BERCELANA pendek putih dengan kaus bergaris-garis biru, Maria Fransisca--yang ditemui TEMPO minggu lalu - sekalipun masih tertatih-tatih, tak lagi berjalan dengan tongkat pembantu. Beberapa minggu alu pemain bulu tangkis nasional itu mendalam operasl lutut untuk kedua kalinya - yang pertama lutut kanan, dan kini yang kiri. Maria bukan satu-satunya olahragawan yang mengalami cedera lutut. Beberapa atlet nasional dan dunia pernah mengalami cedera serupa. Cedera lutut itu, yang tak jarang mengancam karier atlet yang terkena, memang sering terjadi pada olahragawan. "Terutama dalam olah raga yang membutuhkan gerakan fisik yang cepat sering terjadi cedera lutut," kata dr. Sadoso Sumosardjuno. Dokter ahli di bidang olah raga itu menyebutkan, semakin tinggi intensitas latihan, semakin besar kemungkinan cedera lutut dialami para atletnya. Menurut Sadoso, dikenal dua macam cedera lutut. Yang tak begitu banyak, kerusakan jaringan - ligamentum - yang mengikat persendian lutut. Yang lebih banyak, kerusakan bantalan mentskus, ganjal di antara persendian lutut. Meniskus yang terletak di belakang tempurung lutut atau patela berfungsi sebagai shock breaker mengurangi benturan dua tulang rawan yang menyelubungi bulatan ulung tulang pada persendian lutut. Yang disebutkan kerusakan adalah meniskus robek - seperti yang dialami Maria, Djunaedi, dan Sutan itu. Berbeda dari berbagai negara maju, di Indonesia tak banyak dokter ahli yang bisa mereparasi lutut. Di antara yang sedikit: dr. Chehab - yang menangani Marla Djunaedi, dan Sutan Harhara. Menurut dokter ahli itu, di masa lalu upaya mengatasi cedera lutut adalah bedah konvensional: lutut dibuka dengan disayat. Tapi, karena Jaringan otot di lutut sangat peka, termasuk kedudukan meniskus, menurut Chehab, bedah konvensional malah bisa merusakkan. Kini, kemajuan ilmu kedokteran sudah menyediakan jalan keluar, yaitu bedah artroskopi. Pembedahan yang disebut tidak konvensional ini tidak lagi menggunakan pisau operasi untuk mereparasi lutut. Bedah artroskopi termasuk penemuan baru yang ditemukan di Jepang sekitar tahun 1970. Yang diandalkan sejumlah alat yang prinsipnya seperti alat suntik besar. Dalam diagnosa, alat suntik besar yang berfungsi sebagai teropong ditusukkan ke lutut. Lalu dokter mengintip ke dalam, menilai kedudukan dan kerusakan meniskus. Proses sesudahnya, memperbaiki kembaii kedudukan meniskus dan merekatkannya kembali ke kedudukan di antara tulang rawan, pada dasarnya tak berbeda jauh dari diagnosanya. Dalam bentuknya yang lebih maju, rehabilitasi lutut ini dilengkapi layar televisi. Pada suntikan besar yang dibenamkan ke utut, terdapat semacam kamera yang bisa memproyeksikan bagian dalam lutut ke layar televisi. Dengan demikian, hasilnya, penempelan meniskus misalnya, jadi bisa lebih akurat. Alat ini sudah ada di Indonesia, di RS Setia Mitra, Jakarta, yang didatangkan atas usaha dr. Chehab. Tapi tanpa kamera televisi. "Saya masih menunggu donatir yang mau menyumbang," ujar dr. Chehab. Dengan alat ini, menurut Chehab, luka akibat operasi pada kulit tidak besar dan atlet tak memerlukan masa rehabilitasi yang lama. "Ini penting bagi semangat dan kepercayaan diri atlet," katanya. Namun, di sisi lain, Chehab menyesalkan pelatih yang sering terlampau cepat memerintahkan atlet bermain kembali, karena kurang pengertian - seperti juga diutarakan dr. Sadoso. Pada keadaan ini, meniskus yang ditempelkan belum membentuk jaringan baru ketika latihan dimulai kembali. Akibatnya, kerusakan pun terjadi lebih parah. Keadaan yang sama parahnya terjadi bila pelatih kurang awas memperhatikan keluhan sakit di lutut atlet. Meniskus yang rusak terlampau lama, sampai merusakkan persendian utut, akan sulit membentuk jaringan baru. Salah satu contohnya, Sutan Harhara. Pemain sepak bola ini sempat memaksakan dirinya ketika cedera lututnya mulai terasa. Setelah dera pertama, Sutan masih terus berlatih dan bertandin sampai 3-4 bulan. Celakanya, setelah dioperasi, 1976, tiga bulan kemudian ia sudah harus bertanding lai. Padahal, menurut dr. Chehab, pemain unggulan itu butuh istirahat enam bulan. "Waktu itu sebetulnya saya masih dalam terapi," kata Sutan mengakui. Sebenarnya para olahragawan yang telah dioperasi masih bisa berprestasi menurut Chehab, asal ada koordinasi antara dokter dan pelatih dalam masa rehabilitasi atlet. Djunaedi Abdillah ditunjuk dr. Chehab sebagai contoh. Atlet itu dioperasi tahun 1971, sampai kini masih bermain baik. Karena itu, dr. Chehab agaknya sangat berhati-hati menangani Maria Fransisca. "Kasih saya kepercayaan melatih dia selama enam bulan, saya optimistis dia bisa menjadi pemain stngle lagi," katanya. Cedera lutut di dua kaki pada Maria, menurut Chehab, juga akibat pelatih kurang awas. "Struktur kaki Maria X sehingga tumpuan kaki lebih berat ke arah dalam," ujar dokter ahli bedah artroskopi itu. Maka, terjadi kejanggalan tekanan - akibat berat badan - pada kedua lutut Maria. "Kalau pelatih mengerti, cedera di kedua lutut tak akan terjadi," kata Chehab, "cara mengatasinya dengan memberi sepatu khusus."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini