PEKAN ini, 22 Juli, Yuki Fithriyah yang lahir di Melbourne, Australia, genap berusia empat tahun. Yuki anak Indonesia itu boleh dibilang istimewa. Bukan karena hari kelahirannya bertepatan dengan hari raya Lebaran, tapi karena, ia adalah bayi tabung Indonesia yang pertama. Dengan catatan, seluruh prosesnya dilakukan di Australia. Gadis itu kini berkembang sehat. Putri pasangan Farid Prawiranegara dan Sri Kinarsi itu sigap dan cerdas. Ayahnya mengisahkan, pada usia 18 bulan Yuki dites di Victori Hospital tempat ia dilahirkan. Hasilnya, ia memilik kecerdasan anak-anak Australi yang berusia 20 bulan. Dari tes itu diketahui pula alat-alat pancaindria yang dimilikinya berfungsi secara sempurna. Proses bayi tabun (IVF) ternyata tak membuahkan kelainan apa-apa. "Kini Yuki sudah pintar menggambar oomnya, lengkap dengan kumis," tutur Farid, sang ayah, gembira. Yuki kini masih bermukim di Tokyo, Jepang, mengikuti ibunya yang bertugas sebagai penyiar Radio NHK, Jepang. Sebenarnya, justru sang ibu yang menunggu. Yuki diharapkan dalam dua tahun ini akan menyelesaikan sekolahnya di Nursery School di Tokyo. Sesudah itu, ibu dan anak itu akan menyusul sang ayah yang kini bekerja sebagai manajer di Jakarta. Samakah Yuki dengan anak pasangan Bakri, yang merupakan bayi tabung kedua? Dalam beberapa hal sama. Keduanya menjalani proses IVF. Namun, penyebab kemandulan ternyata tidak sama. Pada pasangan Prawiranegara, seperti yang diutarakan Farid sendiri, kelainan terdapat padanya. Pemeriksaan menunjukkan sel-sel sperma Farid kurang aktif, walau masih tergolong normal. Sementara itu, organ Sri Kanarsi normal. Pada pokoknya, keduanya tak bisa dikategorikan mandul. Karena kepercayaan tak mandul itu, pasangan Prawiranegara terpanggil untuk mencoba metode IVF. Sekitar 1981, kebetulan keduanya bekerja di Australia, pasangan itu bertemu dengan Prof. Carl Wood dari Victoria Hospital. Dari ahli kandungan ini Farid dan Sri mendapat informasi lebih jelas. Mereka kemudian memutuskan untuk mencoba. "Percobaan pertama segera dilakukan sekitar tiga minggu setelah kami bertemu dengan Prof. Wood," tutur Farid. Tapi percobaan pertama ini gagal. Menurut Farid, karena sel telur yang dibuahi secara in-vitro itu masih terlalu muda. Percobaan kedua dilakukan satu setengah bulan kemudian. Gagal lagi. Embrio sebenarnya sudah dicangkokkan, tapi kehamilan tidak terjadi. "Sesudah itu, kami segan untuk membicarakannya lagi," kata Farid mengisahkan pengalamannya. Namun, Sri ternyata masih memiliki kemauan keras. Ia meminta pada suaminya untuk sekali lagi mencoba. Farid tak bisa menolak. Konon kegigihan dan kesiapan mental semacam ini yang diharapkan pada semua pasangan yang ingin menjalani proses IVF. Kegagalan senantiasa pahit rasanya padahal percobaan umumnya menuntut pengulangan-pengulangan. Pada percobaan ketiga, pemeriksaan terhadap Sri dilakukan lebih cermat. Darah dan urine Sri diperiksa berulang kali. Juga masa-masa kesuburannya dilihat melalui pelarikan komputer. Proses yang dikenakan pada Sri, menurut suaminya, ternyata tak ruwet. Perawatan dilakukan antara hari pertama haid sampai dua minggu setelah haid berhenti. Dalam jangka waktu itu Sri mendapat suntikan-suntikan untuk menyuburkan organ reproduksinya. Lalu tibalah saat "perkawinan". Proses pembuahan di tabung petri itu makan waktu kurang lebih dua hari. "Setelah positif pertumbuhannya, segera dicangkokkan," ujar Farid. Lalu, selama 24 jam Sri istirahat total diberi valium dan tangannya diikat. Dua hari setelah itu diperkenankan pulang. Di rumah Sri istirahat total, selama satu bulan. Proses pada Sri memang jauh lebih sederhana daripada proses reproduksi yang diterapkan pada Bunga, istri Bakri. Masalahnya karena organ-organ Sri normal. Ia tak memerlukan manajemen hormonal terlalu rumit untuk memancing kesuburannya. Dan justru itulah yang dialami Bunga, karena kelainan ada padanya. Jis, Laporan Putut Tri Husodo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini