi Amerika Serikat, yang merintis IVF bersama suaminya Howard Jones di Norfolk AS, berpendapat terlampau cepatnya sel telur dipertemukan dengan sperma justru akan menghalangi pembuahan. Karena itu, dalam metode Amerika -- dan juga Australia ovum dibiarkan matang dalam tiga sampai empat jam. Setelah kematangan diteliti dengan mikroskop, baru pembuahan dengan sperma dilakukan. Menghadapi kegagalan satu sel telur itulah, kini persiapan sang ibu dalam menghasilkan sel telur untuk IVF mendapat perhatian lebih besar. Dan ini menyangkut manajemen hormonal. Pada proses pematangan sel telur berbagai hormon terlibat, di antaranya estrogendan gonandotropin (FSH, LTH). Menurut ahli kandungan Dr. Sudraji Sumapraja, produksi sel telur bisa diperbanyak dengan obat-obat Clomid dan Pergonal. "Caranya dengan menyuntikkannya ke ovarium, supaya tidak hanya satu sel telur yang masak sebulannya," katanya. Dengan rangsangan hormonal itu bisa didapat 5-17 sel telur. Maka, pembuahan semakin besar kemungkinannya. Dengan cara ini pula pasangan Jones di Norfolk meningkatkan kemungkinan kehamilan. Caranya, dengan membiarkan dua atau tiga sel telur dibuahi sperma dalam tabung petri, dan kemudian memasukkan semuanya ke dalam rahim. Risikonya, bila semuanya berhasil akan didapat bayi-bayi kembar, dua atau tiga. Kendati IVF sampai kini masih menjadi andalan banyak pasangan mandul, menurut Sudraji, proses ini sudah tergolong klasik. "Tingkat keberhasilannya juga hanya 20%.". Menurutnya, masalah yang dihadapi metode bayi tabung adalah kesulitan menyamai sifat alami fimbria (saluran indung telur tempat pembuahan terjadi) dan rahim. "Sifat yang sudah merupakan ciptaan Tuhan," katanya lagi. Di Amerika Serikat, IVF mulai dikawinkan dengan metode lainnya, yaitu menyertakan sperma dan sel telur donor, juga ibu donor yang meminjamkan rahimnya untuk mengandung. Di Indonesia, tim dr. Enud sudah pula mencobakan metode yang sama sekali baru, yang dikenal sebagai Gift, Gamete intra-Fimbrial Transplantation lihat Bagi yang Susah Punya Bayi). Percobaan Gift di FK UI oleh tim dr. Enud menunjukkan bahwa teknik menolong pasangan mandul, diikuti sudah sangat lanjut, sampai pada metode yang paling mutakhir. Karena itu, proses bayi tabung yang dialami pasangan Bakri tak perlu disangsikan. Namun, hingga kini tim dr. Enud masih belum mau mengutarakan hasil-hasil percobaannya. Karena itu, sulit diketahui dengan pasti mengapa proses IVF pada Bunga tidak dilakukan di Jakarta, peralatan apakah yang belum dimiliki atau ada alasan lain. Bunga sendiri mengakui, hampir seluruh proses kehamilannya ditangani dr. Enud. Sejak ia mendapat saran di tahun 1982 sampai Agustus 1983, Bunga mendapat perawatan intensif. Sementara, pertengahan 1983, dr. Enud menghubungi Royal Women Hospital di Melbourne, Australia, untuk observasi. Agustus 1983, Bunga bersama suaminya berangkat ke negeri kanguru itu dengan data-data medis. Pasangan itu tinggal selama dua minggu di Australia. Bunga tidak tahu persis apa yang dilakukan padanya. "Mereka mengumpulkan base-line-data, antara lain dengan mengambil darah setiap hari dari kedua lengan saya," kata Bunga. Sepulangnya dari Australia, Bunga kembali dirawat dr. Enud. Dan baru 22 bulan kemudian kembali ke negara itu untuk pembuahan dalam tabung, pada pertengahan 1985. Proses IVF pasangan Bakri di Royal Women Hospital dipimpin Prof. Ian Johnston endokrinolog yang ternyata sangat mengenal dr. Enud. Untuk proses ini, pasangan Bakri harus menunggu dua bulan, saat sel telur Bunga dinilai matang. "Tak ada perawatan apa-apa saat itu, kami hanya jalan-jalan seperti turis," ujar Bunga. Hingga saatnya tiba, sel telur Bunga diambil, dan beberapa jam kemudian dipersatukan dengan sperma suaminya. Selang satu hari, hasil pembuahan dimasukkan ke rahim Bunga melalui operasi kecil. "Dua hari kemudian kami pulang," tutur Bunga lagi. Dan Bunga kembali dirawat dr. Enud. Beberapa waktu kemudian, ia dinyatakan hamil. "Saya memang lucky, karena di Australia saya bertemu dengan pasangan yang sudah bolak-balik karena gagal," ujar Bunga Bunga memang beruntung, melalui pemeliharaan yang cermat dan teliti di RSCM putrinya akhirnya lahir 10 Maret lalu. Jim Supangkat, Laporan Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus