MEI 1984 yang lalu, obat antibiotik V kombinasi dipersoalkan karena dianggap merugikan masyarakat. Ramairamal soal Jenis obat itu membuat Ditjen POM mengeluarkan keputusan: sampai Juli 1984 produksi obat itu harus dihentikan dan Juli 1985, sudah tak boleh beredar lagi. Tapi pekan lalu, Ditjen POM mengeluarkan SK perpanjangan batas waktu produksi dan masa edar bagi Chymocycline, salah satu antibiotik kombinasi produksi Ciba yang termasuk dalam 90 jenis antibiotik kombinasi yang kena larangan itu. Dalam SK, antibiotik yang merupakan kombinasi tetrasiklin dan enim proteolitik itu boleh diproduksikan sampai 31 Desember 1985 dan boleh beredar sampai 31 Desember 1986. Adanya kasus ini, menurut Midian Sirait, Dirjen POM, bukan tanpa alasan. "Ada kesalahan dalam pengumuman itu. Pengumuman itu tak semuanya benar. Akan diperbaiki oleh Dirjen," katanya, sambil menjelaskan pada larangan beredar dulu ada aturan yang memang fleksibel. Maksudnya dalam peraturan larangan itu sudah dipertimbangkan kebijaksanaan untuk menghabiskan bahan baku yang masih ada, serta menghitung kemungkinan reekspor. Di samping itu, Midian mengungkapkan pelarangan antibiotik kombinasi bukan karena kadar keracunan yang membahayakan melainkan semacam rasionalisasi saja. Walaupun demikian, ia mengakui pula bahwa dalam jangka panjang bisa juga berbahaya. Dirjen menjelaskan, sampai kini sudah beberapa pabrik obat mengajukan permohonan pengunduran waktu larangan. "Jadi, yang dapat perpanjangan bukan Ciba saja," katanya, tanpa menyebutkan nama pemohon yang lain. Ciba memang telah mengajukan permohonan kepada Ditjen POM agar batas waktu larangan bagi obat antibiotik kombinasi yang diproduksikannya diundur. Adanya kesempatan untuk minta pengunduran waktu itu, menurut Frans Tshai, dari Ciba, diketahuinya dari GPFI (Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia). "Jadi, bukan gagasan Gba," katanya. Frans mengakui, permohonan kelonggaran itu bertujuan dagang murni. "Bohong besar kalau ada perusahaan yang minta perpanjangan dengan alasan lain," katanya. Menurut pejabat Ciba itu, pemerintah seharusnya konsekuen, membuat larangan tanpa kekecualian. SK perpanjangan, bagi pemerintah sendiri, menurut Frans, seperti menampar muka sendiri. "Di kemudian hari," ujar Frans, "wibawa pemerintah di mata perusahaan farmasi akan turun, setiap SK seperti bisa ditawar." Menurut Frans, semua permohonan perpanjangan produksi antibiotik kombinasi pada dasarnya melulu untuk mencari peluang menjual, dan mencari keuntungan. Alasan menghabiskan bahan baku, menurut dia, sekadar alasan yang dicari-cari. "Bahan baku antibiotik kombinasi bisa saja dibuat antibiotik yang tidak kombinasi," katanya. Prof. Iwan Darmansjah, farmakolog terkemuka, ketika ditemui mengkritik keras kelonggaran yang diberikan Ditjen POM. "Cuma bisa dibenarkan dari sudut dagang,. tapi tidak dari sudut medis dan tanggung jawab kepada masvarakat," katanya. Guru besar farmakologi itu menjelaskan, antibiotik kombinasi itu sudah tidak lagi proporsional produksinya. Jumlahnya terlampau besar hingga tak perlu diragukan bahwa tujuannya melulu komersial. Dari sebuah penelitian, menurut Iwan, penggunaan antibiotik tercatat sampai 27% dari obat yang beredar di Indonesia, sementara kebutuhan yang sebenarnya, menurut data Ditjen POM, hanya 19%. Kebutuhan sebenarnya, yang kurang lebih separuhnya itu, pun sebenarnya antibiotik spesifik (narrow spectrum) yang bukan antibiotik kombinasi. "Pola penyakit di Indonesia membutuhkan yang spesifik itu," ujar farmakolog yang suaranya banyak didengar WHO itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini